Mengurai Benang Merah Cinta Aisyah Bintu Syathi
majalahnabawi.com – Sering kita temui bahwa para tokoh mufasir al-Quran adalah seorang laki-laki. Kelangkaan mufasir seorang perempuan tidak serta merta menandakan adanya perbedaan kualitas nalar antara laki-laki dan perempuan. Namun, hal ini bisa terbantahkan dengan adanya cendikiawan modern perempuan yang terkenal yaitu Aisyah Bintu Syathi. Bahkan para ilmuwan Timur dan Barat banyak memakai teorinya.
Aisyah Abdurrahman atau yang lebih dikenal dengan Bintu Syathi adalah seorang mufasir perempuan asal Dimyat, Mesir. Ia lahir pada tanggal 6 November 1913 M. Ia tumbuh dalam lingkungan keluarga yang memiliki budaya patriarki. Ayahnya merupakan seorang tokoh agama yang cenderung konservatif dan sempat melarang anak perempuannya belajar di sekolah sekuler.
Namun dengan tekad kuat yang ia miliki, tidak meruntuhkan semangat Bintu Syathi’ untuk tetap menimba ilmu di sekolah formal. Akhirnya dengan bantuan ibu dan kakeknya, ayahnya mengizinkan Bintu Syathi masuk ke sekolah formal tersebut.
Pertemuan Pertama
Pada tahun 1934 adalah awal mula Bintu Syathi mengawali perkuliahannya di bidang sastra. Seiring berjalannya waktu, ia bertemu dengan Amin Al-Khuli sebagai dosennya yang kemudian hari menjadi pujaan hatinya.
Pada saat Amin al-Khuli menjadi guru bagi mahasiswanya, tidak membuat dirinya sebagai sosok yang mendominan. Ia membuka ruang bagi mahasiswanya untuk berdiskusi dan bertukar pendapat. Nah di saat inilah, Bintu Syathi mendapat kesempatan untuk berkomunikasi secara intens dengan al-Khuli.
Pemahaman antara al-Khuli dan Bintu Syathi tidak selalu sama. Terkadang dengan kapasitas dan kecerdasan yang sangat luar biasa mereka miliki, membuat mereka bertukar pendapat antar mereka. Walaupun demikian, mereka tidak memaksa antar satu dan yang lain untuk menerima pemikirannya.
Kedekatan antara Bintu Syathi dan al-Khuli berakhir dengan pernikahan mereka. Dari pernikahan ini, ia melahirkan 3 orang anak. Setelah menikah ia tetap melanjutkan studinya hingga berhasil meraih gelar doktoral.
‘Alaa al-Jisr
Pada tahun 1960, al-Khuli meninggal dunia. Hal ini membuat suasana hati Bintu Syathi dirundung kesedihan. Kecintaan Bintu Syathi yang begitu dalam, mengantarkan ia untuk membuat sebuah karya yang berjudul ‘Alaa al-Jisr. Novel otobiografi ini ia tulis untuk menumpah-ruahkan sisi kemalangannya; menyusul musibah kehilangan seorang belahan jiwa yang selama ini menemaninya mebangun rumah tangga, belajar, dan berkarya.
Novel ini berisi 152 halaman yang menggambarkan kisah cinta dirinya dengan Al-Khuli. Mulai dari sebelum bertemunya dengan al-Khuli, proses pembelajaran, pematangan berfikir dan pendewasaan diri. Melalui perjalanan panjangnya yang pebuh lika-liku, ia memperoleh kecerdasan dan multi-skill yang seakan menjadi jisr (jembatan) yang menjembatani pertemuannya dengan al-Khuli.
Novel ‘Ala> al-Jisr ini ia mulai dengan sebuah syair yang menggambarkan dirinya dan al-Khuli terpisah oleh dinding penghalang, terpisah oleh ruang dan waktu, jarak, usia dan status sosial yang renggang. Solah-olah ia berada di sebuah tepi daratan, sedangkan al-Khuli berada di daratan lain yang begitu jauh, terpisah oleh jurang yang sangat panjang dan curam. Kesulitan yang ia tempuh serasa mustahil untuk terjadi sebuah pertemuan. Tapi, jalan terjal yang ia lalui, bagaikan jembatan utuk menautkan cintanya pada al-Khuli.
Keberhasilannya melalui jembatan angker ini merupakan kebanggaan untuk dirinya dengan mengatakan, “Kisah kami ini bagaikan dongeng mitos yang sulit terulang di dunia nyata.”
Wallahu A’lam.