Menyerupai Orang Kafir Sama dengan Orang Kafir, Apakah Benar?
Rasionalika.darussunnah x Majalahnabawi.com – Orang kafir sering disebut sebagai orang yang tidak menganut agama yang kita anut, atau mereka yang berbeda keyakinan dengan apa yang kita yakini. Walaupun berbeda keyakinan, sikap kita terhadap mereka harus selalu diperhatikan. Sikap saling toleransi atau menghargai menjadi sifat yang seharusnya dipraktikkan di lapangan. Faktanya, semakin berkembangnya zaman, semakin berkembang pula gaya ataupun bentuk penampilan yang diminati masyarakat. Bahkan ada yang memperhatikan dan memperingatkan kita untuk tidak berlebihan dalam berpenampilan ataupun bersikap sehingga tidak melewati batas koridor agama atau menyerupai orang kafir, seperti halnya tradisi tren Barat pada perayaan Tahun Baru (New Year). Pada masa Nabi Muhammad Saw. tidak ada tradisi merayakan tahun baru. Akan tetapi, zaman sekarang orang muslim, mulai dari anak-anak hingga orang tua, ikut merayakan sampai harus begadang tengah malam.
Perayaan tahun baru bukanlah ajaran Islam, melainkan ajaran non-muslim. Karena banyaknya kelalaian dalam menetapkan syariat Islam, tradisi Barat menjadi fenomena yang biasa dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini menjadikan masyarakat mengubah pola berpikir dan gaya hidup mereka.
Tidak diragukan lagi, Nabi Muhammad Saw. telah menjadi panutan umat muslim pada masanya hingga sekarang. Dengan ilmu-ilmu yang Nabi ajarkan kepada kaumnya, yang lebih sering disebut dengan Hadis Nabi, kehidupan umat manusia menjadi lebih baik dan tidak semena-mena. Sebagaimana yang telah dikatakan oleh Rasulullah saw.:
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، حَدَّثَنَا أَبُو النَّضْرِ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ ثَابِتٍ، حَدَّثَنَا حَسَّانُ بْنُ عَطِيَّةَ، عَنْ أَبِي مُنِيبٍ الْجُرَشِيِّ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ.” (رواه ابو داود)
.أبو داود : سليمان بن الأشعث بن شداد بن عمرو بن إسحاق بن بشير الأزدي السجستاني
Artinya:
Dari Ibnu Umar r.a. (w. 73 H), ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk bagian darinya.”
(HR. Abu Dawud, 202 H–275 H).
Istifadah:
Dalam Hadis Nabi menyatakan bahwa ada larangan bagi umat Islam untuk tasyabbuh dengan suatu kaum. Tasyabbuh, yang berasal dari kata musyabahah , memiliki arti menyerupai. Bahwasanya larangan menyerupai di sini adalah perbuatan yang mana itu berasal dari kaum non-muslim (kafir).
Melihat asbab al-wurud Hadis tasyabbuh , ketika Nabi Muhammad Saw. akan melakukan Perang Uhud, ada salah satu sahabat yang bertanya, “Bagaimana aku bisa membedakan mana yang termasuk kaum muslim dan kaum musyrik? Sementara mereka semua terlihat sama.” Dari hal itulah diputuskan untuk memberi tanda pada pakaian mereka agar bisa membedakan pasukan mereka dan pasukan lawan. Mengangkat dari pertanyaan itu, Nabi Muhammad Saw. bersabda: “Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dari kaum tersebut.”
Lalu bagaimana arti, maksud, dan tujuan sebenarnya dari Hadis tersebut? Kiranya di sini kita perlu membahas kronologi daripada hadis tersebut, baik itu redaksinya, kualitas perawinya, makna, serta maksudnya. Hadis ini (man tasyabbaha bikaumin fahuwa minhum) merupakan potongan dari hadis lengkap yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Ibnu Abi Syaibah, Baihaqi, Abdu Ibnu Humaid, dari Ibnu Umar, yang artinya: “Aku diutus di zaman sebelum kiamat dengan pedang hingga hanya Allah sajalah yang disembah, tiada sekutu bagi-Nya, menjadikan rezekiku di bawah bayangan tombakku, dan menjadikan hina dan kenistaan bagi siapa saja yang menentang perintah-Ku. Dan barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk dari mereka.”
Di sini, kata yang menjadi sorotan adalah lafaz tasyabbuh . Sebaiknya dalam memahami Hadis tasyabbuh ini perlu melihat konteks sosial, budaya, serta politik pada zaman Nabi Saw., yang kemudian kita tarik dalam konteks saat ini. Pada zaman Nabi Muhammad Saw., identitas komunitas sangat penting karena pada saat itu bangsa Arab memiliki tradisi yang sama—bahasa, kebudayaan, bahkan pakaian juga hampir sama. Hal ini sangat wajar karena untuk membedakan antara kaum Muslimin dan Yahudi, Nasrani, Majusi, serta kaum musyrik lainnya, dari sinilah Nabi mulai mengeluarkan perintah larangan untuk menyerupai kaum non-muslim, bukan hanya untuk kepentingan identitas, namun juga untuk strategi politik yang beliau bangun dan upaya beliau untuk membentengi loyalitas kaum Muslimin yang masih dalam proses pengembangan.
Nah, di sinilah kelemahan kita, yakni terlalu buru-buru mengklaim seseorang sampai pada titik pengkafiran. Hadis man tasyabbaha bikaumin fahuwa minhum bila digandengkan dengan hadis lain seperti:
من رضي عمل قوم كان منهم
Artinya: Barang siapa yang ridha dengan amalan suatu kaum, maka ia termasuk golongan kaum itu.
Dari Hadis ini, penyerupaan yang dilarang adalah yang dibarengi dengan niat serta rida terhadap amalan itu. Bila tidak, maka tidak pantas seseorang dihitung bagian dari golongan itu (kafir) hanya karena mengikuti tanpa adanya niat dan rida. Semoga dengan ini kita menjadi pribadi yang arif dan bijaksana dalam menyikapi problem semacam ini, agar terjalin hubungan yang baik antar sesama, terciptanya keharmonisan dalam kehidupan bersama.
Wallahu a’lam