Menggugat Ketimpangan Sosial Seorang Perempuan

www.majalahnabawi.com – Dewasa ini masih belum usai pembicaraan perihal tentang kesetaraan antara laki-laki dan perempuan di berbagai bidang; baik itu politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Kata kesetaraan itu lebih sering kita dengar dengan istilah kesetaraan gender atau keadilan gender.

Apa Itu Gender?

Gender sendiri yaitu berarti serangkaian karekteristik yang terikat kepada manusia dan sebagai maskulinitas dan feminitas. Karekteristiknya itu dapat mencakup kepada jenis kelamin, baik itu laki-laki, perempuan atau interseks. Maka dari itu, kesetaraan gender berarti memberikan sebuah kesempatan yang sama antara laki-laki dan perempuan untuk berpartisipasi dalam ekonomi, akses pendidikan, kesehatan, sosial, serta political empowerment dan lainnya.

Perempuan dalam Sejarah Arab

Dalam torehan sejarah, kaum hawa memiliki nasib yang bisa dikategorikan dalam kondisi yang tidak baik. Katakan saja pada masa jahiliah di Arab, perempuan memiliki posisi yang setara dengan barang. Sehingga kala itu perempuan diperlakukan bagaimana saja oleh laki-laki, seperti diperjualbelikan, hingga diwariskan. Selain itu, bangsa Arab pada waktu itu menganggap perempuan juga tak ubahnya sebagai aib yang membawa sial dan kekacauan.

Perempuan dalam Sejarah Kristiani Eropa

Di Eropa, khususnya pada kaum Kristen masa lalu, perempuan tidak berbeda jauh dengan posisi perempuan di bangsa Arab. Para perempuan Eropa dan hasrat-hasrat di dalamnya dianggap sebagai jalan menuju terjadinya kejahatan. Salah satu yang dijadikan landasan adalah kisah Nabi Adam dan Siti Hawa yang konon mereka berdua diturunkan dari taman eden (surga) ke dunia sebab hawa yang mudah terbujuk oleh tipu daya iblis.

Selain kisah tersebut, juga ada seorang pemuka agama Kristen di masa itu St. Agustinus, yang mengingatkan para jemaatnya bahwa “Melalui seorang perempuan, dosa pertama datang, dan dosa itulah yang membawa kebinasaan bagi kita semua.”

Perempuan dalam Sejarah Romawi

Dalam masa keemasan bangsa Romawi, perempuan tetap menempati posisi yang sama. Bahkan bangsa Romawi mempunyai sebuah slogan yang berisi pernyataan yang sangat ketara perihal marginalisasi (peminggiran) kaum perempuan. Di antara slogannya yaitu tentang kedudukan perempuan dalam rumah tangga, bunyinya: “Ikat mereka dan jangan lepas”, yang maknanya adalah seorang suami boleh mengatur istrinya secara penuh dan juga berhak untuk membunuhnya tanpa adanya gugatan hukum.

Selain dari itu, slogan aurat perempuan yang seharusnya sangat dijaga, malah menjadi ajang pertunjukan dan diekspos secara umum dalam suatu konteks bernama Fakuarto.

Asumsi Masyarakat Terhadap Perempuan

Meskipun faktanya ada perempuan yang menjadi pemimpin; baik itu dalam organisasi, lembaga-lembaga, dan bahkan negara. Akan tetapi kenapa sampai saat ini masih tetap saja ada kesenjangan gender?

Masyarakat yang memarginalkan perempuan berasumsi bahwa kualitas kepemimpinan itu hanya dimiliki oleh kaum laki-laki, sedangkan perempuan cenderung lebih skeptis. Oleh karena doktrin itulah perempuan sulit berposisi dalam dunia politik. Dan salah satu faktor yang melatarbelakangi asumsi tersebut berakar dari surah Al-Nisa’ ayat 34:

اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَّبِمَآ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْۗ

Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.”. (Q.S Al-Nisa’[4]:34).

Kajian Historis Surah An-Nisa Ayat 34

Namun kalau kita kaji potongan makna ayat itu, maka kita akan tahu sebenarnya bahwa ayat itu berbicara dengan menyesuaikan konteks, karena secara historis ayat itu turun dalam konteks masyarakat Arab pagan. Pada zaman jahiliyah, kaum laki-laki memiliki kewajiban untuk memberi nafkah terhadap keluarganya. Sedangkan perempuan tidak diperbolehkan keluar rumah tanpa ada izin dari suaminya, sebagaimana yang ada dalam kitab-kitab fikih.

Ismail Ibnu Katsir berargumentasi dalam karyanya Tafsir al-Qur’an al-Adzim, bahwa laki-laki lebih unggul dari perempuan dalam konteks etika. Dalam artian laki-laki memiliki tanggung jawab untuk melindungi, mendidik, dan merawat istrinya. Dalil yang diambil dari argumen ini adalah tentang istri orang Ansar yang mengadu kepada Nabi Saw., karena wajahnya dipukul oleh suaminya sampai lebam. Kemudian Nabi Saw., bersabda “suami tidak boleh demikian”. lalu dari sanalah surah al-Nisa’ ayat 34 itu turun.

Dalam kitab Rawai’ al-Bayan jilid 1, kata “al-Rijal” artinya adalah para laki-laki yang merupakan bentuk plural dari kata “Rojulun”. Rojulun memiliki akar kata yang sama dengan kata Rijlun yang artinya adalah kaki. Dengan demikian, dua kata tersebut menunjukkan adanya kolerasi makna. Maka kata Rojulun yang seakar kata dengan dengan Rijlun memiliki personifikasi manusia yang kakinya kuat dan mudah untuk melangkah.

Sanggahan Atas Asumsi Masyarakat Terkait Perempuan

Ditarik pemahaman bahwa siapapun yang memiliki kemampuan tersebut adalah layak untuk menjadi pemimpin tanpa mepertimbangkan jenis kelamin lagi. Kalau ada yang tetap memaksa bahwa laki-laki pasti lebih kuat dari pada perempuan; baik itu dari segi fisik, psikisnya, dan fisiknya, sehingga perempuan tidak layak menjadi seorang pemimpin. Asumsi tersebut bisa kita jawab dengan beberapa fakta bahwa sebagian perempuan secara psikis atau intlektualnya ada yang lebih unggul dan kuat dari pada laki-laki.

Kita lihat lagi ke dalam sejarah bahwa ada Ratu Bilqis yang bisa membawa kemakmuran bagi negaranya sehingga hampir menandingi kerajaan Nabi Sulaiman a.s., sehingga kehebatannya itu sampai diabadikan dalam al-Quran surah al-An’am[6]: 23-44. Dan juga fakta-fakta sejarah pada awal peradaban Islam, betapa banyak perempuan yang menjadi ulama, cendikiawan, sehingga tidak sedikit memiliki murid baik dari laki-laki maupun perempuan.

Kesimpulan

Dari fakta yang banyak kita ketahui serta kajian historis di atas. Sudah tidak bisa diingkari lagi bahwa sejatinya perempuan juga memiliki kemampuan yang sama atau bahkan dapat melebihi laki-laki. Sehingga kata-kata “lebih unggul” pantas-pantas saja kita sandangkan dalam konteks fisik, bukan psikis atau intlektual. Mengingat bahwa sejarah juga banyak yang mencatat perempuan hebat yang mengungguli laki-laki.

Dengan demikian masih pantaskah mengatakan bahwa predikat pemimpin hanya tertentu kepada kaum laki-laki saja?

Similar Posts