| |

Menggali Urgensi Munggahan Sebagai Living Sunnah

Majalahnabawi.com – Ajaran Islam tak hanya selalu berfokus pada syariat pokok seperti salat, puasa, zakat, haji dan lain sebagainya. Khazanah keilmuan islam membentang luas dan tak melarang berbagai tradisi untuk menghambatnya. Tradisi malah melengkapi keindahan dan keluasan ajaran islam sebagai rahmatan lil alamin.

Ramadhan yang nyata di depan mata menjadi salah satu bukti bahwa tradisi menyambutnya tidaklah mengapa dilakukan sepanjang tidak menyalahi ketentuan agama dan tak menyimpang dari tujuan syariat. Memang ada sebagian kelompok kecil yang menolak hal ini dengan alasan tak pernah dicontohkan Nabi dan para sahabat alias bid’ah, namun pendapat ini hanyalah minoritas dan bukan ijma’ ulama. Sesuatu perkara dalam agama yang belum pernah ada pada zaman Nabi bukan berarti haram untuk dilakukan.

Punggahan menjadi salah satu contoh living sunnah atau tradisi yang intinya bertujuan untuk menghidupkan sunah Rasulullah lewat kebiasaan yang berlaku dalam suatu masyarakat yang tidak bertentangan dengan ajaran islam itu sendiri.

Punggahan berasal dari kata “munggah” yang memiliki arti naik atau tinggi, artinya mengingatkan kaum muslimin bahwa sebentar lagi akan segera memasuki bulan Ramadhan yang penuh dengan keutamaan dan kemuliaan yang tinggi. Setiap insan wajib berlomba-lomba memperbanyak amal kebajikan demi mencapai tujuan utama puasa ramadan yaitu la’allakum tattaqun.

Dalam prakteknya di berbagai daerah munggahan pada dasarnya merupakan wujud rasa syukur kepada Allah sebab kembali dipertemukan dengan bulan Ramadhan yang agung. Implementasinya diaplikasikan dengan berbagai cara mulai dari membagi-bagikan hasil bumi (grebeg), menyembelih hewan kurban dan memasaknya untuk dibagi-bagikan, makan bersama kerabat dan sahabat dan berbagai jamuan dengan menu khas masing-masing daerah.

Seluruh masyarakat turut serta memeriahkannya sebagai bentuk kegembiraan dan kebahagiaan datangnya Ramadhan. Tak ada unsur meyakini dan mempercayai bahwa munggahan merupakan sarana untuk menggapai tujuan klenik-klenik tertentu.

Eksistensi Munggahan dalam Perspektif Historis

Munggahan atau punggahan merupakan contoh realitas tradisi masyarakat Islam nusantara yang sudah ada sejak zaman sebelum Islam menyebar di tanah Jawa. Sampai saat ini pun tetap dipertahankan eksistensinya sebagai bagian dari khazanah keislaman nusantara. Salah satu dari 9 Wali (Wali Songo) yaitu Raden Said atau Sunan Kalijaga menjadi pionir dalam mencetuskan tradisi punggahan ini. Kecerdasan beliau yang luar biasa dalam memikirkan bagaimana cara agar islam berkembang di tanah Jawa yaitu dengan menggunakan metode akulturasi Islam dan budaya lokal.

Budaya-budaya nenek moyang yang sudah ada sejak dahulu tidak serta-merta langsung diberangus dan dibuang begitu saja dari kebiasaan yang berlaku di masyarakat, melainkan malah menggabungkannya dengan ajaran islam. Tujuan klenik yang berasal dari ajaran animisme/dinamisme diganti menjadi tujuan keislaman seperti nilai-nilai tauhid dan akhlak. Artinya casing-nya tak jauh berbeda namun hakikat pelaksanaannya berubah total menjadi tujuan syariat. Inilah bukti kecerdasan Wali Songo, mereka berperan besar menyebarkan dan membesarkan Islam di pulau Jawa dan Indonesia pada umumnya.

Akhirnya seiring berkembangnya islam di Jawa semakin hari semakin menyebar ke seluruh penjuru negeri hingga kita kenal seperti sekarang. Tradisi sungkeman saat Idul Fitri menjadi contoh konkret adanya akulturasi tradisi lokal dan ajaran Islam. Tradisi yang populer di Jawa namun tidak populer bahkan tak dilakukan di daerah luar pulau Jawa. Tujuannya untuk meminta maaf kepada kedua orang tua atas dosa-dosa dan kesalahan yang telah diperbuat selama ini.

Selain itu ada juga halal bi halal, tradisi yang digagas oleh Presiden pertama RI Soekarno untuk menyatukan pimpinan-pimpinan partai politik, organisasi dan perwakilan negara sahabat dalam satu momentum yang intinya merajut kembali kebersamaan setelah sekian lama bersitegang akibat urusan politik. Membangun kembali silaturahmi dan memaafkan atas momen buruk di masa lalu. Sungguh langkah yang begitu jenius.

Pertanyaannya apakah ada yang berani mengatakan sungkeman dan halal bi halal sebagai amaliyah bid’ah dholalah? Jika ada sungguh kelompok tersebut sudah memvonis seluruh kaum muslimin Indonesia dengan gelar “penghuni neraka”.

Makna Filosofis Munggahan dalam Perspektif Sosial

Munggahan atau punggahan pada hakikatnya memiliki makna filosofis yang tak bertentangan dengan ajaran islam, malah maqashid munggahan amat sangat islami dan sesuai syariat. Pertama, munggahan sebagai bentuk kegembiraan dan kebahagiaan menjelang datangnya bulan suci Ramadhan. Dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah ia mengatakan:

قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلى الله عَليه وسَلم يُبَشِّرُ أَصْحَابَهُ قَدْ جَاءَكُمْ شَهْرُ رَمَضَانَ شَهْرٌ مُبَارَكٌ افْتَرَضَ اللهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ يُفْتَحُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَيُغْلَقُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَحِيمِ وَتُغَلُّ فِيهِ الشَّيَاطِينُ فِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ مَنْ حُرِمَ خَيْرَهَا فَقَدْ حُرِمَ

Rasulullah Saw. memberikan kabar gembira kepada sahabat-sahabatnya, “Bulan Ramadhan telah datang. Ramadhan adalah bulan yang diberkahi. Allah telah mewajibkan puasa atas kalian. Pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup rapat-rapat dan setan-setan dibelenggu di dalamnya. Di dalam bulan suci Ramadhan ada satu malam yang lebih baik dari pada malam seribu bulan. Orang yang menghalangi kebaikan di dalam bulan suci Ramadhan ini, maka dia akan terhalang dengan kebaikan.” (HR. Ahmad).

Adapula hadis masyhur yang terindikasi sebagai hadis palsu dalam kitab Durrah An-Nasihin yang populer kita dengar:

مَنْ فَرِحَ بِدُخُوْلِ رَمَضَانَ حَرَّمَ اللهُ جَسَدَهُ عَلَى النِّيْرَانِ

“Barangsiapa yang berbahagia (menyambut) kedatangan bulan ramadhan, maka Allah akan mengharamkan jasadnya masuk api neraka.”

Kedua, mensyukuri nikmat rezeki yang dikaruniakan oleh Allah Ta’ala. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman:

قُلْ بِفَضْلِ اللّٰهِ وَبِرَحْمَتِهٖ فَبِذٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوْاۗ هُوَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُوْنَ

“Katakanlah (Nabi Muhammad), “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya itu, hendaklah mereka bergembira. Itu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan.” (QS. Yunus: 58)

Ketiga, momentum mempererat dan menyambung tali silaturahmi. Rasulullah bersabda:

تَعْبُدُ اللَّهَ لاَ تُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا، وَتُقِيمُ الصَّلاَةَ، وَتُؤْتِي الزَّكَاةَ، وَتَصِلُ الرَّحِمَ، ذَرْهَ

“Beribadahlah pada Allah, jangan berbuat syirik, dirikanlah salat, tunaikan zakat, dan sambungkanlah silaturahmi dengan orangtua dan saudara.” (HR. Al-Bukhari).

Munggahan menjadi kesempatan emas untuk mempererat tali silaturahmi sesama muslim sekaligus momentum untuk saling memaafkan segala kesalahan di masa lalu. Tujuannya agar pada saat memasuki ramadan tak ada lagi perasaan yang mengganjal dan beban permusuhan dengan sesama.

Keempat, sebagai bentuk harapan dan doa agar kiranya Allah memberikan kekuatan iman dan kesabaran dalam menjalani ibadah Ramadhan. Dalam sebuah hadis disebutkan:

اللَّهُمَّ أَهِلَّهُ عَلَيْنَا بِالْيُمْنِ وَالإِيمَانِ وَالسَّلامَةِ وَالإِسْلامِ رَبِّي وَرَبُّكَ اللَّهُ

“Ya Allah jadikanlah hilal (ramadan) ini bagi kami dengan membawa keberkahan, keimanan, keselamatan, dan keislaman. Tuhanku dan Tuhanmu (wahai bulan) adalah Allah.” (HR. At-Tirmidzi)

Munggahan menjadi saat masyarakat berkumpul dan berdoa secara berjamaah baik itu dengan tahlilan, yasinan, ceramah menyambut Ramadhan dan lain sebagainya. Intinya untuk memanjatkan doa semoga Allah memberkahi dan menguatkan Ramadhan pada tahun tersebut.

Munggahan sudah menjadi living sunnah sekaligus tarhib Ramadhan yang men-darah daging dan tetap lestari hingga kini. Segala aspek di dalamnya sama sekali tidak bertentangan dengan syariat Islam, wallahu a’lam.

Similar Posts