Menuntut Ilmu sampai Puncak Hakikat, Jangan Tersesat
Majalahnabawi.com – Orang yang pergi untuk menuntut ilmu dengan niat memperoleh hidayah dari Allah Swt, maka dia termasuk orang yang beruntung dua kali. Karena di samping mendapatkan ilmu, dia juga mendapatkan keridaan dari para malaikat. Sayap-sayap malaikat dibentangkan menaungi para penuntut ilmu dan dia layak menjadi bagian dari golongan orang-orang mujahid.
Kemuliaan Menuntut Ilmu
Betapa mulianya orang yang menuntut ilmu, ia berangkat dari tempat tinggalnya menuju majelis ilmu dengan dinaungi sayapnya para malaikat, bahkan Ikan-ikan di laut pun membacakan istigfar kepada orang yang pergi guna menuntut ilmu (thalabul ilm). Kenapa ada hubungannya antara penuntut ilmu dengan binatang seperti ikan? Jawabannya tidak lain karena orang yang menuntut ilmu, kebaikan ilmunya akan berdampak positif pada lingkungan alam, termasuk ekosistem laut. Maka sebagai bentuk penghormatan kepada ahlul ilmi yang ikut serta menjaga keberlangsungan ekosistem alam lingkungan sekitar, maka ikan-ikan turut berterimakasih kepada para penuntut ilmu, dengan memohonkan ampun untuk mereka.
Hidayah Adalah Buah dari Ilmu
Akan tetapi para penuntut ilmu hendaknya mengetahui sebelum segala sesuatu. “Mengetahui hal apa”? Mengetahui bahwa sesungguhnya hidayah itu adalah buah dari ilmu. Hidayah yang merupakan petunjuk dari Allah Swt, itu memiliki permulaan dan penghujungnya, juga zahir dan batinnya. Dan penuntut ilmu tidaklah akan sampai pada puncak hidayah itu, melainkan setelah memantapkan atau menetapkan permulaannya dahulu. Dengan memantapkan permulaan, puncak hidayah akan bisa dicapai dengan kokoh dan kuat.
Apa yang dimaksud dengan permulaan hidayah itu? Yaitu syariat agama. Puncaknya dalam beribadah hingga mencapai titik mengenal hakikat Allah Swt. Dan lintasan untuk melalui batinnya pun tidak akan sampai, kecuali setelah berdiam dengan menyaksikan dan menuntaskan zahirnya terlebih dahulu.
Apakah zahir dari hidayah itu? pun zahirnya adalah syariat agama. Ibarat orang naik perahu kemudian mendayung mengarungi lautan untuk sampai ke tengah lautan, kemudian menyelam menuju kedalaman untuk mencari mutiara. Nah, perahu itu adalah syariat, dan thariqah-nya adalah lautannya, sementara hakikatnya adalah mutiara. Maka permulaan mencari mutiara adalah harus dengan mengarungi lautan dulu dengan sampan. Tidak akan mungkin seseorang langsung dapat mengambil mutiara kecuali ia harus melalui proses naik perahu terlebih dahulu, kemudian menyelam. Begitu juga, penuntut ilmu itu tidak akan mungkin langsung mencapai hakikat tanpa menempuh syariat dan thariqah-nya dulu.
Nasihat Imam al- Ghazali
Imam Al-Gazali memberi petunjuk kepada murid yang ingin mencapai kebaikan terhadap permulaan hidayah. “Bagaimana untuk memulai hidayah itu? “ yaitu dengan menguji diri dan nafsu pada permulaan hidayah. Dan agar menguji dan terus mencoba terhadap hidayah itu dengan hati. Maka jika di dalam hati terdapat kecenderungan atau kesenangan terhadap bidayatul hidayah (permulaan hidayah) itu, maka ambillah dan teruskan untuk terus naik ke tingkatan menuju puncak. Dan jika ada rasa keinginan yang kuat, maka sambutlah keinginan itu dengan terus melanjutkan sampai tenggelam di lautan ilmu. Lautan ilmu merupakan sebuah ungkapan karena ilmu itu bagaikan lautan yang di dalamnya terdapat banyak rahasia-rahasia dan tidak semua orang dapat mengetahuinya.
Namun apabila hatimu belum cenderung menerima bidayatul hidayah dan hanya memberikan harapan kecil saja, pun enggan untuk mengamalkan, atau bahkan menunda-nunda saja. Ketahuilah, bahwa yang cenderung atau yang mendorong untuk mencari ilmu adalah nafsu ammarah-mu. Dan nafsu inilah yang nantinya akan selalu mengajak diri kepada keburukan-keburukan. Nafsu itu terus bangkit, padahal sejatinya ia menuruti kemauan setan. Dengan tipu dayanya, setan akan menyeret secara perlahan-lahan menuju jurang yang sangat celaka, naudzubillahi min dzalik.