Menjawab “Saya Tidak Tahu”

Majalahnabawi.com – Turunkah harga diri dengan menjawab “Saya tidak tahu”?. Sebagai seorang akademisi tentu saja kita merasa senang ketika kita mampu menjawab suatu pertanyaan yang diajukan kepada kita. Bahkan menjawab suatu pertanyaan membuat kita merasa pintar dan memiliki pengetahuan yang luas. Sebaliknya, kita merasa gengsi untuk mengakui bahwa kita tidak mengetahui jawaban dari apa yang seseorang tanyakan kepada kita. Dan kemudian menjawab “saya tidak tahu”. Kita mungkin beranggapan bahwa jika kita tidak mampu menjawab pertanyaan tersebut, maka orang akan menganggap kita sebagai orang bodoh. Imam Hasyim Asy’ari dalam kitabnya Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim mengutip perkataan sayyidina Ali karromallahu wajhah wa rodhiyallahu ‘anhu yang berbunyi:

كَفَى بِالْعِلْمِ شَرَفًا أَنْ يَدَّعِيْ مَنْ لَا يُحْسِنُهُ وَكَفَى بِالْجَهْلِ ذَمًّا أَنْ يَتَبَرَّأَ مِنْهُ مَنْ هُوَ فِيْهِ

Kemuliaan ilmu cukup dilihat dari pengakuan seseorang yang tidak berilmu bahwa ia berilmu. Dan kehinaan kebodohan cukup dilihat dari penampikan orang bodoh bahwa dia bodoh.

Dari sini bisa kita lihat bahwa seringkali ketidakmampuan kita dalam menjawab suatu pertanyaan dengan “saya tidak tahu”. Dan juga mengakui kebodohan kita adalah bukti bahwa kebodohan itu merupakan sesuatu yang hina. Saking hinanya kita tidak ingin seseorang menganggap kita sebagai orang bodoh dan menganggap bahwa harga diri kita turun ketika kita menjawab tidak tahu. Lalu bagaimanakah pandangan Islam terhadap ungkapan “tidak tahu” ini?. Berikut beberapa pemaparan tentang ungkapan “tidak tahu” ini.

Al-Quran dan Ilmu di Balik Ungkapan “Saya Tidak Tahu”

Al-Quran sendiri melarang keras seseorang untuk mengada-ada dalam menjawab suatu pertanyaan. Bahkan mengatakan sesuatu yang tidak benar merupakan suatu dosa besar.  Sebagaimana firman Allah dalam surat al-A’raf ayat 33:

قُلۡ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الۡفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنۡهَا وَمَا بَطَنَ وَالۡإِثۡمَ وَالۡبَغۡيَ بِغَيۡرِ الۡحَقِّ وَأَن تُشۡرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمۡ يُنَزِّلۡ بِهِۦ سُلۡطَانًا وَأَن تَقُوْلُوْا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعۡلَمُوْنَ

Katakanlah (Muhammad), “Tuhanku hanya mengharamkan segala perbuatan keji yang terlihat dan yang tersembunyi, perbuatan dosa, perbuatan zalim tanpa alasan yang benar, dan (mengharamkan) kamu mempersekutukan Allah dengan sesuatu sedangkan Dia tidak menurunkan alasan untuk itu, dan (mengharamkan) kamu membicarakan tentang Allah apa yang tidak kamu ketahui.

Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah mengatakan: Allah benar-benar mengharamkan untuk berbicara tentang-Nya tanpa dasar ilmu dalam fatwa ataupun suatu ketetapan. Dan menjadikan hal tersebut sebagai bagian dari larangan yang paling besar. Dalam ayat ini Allah membagi pengharaman atau larangan kedalam empat tingkatan. Kemudian menyebutkan yang paling ringan terlebih dahulu yaitu perbuatan keji. Lalu melanjutkan dengan menyebutkan larangan yang lebih berat yaitu dosa dan perbuatan zalim. Kemudian melanjutkan dengan yang lebih berat lagi yaitu menyekutukan Allah. Dan melanjutkan dengan menyebutkan larangan yang paling berat yaitu berbicara tentang Allah tanpa adanya ilmu. Berbicara dalam hal ini mencakup ucapan tentang Allah secara umum seperti tentang Asma Allah, sifat-Nya, Af’al-Nya dalam agama dan syariat.

Dan sudah kita ketahui bahwa segala sesuatu yang terjadi merupakan Af’al Allah subhanahu wata’ala. Sehingga mengatakan tentang hal yang tidak terjadi tanpa dasar ilmu merupakan pembicaraan tentang Af’al Allah tanpa adanya ilmu.

Dari sini bisa kita simpulkan bahwa Allah memerintah kita untuk mengatakan “tidak tahu” atas pertanyaan yang memang tidak kita ketahui jawabanya. Dan Allah juga mengharamkan untuk menjawab suatu pertanyaan dengan mengada-ada tanpa dasar ilmu.

Nabi dan Ungkapan “Saya Tidak Tahu”

Bahkan baginda nabi yang merupakan kota ilmu pengetahuan juga mengatakan “aku tidak tahu” atas suatu hal yang memang tidak ia ketahui. Hal ini merupakan contoh dan penjelasan bagi kita bahwa mengakui ketidaktahuan kita atas sesuatu bukanlah hal yang menurunkan harga diri kita. Melainkan sebaliknya, mengakui ketidaktahuan kita merupakan suatu kemulyaan yang baginda Nabi ﷺ contohkan. Contohnya bisa kita lihat dalam kitab Sunan Abi Dawud juz empat halaman 218 nomor hadis 4674 yaitu:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ‌مَا ‌أَدْرِي ‌أَتُبَّعٌ ‌لَعِينٌ هُوَ أَمْ لَا، وَمَا أَدْرِيْ أَعُزَيْرٌ نَبِيٌّ هُوَ أَمْ لَا

Aku tidak tahu apakah tuba’ termasuk orang yang terlaknat atau tidak dan aku tidak tahu apakah Uzair merupakan nabi atau bukan.

Imam malik bin anas juga mengatakan bahwa baginda Nabi ﷺ tidaklah menjawab suatu pertanyaan sampai datang wahyu dari langit.

Begitu banyak ilmu dan hikmah yang terkandung dalam tiga kata tersebut. Bahkan Syekh Abdurrahman Yusuf al-Farhan menulis sebuah kitab dengan judul “Para ulama dan Ilmu dalam Kata “saya tidak tahu”. Hal itu karena begitu banyaknya hikmah dalam tiga kata tersebut. Sehingga bisa kita simpulkan bahwa harga diri seseorang tidaklah turun ketika ia menjawab pertanyaan yang tidak ia ketahui jawabannya dengan ungkapan “saya tidak tahu”

Similar Posts