Menguji Kedhabitan Perawi Hadis: Catatan Manhaj Al-Naqd ‘Inda Al-Muhadditsin

www.majalahnabawi.com – Pembahasan mengenai kualitas seorang perawi menjadi sebuah pembahasan yang akan selalu menarik, mengingat pentingnya kualitas seorang rawi dalam meriwayatkan sebuah hadis. Sebagaimana kita tahu bahwa tiga dari syarat hadis shahih itu mengarah kepada kualitas sanad dan sisanya mengarah kepada kualitas matan. Pada pembahasan kali ini penulis akan mengulas secara ringkas salah satu dari tiga syarat hadis shahih yang mengimplikasikan kepada kualitas sanad yaitu konsep al-Dabth.

Pengertian Al-Dhabt

Istilah al-Dabth dapat diartikan sebagai kemampuan seorang perawi dalam menerima informasi dan menyampaikannya kembali kepada orang lain sesuai yang ia terima.

نقل المروي كما تلقاه الراوي لفظاً أو معنى

Keadaan dimana seorang perawi harus mentransmisikan hadis dengan tepat sebagaimana ia menerima dari sumbernya, baik itu dalam bentuk kata-kata (Lafadz) dan juga makna. Sedangkan الضابط (isim fa’il) ialah seseorang yang mentransmisikan hadis dengan akurat dan sesuai dengan apa yang ia terima dari gurunya, baik itu dalam bentuk kata-kata (Lafadz) dan juga makna.

Klasifikasi Al-Dhabt

Kedhabitan seorang perawi mesti diketahui secara pasti, hal ini disebabkan karena dengan diketahuinya kedhabitan seorang perawi maka akan diketahui juga kualitas periwayatan yang disampaikan olehnya. Semakin kuat kedhabitan yang dimiliki maka semakin kuat atau shahih riwayat yang disampaikan. Namun, jika kedhabitan yang dimiliki seorang perawi ternyata lemah, maka derajatnya bisa turun menjadi Hasan atau bisa berdampak menjadi Dhoif.

Untuk mengetahui ragam kedhabitan seorang perawi, maka ulama merincinya sebagai Berikut ini:

  1. Kedhabitan perawi dari segi sumber periwayatan
    Dari segi sumber periwayatan, kedhabitan seorang perawi terbagi menjadi dua; Dhabt Shadr dan Dhabt Kitab. Dhabt Shadr merupakan melekatnya hadits yang didengar oleh seorang perawi dan ia mampu menghadirkannya ketika ia membutuhkan.

    Dhabt Shadr sendiri terbagi menjadi dua lagi; Dhabt Taam dan Dhabt Naqis. Dhabt Taam yaitu kondisi seorang perawi menghafal hadits dengan kesadaran penuh dengan tidak sering lalai, lupa dan ragu pada saat membawakan dan meriwayatkan hadits. Sedangkan Dhabt Naqis yaitu jika seorang perawi tidak memenuhi standar yang ada pada Dhabt Taam. Semisal ketika seorang perawi sering lalai, lupa atau ragu ketika meriwayatkan sebuah hadits.

    Adapun Dhabt Kitab merupakan usaha seorang perawi hadis dalam menjaga catatan yang dimiliki dari tahap awal mendengar hadis dari seorang syekh, serta selalu memperbaiki kondisinya hingga ia meriwayatkan hadits tersebut dari bukunya. Pada Dhabt Kitab tidak bisa menerima Dhabt Naqis, artinya hanya bisa menerima Dhabt Taam.
  2. Kedhabitan perawi dari segi pemahaman hadis yang disampaikan
    Pada segi yang kedua ini, setidaknya akan terlihat perbedaan antara seorang perawi dengan perawi lainnya dari segi pemahaman kandungan hadits yang diriwayatkan. Kedhabitan sang perawi dalam segi ini terbagi menjadi dua; Dhabt Zhahir dan Dhabt Bathin. Dhabt Zhahir merupakan sifat kedhabitan seorang perawi berupa pemahaman terhadap makna bahasa yang terkandung dalam sebuah riwayat. Sedangkan Dhabt Batin merupakan kedhabitan seorang perawi berupa pemahaman dari segi keterkaitan hukum-hukum syari’ah dengan hadits yang diriwayatkannya atau fiqih matan hadis dari segi keterikatannya dengan hukum syar’i.

Menguji Kedhabitan Seorang Perawi

Untuk menilai kualitas suatu hadis, tentu kita mesti mengetahui bagaimana kedhabitan yang dimiliki oleh seorang perawi. Maka dari itu, ulama telah merumuskan tips untuk mengetahui kadar kedhabitan seorang perawi hadis dengan mengujinya menggunakan beberapa cara, di antaranya yaitu:

  1. Mencatat hadis-hadis yang telah diriwayatkan olehnya tanpa sepengetahuannya, lalu mengujinya beberapa hari setelah waktu periwayatan.
    Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Marwan bin Al-Hakam (2-65 H) terhadap Abu Hurairah (w. 57 H) yang mana ia lolos dalam ujian tersebut.
  2. Mendengarkan langsung riwayat-riwayat hadis dari gurunya sang perawi yang ingin diuji (Jika masih ada), kemudian kedua riwayat tersebut disandingkan untuk melihat keserasiannya.
    Kisah terkait cara kedua ini dapat kita lacak di dalam kitab Tamyiz karya imam Muslim di mana diceritakan bahwa imam Syu’bah pernah berkata: ((Sufyan Al-Tsauri itu lebih hafidz dari pada ku, dimana ia tak pernah menceritakan sebuah riwayat dari gurunya kepadaku melainkan tatkala aku bertanya kepada gurunya, ia menceritakan kepadaku apa yang dikatakan oleh Sufyan)).
  3. Membandingkan antara hafalan riwayat yang disampaikan dengan kitab hadis yang menjadi pegangannya dalam meriwayatkan hadis.
    Cara ini tidak lain dikarenakan ada beberapa perawi yang memiliki kitab-kitab riwayat shahih yang mana jika mereka meriwayatkannya dengan hafalan terkadang salah, namun jika meriwayatkannya dengan kitab terkadang benar. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Abdurrazaq bin Hammam (w. 211 H) yang mana ia lebih memilih meriwayatkan dengan kitab sebagaimana yang diceritakan oleh Yahya bin Mu’in ((Aku tidak pernah menulis satu hadis pun dari Abdurrazaq bin Hammam kecuali dari kitabnya)).
  4. Menguji dengan mengajukan sebuah riwayat yang pernah disampaikan, yang mana riwayat tersebut telah diacak terlebih dahulu.
    Hal ini sebagaimana yang pernah dilakukan saat menguji kedhabitan imam Bukhori di Baghdad.
  5. Membandingkan dengan riwayat lain.
    Cara ini pernah dipraktekkan langsung oleh sayyidina Abu Bakar yang membandingkan riwayat al-Mughiroh kepada sahabat yang lain dalam permasalahan waris bagi seorang nenek.

Similar Posts