Mengurus Jenazah dalam Islam: Antara Kewajiban Agama dan Hak Keluarga

Majalahnabawi.com – Pembahasan mengenai siapa yang lebih berhak memandikan jenazah seseorang, baik itu seorang muslim atau non-Muslim, memiliki landasan yang mendalam dalam hukum Islam. Secara umum, syariat Islam memberikan aturan yang jelas mengenai tata cara pemakaman seorang Muslim, termasuk siapa yang berhak memandikan jenazahnya. Begitu juga dengan kasus non-Muslim, yang memiliki aturan mengenai hak-hak keluarga dan batasan-batasannya tersendiri. Jika seorang Muslim meninggal dunia, maka yang paling berhak untuk memandikan jenazahnya adalah orang yang beriman, yakni Muslim lainnya.

Pihak yang Berhak Mengurus Jenazah

Hal ini bersumber pada prinsip bahwa seorang Muslim harus mengurus jenazah saudara seimannya, sebagai bentuk penghormatan terhadap agamanya. Dalam konteks ini, sekalipun jenazah tersebut memiliki kerabat non-Muslim, maka yang lebih berhak mengurus jenazah adalah Muslim lain yang mungkin saja bukan kerabat dekat. Misalnya, apabila seorang Muslim yang meninggal dan anggota keluarganya adalah non-Muslim, maka yang lebih utama untuk memandikan jenazahnya adalah Muslim asing atau orang lain yang seagama. Tindakan ini mengikuti aturan agama yang menekankan pentingnya jenazah seorang Muslim diurus berdasarkan syariat Islam.

Namun, syariat juga mengakui adanya kelonggaran dalam situasi tertentu. Jika terdesak, misalnya tidak ada Muslim lain yang mampu untuk memandikan jenazah, maka boleh mengizinkan anggota keluarga non-Muslim membantu proses tersebut. Ini adalah bentuk rahmat dan keluwesan dalam syariat Islam, meskipun tentu saja aturan ini harus tetap mematuhi batasan-batasan syariat yang ada.

Sebaliknya, jika seorang non-Muslim meninggal dunia, maka yang lebih berhak untuk memandikan jenazahnya adalah anggota keluarga atau kerabat dekatnya yang juga non-Muslim. Prinsip ini berlandaskan pada adat dan agama si jenazah semasa hidupnya. Dalam Islam, meskipun umat Muslim boleh untuk memandikan atau membantu mengurus jenazah non-Muslim dalam situasi tertentu, pada dasarnya hak utama tersebut tetap berada di tangan keluarga non-Muslim.

Kisah pada Zaman Nabi

Ini merupakan cerminan penghormatan dalam Islam terhadap kepercayaan dan hak-hak orang lain, termasuk orang non-Muslim. Meskipun demikian, seorang Muslim tetap boleh memandikan jenazah non-Muslim dalam keadaan terpaksa atau karena kebutuhan mendesak, selagi tidak melanggar prinsip-prinsip utama syariat Islam. Dalam konteks sejarah Islam, ada sebuah riwayat yang sering kali menjadi referensi mengenai tata cara perlakuan terhadap jenazah non-Muslim. Salah satunya adalah perintah Nabi Muhammad Saw. kepada Ali bin Abi Thalib untuk mengurus jenazah ayahnya, Abu Thalib. Abu Thalib merupakan salah satu orang yang paling melindungi Nabi, ia tidak sempat memeluk Islam hingga akhir hayatnya. Meskipun begitu, Nabi Saw. memerintahkan Ali untuk tetap memandikan jenazahnya.

فإن النبي- ﷺ أمر عليًّا بغسل أبيه أبي طالب. ويجوز إتباع جنازته ودفنه، ولكن لا يصلى عليه 

Nabi Saw. memerintahkan Ali untuk memandikan ayahnya, Abu Thalib. Boleh mengikuti pemakaman dan penguburannya, namun tidak boleh melakukan salat untuknya

Kasus ini sering menjadi landasan bahwa Islam menunjukkan belas kasih kepada keluarga, sekalipun mereka non-Muslim. Ali tetap menjalankan tugasnya sebagai seorang anak, menunjukkan hormat kepada ayahnya, namun tetap memperhatikan batasan agama. Sebagai contoh, Ali tidak menyalatkan Abu Thalib karena syariat melarang seorang Muslim untuk menyalatkan jenazah orang yang tidak beriman. Allah berfirman,

وَلا تُصَلِّ عَلَى أَحَدٍ مِنْهُمْ مَاتَ أَبَدًا

Jangan sekali-kali kamu mendoakan salah seorang di antara mereka yang meninggal.” (Q.S At-Taubah [9]: 84).

Mengikuti Pemakaman non-Muslim

Islam memperbolehkan umat Muslim mengikuti prosesi pemakaman dan penguburan kerabat non-Muslim, sebagai bentuk penghormatan terhadap hubungan sosial dan kekeluargaan. Menghadiri pemakamannya bukanlah masalah, selagi masih menjaga nilai-nilai agama, seperti tidak terlibat dalam doa atau ritual yang bertentangan dengan syariat

Namun, Islam melarang seorang Muslim untuk mensalatkan dan memohonkan ampunan kepada Allah bagi orang yang meninggal dalam keadaan tidak beriman. Hal ini berdasarkan pada firman Allah dalam Al-quran,

مَا كَانَ لِلنَّبِىِّ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَن يَسْتَغْفِرُوا۟ لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوٓا۟ أُو۟لِى قُرْبَىٰ مِنۢ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَٰبُ ٱلْجَحِيمِ

“Tidak sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memohonkan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (sendiri), sesudah jelas bagi mereka, bahwa orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam.” (QS. At-Taubah [9]: 113).

Ayat ini menegaskan batasan dalam berhubungan dengan non-Muslim. Yaitu tetap menghormati hubungan kekeluargaan dan mematuhi batasan syariat.

Islam telah mengatur dengan teliti tata cara pengurusan jenazah baik muslim maupun non-Muslim. Bagi seorang Muslim, yang lebih berhak memandikan dan mengurus jenazah adalah sesama Muslim. Namun, terdapat kelonggaran apabila kerabat non-Muslim harus membantu. Sebaliknya, bagi non-Muslim, kerabatnya lebih berhak mengurus jenazahnya. namun umat Muslim boleh terlibat dalam membantu, selama tidak melanggar prinsip-prinsip agama. Kisah Ali bin Abi Thalib yang memandikan ayahnya adalah contoh penting yang menunjukkan keseimbangan antara kewajiban keluarga dan batasan agama.

Similar Posts