Menolak Vonis Bid’ah Terhadap Perayaan Maulid Nabi
Bulan Rabiul Awal adalah bulan yang identik dengan satu hal. Ya, benar! Apalagi kalau bukan Maulid Nabi Muhammad Saw? Karena begitu banyaknya perayaan Maulid di bulan ini, maka hal ini pun kita kenal dengan bulan Maulid.
Bagi kita yang memiliki paham Ahlussunnah Wal Jamaah khususnya warga NU, perayaan Maulid tentu bukanlah hal yang asing di telinga. Sering kali perayaan untuk memperingati hari lahir Nabi Muhammad Saw. tersebut menjadi momen yang sebagian kalangan tunggu-tunggu, khususnya kita kaum santri. Namun, di balik euforia (perasaan gembira yang berlebihan) dan semaraknya perayaan Maulid Nabi di berbagai tempat, masih ada sebagian kalangan yang masih mempermasalahkan -kalau tidak membid’ahkan- acara yang berkaitan dengan maulid yang sering beredar di masyarakat. Siapakah mereka? Ya siapa lagi kalau bukan Wahabi dan antek-anteknya?
Aliran Islam puritan (pemurnian agama) yang dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahab ini terkenal dengan klaim bid’ah mereka terhadap amaliyah-amaliyah Ahlussunnah, seperti tawassul, tahlil, ziarah kubur, dsb. Tak ayal perayan Maulid Nabi pun tidak luput dari klaim bid’ah mereka. Hemat saya, setidaknya ada dua alasan yang mendasari klaim bid’ah tersebut. Pertama, tidak ada dalil yang menjelaskan anjuran Maulid Nabi, baik dari Al-Quran, hadis, ataupun perkataan para sahabat. Kedua, tanggal dan hari kelahiran Nabi merupakan sesuatu yang masih para ulama perdebatkan. Oleh karena itu, tidaklah pas kita menentukan 12 Rabiul Awal sebagai perayaan Maulid Nabi. Benarkah hal tersebut? Pantaskah Maulid Nabi kita sebut bid’ah? Simak ulasan berikut yah!
Dalil Maulid
Perlu kita ketahui, bahwa tujuan dari perayaan Maulid adalah menampakkan kebahagiaan kita terhadap kelahiran Nabi Muhammad Saw. dengan melakukan kebaikan, seperti bershalawat dan berbagi makanan kepada sesama atau bersedekah. Dan taukah anda bahwa orang yang pertama kali melakukukannya adalah seorang yang kafir, yaitu Abu Lahab? Abu Lahab adalah orang yang paling gembira saat mendengar Nabi Muhammad Saw. lahir. Saking gembiranya dia sampai memerdekakan budaknya yang bernama Tsuwaibah.
Diriwayatkan bahwa Sayyidina Abbas bin Abdul Muthallib pernah bermimpi melihat Abu Lahab dalam tidurnya. Ia pun menanyakan perihal keadaan Abu Lahab sekarang di akhirat. Abu Lahab pun mejawab “Aku tidak mendapatkan apapun sepeninggal kalian kecuali aku diberi minum karena telah memerdekakan Tsuaibah dan setiap hari Senin siksaanku diringankan karenanya.”
Mungkin, sepintas hal yang Abu Lahab lakukan berbeda dengan apa yang kita lakukan. Abu Lahab tidak mengadakan Majelis Ta’lim yang diiringi dengan rebana dan lantunan shalawat atau semacamnya. Ya, wajar saja. Karena mungkin saat itu Habib Syech tidak seterkenal sekarang. Tapi esensi dari apa yang Abu Lahab lakukan dengan apa yang kita lakukan itu sama. Yaitu menampakkan kebahagiaan akan kelahiran Rasulullah Saw. Bukankah itu inti dari perayaan Maulid? Jika si kafir Abu Lahab saja siksaannya bisa Allah ringankan, karena rasa bahagianya akan kelahiran Rasulullah, lantas mengapa jika kita yang melakukannya malah masuk neraka? Padahal esensi dari perayaan maulid adalah menampakkan kebahagiaan dan rasa syukur kita akan kelahiran Rasulullah Saw. bukankah Allah Swt. telah berfirman dalam Al-Quran:
قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوْا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُوْنَ
Artinya: Katakanlah, dengan anugerah Allah dan rahmatNya (Nabi Muhammad Saw) hendaklah mereka menyambut dengan senang gembira. (QS.Yunus: 58)
Jadi, tidak benar jika mereka mengatakan bahwa perayaan Maulid Nabi tidak ada dalilnya. Ayat dan kisah tentang Abu Lahab di atas bisa menjadi rujukan utama sebagai dalil diperbolehkannya merayakan maulid nabi. Meskipun tidak secara detail adanya kejelasan seperti apa praktek Maulid Nabi yang seharusnya, tetapi keduanya memilik esensi yang sama dengan praktek Maulid Nabi yang lumrah terjadi, yaitu anjuran untuk menampakkan rasa syukur kita akan kelahiran Baginda Rasulullah Saw. dengan melakukan kebaikan dan berbagi terhadap sesama.
Perdebatan tentang Tanggal Kelahiran Nabi Muhammad Saw.
Memang, di antara para ulama masih terjadi perdebatan mengenai hari kelahiran Nabi Muhammad Saw. Menurut Imam Ibnu Hazm, Rasulullah lahir tanggal 8 Rabiul Awal. Ada yang mengatakan tanggal 10, bahkan ada yang mengatakan Beliau lahir di bulan Ramadhan. Akan tetapi, pendapat yang masyhur dan jumhur ulama menyepakatinya adalah pendapatnya Imam Ibnu Ishak, yaitu tanggal 12 bulan Rabiul Awal.
Namun, perdebatan di atas bukan alasan bagi kita untuk tidak merayakan Maulid Nabi. Perlu kita ingat kembali, Maulid Nabi bukanlah suatu ibadah yang berkaitan dengan waktu tertentu, akan tetapi -sebagaimana yang telah kami paparkan di atas- perayaan maulid adalah bentuk rasa syukur kita akan kelahiran Nabi Muhammad Saw. dan tentunya hal ini boleh kita lakukan kapan pun dan di mana pun. Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliky dalam kitab nya “Mafahim yajibu an tushohhah” menjelaskan bahwa tidak adanya kesepakatan di antara para ulama mengenai kelahiran Nabi tidak berpengaruh apa-apa. Karena kita tidak meyakini bahwa perayaan tersebut menjadi syariat pada waktu tertentu.
Akan tetapi, hal yang paling ditekankan di sini adalah mencari kesempatan agar masyarakat bisa berkumpul bersama untuk selanjutnya mengarahkan mereka pada kebaikan. Karena berkumpulnya mereka pada malam perayaan tersebut untuk berdzikir pada Allah dan menampakkan kecintaan pada Rasulullah -entah mereka melakukannya di waktu yang benar atau tidak- itu sudah cukup untuk memperoleh rahmat dan karunia dari Allah Swt.
Lebih jauh lagi, Beliau memberi ibarat seperti berikut: “Ada seseorang mengundang masyarakat di daerahnya untuk menghadiri walimah di kediamannya di hari dan tanggal sekian. Kemudian ada sebagian tamu undangan yang datang sebelum waktunya. Sebagai tuan rumah yang baik, apakah ia akan mengusir dan memarahi para tamu tersebut? Ataukah sebaliknya, ia akan menerima mereka dengan senang hati dan meminta mereka kembali lagi pada waktunya? Jika ia tuan rumah yang baik tentu pilihan ke dua yang lebih tepat.”
Kita tidak perlu terlalu mementingkan apakah kita merayakan Maulid Nabi di hari yang tepat atau tidak. Karena hal tersebut jika kita melakukannya di hari yang benar dan sesuai dengan kenyataan maka Alhamdulillah. Toh, jika ternyata salah maka kita yakini bahwa Allah Swt. tidak akan menolak kita dan akan selalu membukakan pintunya bagi kita.
Perayaan Maulid Nabi termasuk Bid’ah Hasanah
Dari pemaparan di atas, dapat kita pahami bahwa tidak benar jika kita memvonis perayaan Maulid Nabi itu bid’ah. Toh meskipun ngotot menghukuminya sebagai bid’ah maka sejatinya ia adalah bid’ah hasanah yang mana syari’at membolehkan bid’ah ini. Dalam masterpicenya, kitab “I’anatut Tholibin”, Syekh Abu Bakar Syatha ad-Dimyati mengutip perkataan Imam Suyuthi
وما وقع في مولده من الآيات ثم يمد لهم سماط يأكلونه وينصرفون من غير زيادة على ذلك من البدع الحسنة التي عليها صاحبها لما فيه من تعظيم قدر النبي – صلى الله عليه وسلم – وإظهار الفرح والاستبشار بمولده الشريف
“Hal yang biasa terjadi ketika perayaan Maulid yaitu seperti pembacaan ayat dan hidangan-hidangan, tanpa ada hal lain (yang tidak diperbolehkan), merupakan bid’ah hasanah yang boleh dilakukan karena di dalamnya ada pengagungan terhadap derajat Nabi Muhammad Saw. dan menampakkan kebahagiaan akan kelahirannya yang Mulia”
Terakhir, saya akan menutup tulisan ini dengan syair yang Sayyid Alawi al-Maliki kutip dalam kitabnya “Mafahim yajibu an tushahhah” untuk menyindir perilaku Wahabi yang suka menvonis bid’ah dan tidak mau mengakui kebenaran:
كل يدعي وصلا بليلى وليلا لاتقر لهم بذاك
“Mereka mengaku tau terhadap hakikat padahal hakikat tidak pernah mengakui mereka”
Wallahu a’lam.