Menilik Keberkahan di Pasar Modern
Majalahnabawi.com – Muamalah sekarang tidak hanya digambarkan sebagai transaksi antara penjual dan pembeli di sebuah pasar, tetapi lebih dari itu muamalah bisa dikaitkan dengan segala hubungan transksi yang terjadi di masyarakat baik di dunia nyata maupun dunia maya, secara tidak langsung pada masa pandemi sekarang, kita dituntut untuk terjun dalam transaksi muamalah dalam dunia maya. Oleh karena itu, kita harus paham dan mengerti prinsip-prinsip dasar muamalah, yang dapat kita implementasikan pada transaksi muamalah sehari-hari.
Prinsip-Prinsip Dasar Muamalah
Berdasarkan ide pokok pada al-Quran dan Sunnah ditemukan beberapa prinsip-prinsip dasar muamalat di dalam kedua sumber hukum Islam tersebut, jika ditelaah dan kita terapkan pada muamalah, kita akan mendapat dua keuntungan, yaitu usaha yang kita lakukan dan berkah yang terkandung pada usaha tersebut.
Adapun prinsip dasar tersebut yaitu:
1. Seluruh tindakan muamalah dilakukan atas dasar nilai-nilai ketuhanan (Tauhid). Yang dimaksud dari prinsip pertama ini adalah ketika sedang melakukan muamalah, baik muamalah dalam lingkup umum atau khusus kita harus melakukannya hanya dalam rangka ta’abud atau mengabdikan diri kepada Allah, dan berprinsip bahwa Allah selalu mengawasi segala sesuatu yang kita lakukan, tanpa terlewat sedikitpun. sebagaimana firman Allah dalam surat al-Dzariyat/51: 56 yang berbunyi:
ِوَمَا خَلَقْتُ الجِنَّ وَالْإِنْسَ إلَّا لِيَعبُدُون
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (al-Dzariyat/51: 56)
Hikmah Penciptaan Manusia
Di dalam tafsir ayat ini, Allah tidak membiarkan kita begitu saja. Bukankah Allah juga memerintahkan kita untuk makan, minum, melepas lelah, tidur, mencari sesuap nasi untuk keberlangsungan hidup. Ingatlah, bukan sekedar hikmah seperti ini Allah menciptakan kita. Tetapi ada hikmah besar di balik itu semua, yaitu agar setiap hamba dapat beribadah kepada-Nya.
Setelah kita mengetahui tujuan hidup kita di dunia ini, perlu diketahui pula bahwa jika Allah memerintahkan kita untuk beribadah kepada-Nya, bukan berarti Allah butuh pada kita. Sesungguhnya Allah tidak menghendaki sedikit pun hasil yang kita usahakan, melainkan Allah lah Sang pemberi hasil tersebut dengan perantara usaha yang kita lakukan.
Seimbang Urusan Dunia dan Akhirat
Dalam maksud lain prinsip ini juga bisa diartikan bahwa kita dalam melakukan muamalah bukan hanya memerhatikan persoalan duniawi namun juga harus memerhatikan persoalan Ukhrawi, seabagaimana firman Allah dalam surat al-Qashash/28 : 77 yang berbunyi:
وَابْتَغِ فِيْمَآ أٰتٰىكَ اللّٰهُ الدَّارَ الْأٰخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَآ أَحْسَنَ اللّٰهُ إِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِى الْاَرْض ۗ إِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِيْنَ
“Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia dan berbuatbaiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan.” (al-Qashash/28:77).
Moral Luhur dalam Bermuamalah
2. Muamalah harus didasarkan pada pertimbangan moral yang luhur (akhlak al-karimah).
Di dalam Islam, muamalah tidak dipisahkan dari kata akhlak, keduanya harus berjalan beriringan dan saling melengkapi satu sama lain. Ibaratkan muamalah adalah fikih, sedangkan akhlak adalah tasawuf, di mana fiqih dan tasawuf dituntut untuk saling melengkapi. Sebagaimana perkataan imam Malik bin Anas yang berbunyi:
َمَنْ تَفَقَّهَ وَلَمْ یَتَصَوَّفْ فَقَدْ تَفَسَّق
َوَمَنْ تَصَوَّفَ وَلَمْ يَتَفَقَّهْ فَقَدْ تَزَنْدَقَ
وَمَنْ جَمَعَ بَيْنَهُمَا فَقَدْ تَحَقَّق
“Barangsiapa berfikih tanpa tasawuf, maka akan menjadi fasik. Barangsiapa yang bertasawuf tanpa fikih, maka akan menjadi zindik. Barangsiapa mengamalkan keduanya maka akan mencapai hakikat.” (Hasiyah al-Adawi ala’ syarh al-Imam al-Zarqoni ala’ matn al-Aziyah fi al-Fiqh al-Maliki (195/3).
Nilai Moral dalam Muamalah
Atas dasar prinsip ini, maka segala kegiatan muamalah harus dilakukan dengan mengedepankan nilai-nilai moral yang luhur seperti keadilan (al-‘adl), keutamaan (al-ihsan), kejujuran (shidq), keterbukaan (tabligh), Kasih sayang (rahmah), kesetiakawanan (ukhuwwah), suka sama suka (ridha), persamaan (musawah) tanggung jawab (amanah), dan profesional (fathanah/itqan).
Dengan demikian, segala bentuk transaksi bisnis yang mengandung unsur riba (riba) penipuan (tadlis), ketidakpastian (gharar/tagrir), penganiayaan/ pemerasan (dzulm), diskriminatif (ghair ‘adalah), paksaan (ikrah), penyogokan (risywah) dan unsur-unsur lain yang merugikan harus dihindarkan dan apabila telah berjalan harus dibatalkan karena bertentangan tentang prinsip-prinsip moral (akhlak) dalam syariat Islam.
Jika kedua prinsip di atas telah kita terapkan dan kita jadikan pondasi dasar kegiatan sehari-hari dalam bermuamalah, betapa mudah dan harmonis pandangan orang terhadap muamalah, yang sering dipandang hanya sebagai ajang untuk mendapat keuntungan semata, tanpa mengedepankan nilai-nilai agama.