Menjemput Cinta Bulan Ramadan
Bulan Ramadan bukanlah bulan purnama, bukan juga bulan sabit, melainkan jauh lebih indah dan penuh dengan rahmat bagi penduduk bumi yang ada di dalamnya. Ketika bulan purnama itu indah dengan perangainya bersinar dan menyinari bumi, lagi dan lagi bulan Ramadan jauh lebih indah dari itu semua dengan segala rahmat dan ampunan yang dihidangkan oleh sang Maha Asih.
Pada moment indah itu para makhluk-Nya diperintahkan untuk berlomba-lomba menjemput kebaikan yang telah Dia hamparkan di muka bumi. Jalan menuju kebaikan-Nya pun beraneka ragam, akan tetapi tujuan dari semua itu hanyalah satu, yaitu bersimpuh menuju ridha Sang Ilahi Rabbi.
Ikutilah dengan tunduk dan patuh akan segala perintah-Nya, sebab itu datangnya dari Tuhan. Perintah itu tidak ditangguhkan kepada makhluk-Nya melainkan sesuai dengan batasan yang telah ditentukan-Nya. Menahan lapar dan dahaga dari terbitnya fajar hingga terbenam matahari merupakan salah satu yang perintah-Nya, yang hal ini bukanlah pertama kali dilakukan oleh umat Muhammad saw, karna dalam suatu riwayat umat terdahulu pernah melakukanya. Merujuk pada karya “Misteri Bulan Ramadan” karya Yusuf Burhanuddin, Imam Al-Qurthubi mengungkapkan bahwa Nabi Nuh AS dianggap sebagai orang pertama yang melaksanakan puasa pada bulan Ramadan. Puasa ini dilakukan oleh Nabi Nuh AS sebagai bentuk ibadah syukur kepada Allah SWT atas keselamatan dirinya dan komunitasnya setelah menghadapi badai yang melanda negeri mereka.
Olehnya siapa saja yang melanggar perintah Rasul, berarti telah membangkang kepada Tuhan, sebab perintah Rasul itu asalnya dari Tuhan.
وَمَآ اٰتٰىكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهٰىكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْاۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَۗ اِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِۘ ٧
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu terimalah. Apa yang dilarangnya bagimu tinggalkanlah. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya” (QS al- Hasyr: 7).
Cinta sejati bukan sekadar romansa manis atau kisah dongeng yang berakhir bahagia. Di bulan Ramadan, cinta sejati hadir dalam bentuk yang lebih mendalam, ia tumbuh dalam kesabaran seorang ibu yang memasak sahur di tengah kantuk, dalam keikhlasan seorang ayah yang tetap bekerja meski berpuasa, dan dalam keteguhan seseorang yang menahan amarah demi menjaga puasanya tetap utuh. Ramadan adalah arena bagi cinta yang tak selalu terlihat, tetapi terasa dalam setiap sujud panjang, doa-doa lirih di sepertiga malam, serta kehangatan berbagi meski dalam keterbatasan. Di sinilah kita belajar bahwa cinta sejati bukan sekadar ditemukan, tetapi dijemput dengan ketulusan, pengorbanan, dan kedekatan kepada-Nya.
Semua itu karena Tuhan Allah, yang menjadikan kita, memberi kita kenikmatan tiada terhingga yang membuat dipertemukan dengan bulan mulia suci Ramadan.Tuhan memberi ganjaran dari pekerjaan baik yamg telah kita kerjakan, dan Dia pula yang memberi balasan sepadan dengan kejahatan yang terlanjur dilakukan. Pada bulan Ramadan inilah Dia telah mengahmparkan beribu-ribu kebaikan yang dapat kita raih, kita wadahi hingga waktu usai itu tiba.
Sendi niat yang tulus ialah cinta, mahabbah. Sebab cinta merupakan cahaya bahtera menuju sebuah ketaatan, bukanlah sekedar menggugurkan akan kewajiban, melainkan persembahan yang tulus dari keihklasan hati. Barang siapa ia cinta dengan sebenar-benarnya cinta, sudah pasti sucilah niatnya, ikhlaslah setiap langkahnya yang karena semua itu tidaklah mengharapkan apapun terkecuali mendapatkan keridhaan serta kasih sayang dari yang dicintainya.
Begitulah hakikat amalan dalam agama cinta kepada Allah dan Rasul-Nya adalah pangkal dari segala kebaikan. Rasul yang diutus dengan cahaya kebenaran, membawa agama yang lurus sebagai petunjuk bagi semesta, menjadi saksi di antara segala keyakinan yang ada di dunia ini. Tiada ibadah yang bernilai tanpa cinta, tiada ketaatan yang sempurna tanpa mahabbah yang mendalam kepada-Nya. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw.
Jalan menuju Ilahi telah di kupas secara ringkas oleh Hujatul Islam, al-Ghazali di dalam “Mukhtashor Ihya”nya menjadi dua cabang bagian. Demikian bunyinya, Salah satu kunci meraih kecintaan Allah ialah hati yang sunyi dari segala selain-Nya. Sebab, sebagaimana bejana yang dikosongkan dari isinya akan lebih lapang menerima yang baru, demikian pula hati yang terbebas dari belenggu dunia akan lebih mampu menampung cahaya Ilahi. Lepasnya ikatan dari segala yang fana melahirkan keabstrakan dan ketunggalan, sebagaimana firman-Nya yang menegaskan, “Katakanlah, ‘Allah,’ kemudian tinggalkanlah mereka.” (QS. Al-An’am: 91).
Sebab kedua ialah kesempurnaan ilmu, yang bagaikan bulan purnama yang bersinar di hamparan bumi, memberi cahaya dan kehidupan bagi tunas-tunas hikmah. Jika hati telah bersih dari semak-semak kelalaian, maka ilmu akan berakar kuat dan menjulang tinggi, sebagaimana firman Allah, “Akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit.” (QS. Ibrahim : 24).
Sungguh, Allah Maha Mengetahui dan Maha Membimbing hati yang rindu pada-Nya.
Kesempatan itu tak datang dua kali, namun hal itu tidak berlaku bagi insan yang terus berusaha untuk meraihnya. Tanamkanlah di sanubari, seolah hari ini adalah hari terakhir kita menginjak bumi, seakan Ramadan ini adalah perjamuan terakhir yang Allah hamparkan untuk kita. Bayangkanlah bahwa fajar esok tak lagi menyapa, dan bulan suci ini tak akan kembali dalam genggaman.
Dengan kesadaran itu, biarkan jiwa dan raga tergerak, melangkah dengan ketulusan, menunaikan ibadah dengan segenap daya, agar setiap sujud, setiap doa, dan setiap hela napas menjadi persembahan terbaik untuk meraih ridha Ilahi Rabbi.