Menyikapi Kontradiksi Hadiah dan Suap

Majalahnabawi.com – Bersikap dermawan dengan berbagi sebagian harta kita kepada orang lain merupakan sunnah yang Nabi anjurkan. Hal ini juga agar mendidik jiwa kita untuk lebih zuhud dan melatih diri menjauhi cinta dunia. Selain itu, berbagi dengan orang lain juga dapat memupuk rasa cinta dan kasih sayang antara sesama. Namun dalam hal pemberian, terdapat berbagai tujuan yang menentukan hukum pemberian tersebut, seperti halnya hadiah dan suap.

Perbedaan Hadiah dengan Suap

Dalam ajaran Islam, istilah pemberian yang Islam anjurkan adalah hibah (hadiah). Sedangkan istilah pemberian yang Islam larang adalah risywah (suap). Sayyid Muhammad Amim dalam kitabnya Ta’rifat fiqhiyyah mendefinisikan hibah (hadiah) sebagai penyerahan harta dengan suka rela kepada orang lain sebagai bentuk apresiasi ataupun memuliakan. Sedangkan suap (risywah) adalah  memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang dengan maksud untuk membujuk supaya orang itu berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajiban yang menyangkut kepentingan umum. Kedua hal ini sama-sama menjadi perhatian yang cukup penting dalam ajaran Islam. Hanya saja perhatian yang ada tidaklah sama. Untuk hibah (hadiah) syariat menganjurkannya. Sedangkan untuk suap (risywah) syariat melarang bahkan melaknatnya.

Anjuran Memberi Hadiah

 Dalam riwayat Abu Hurairah Rasulullah Saw. bersabda;

تَهَادُوا تَحَابُّوا.

Artinya: “Saling memberi hadiahlah kalian, niscaya kalian akan saling mencintai [HR.Bukhori}

Dan bagi orang yang menerimanya, ia anjurkan untuk senantiasa menerima hadiah yang orang lain berikan kepadanya. Rasulullah Saw. dalam riwayat Abdillah bin Mas’ud bersabda;

‌أَجِيبُوا ‌الدَّاعِيَ، ‌وَلَا ‌تَرُدُّوا ‌الْهَدِيَّةَ، ‌وَلَا ‌تَضْرِبُوا ‌الْمُسْلِمِينَ

Artinya; ’’Hendaknya kalian memenuhi undangan, dan jangan kalian menolak hadiah, dan jangan kalian memukul sesama Muslim’’.  (HR. Ahmad no.3838, Ibnu Hibban no.5603, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami’ no.158).

Namun dalam sebagian keadaan tertentu, hadiah menjadi senjata baru untuk mendapatkan rasa simpati dari orang lain. Terlebih di tahun politik, dukungan dan suara diupayakan dengan jalan yang agama haramkan. Menurut kejadian yang ada, hal ini serupa dengan praktek suap-menyuap sebagaimana yang disebutkan di atas. Yang mana praktek ini sungguh dilaknat oleh Islam. Dalam kitab Jamiil Masanid wassunan [1/657], dalam kutipan hadis riwayat Tsauban;

عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ وَالرَّائِشَ يَعْنِي الَّذِي يَمْشِي بَيْنَهُمَا

Dari Tsaubân, dia berkata, “Rasûlullâh Saw. melaknat pemberi suap, penerima suap, dan perantaranya, yaitu orang yang menghubungkan keduanya’’.

Suap Berkedok Hadiah

Lantas bagaimanakah sikap seseorang yang menerima hadiah yang diperkirakan itu adalah suap? Satu sisi itu adalah hadiah yang dianjurkan untuk ia terima dan di sisi lain pemberian itu memungkinkan adalah suap karena ia terima dari orang atau kelompok yang berkepentingan.

Solusi menyikapi suap yang berkedok hadiah

Manusia akan luluh hatinya kepada seseorang yang berbuat baik padanya. Kaidah bahasa dalam kitab Al-lubab [267] mengungkapkan sebuah riwayat;

‌الإحسان ‌يستعبد الإنسان

Artinya; ‘’ kebaikan memperbudak manusia’’.

Dalam kitab yang sama juga diungkapkan sebuah syi’ir berkaitan dengan riwayat tersebut;

أحسنْ إلى الناس تستعبد قلوبهم … فطالما استعبد الإنسان إحسانُ

“berbuat baiklah kepada manusia, maka hati mereka akan mengabdi…. Maka selama itu manusia diperbudak oleh kebaikan’’

Condong dan luluhnya hati seseorang kepada orang lain yang berbuat baik kepadanya merupakan watak setiap insan yang sulit untuk dipungkiri. Namun, kesadaran akan hal yang buruk –dalam hal ini suap- tetaplah ada. Oleh karena itu, sikap baik bagi orang yang menerima hadiah dari orang atau kelompok yang berkepentingan kepadanya adalah dengan tetap menerima hadiah tersebut. Hal ini berdasarkan hadis Nabi di atas dan juga untuk menjaga perasaan orang yang memberi. Namun, hadiah yang ia terima tidak ia pakai secara pribadi. Melainkan ia sedekahkan kepada orang lain yang lebih utamanya kepada orang-orang yang membutuhkan.

Ketika Mendapat Hadiah di Zaman Rasulullah Saw.

Hal ini juga pernah terjadi di masa pasca wafatnya Rasulullah Saw. Sebagai contoh sejarah, Sayyidina Hasan dan Husain radhiyallahuanhuma sering mendapatkan hadiah dari pemimpin bani Umayyah, namun oleh cucu Nabi tersebut hadiah yang ia terima tak di konsumsi sendiri, melainkan di bagi-bagikan kepada orang-orang Islam di masa itu. Imam Syafi’i juga pernah mendapatkan hadiah dari raja Harun Ar-Rasyid, namun oleh beliau semua hadiah yang ia terima selalu habis di bagi-bagikan di perjalanan. Sehingga ketika sampai di rumah, beliau tak membawa sedikitpun hadiah dari kerajaan. Jadi tetap terima pemberian tersebut. Kemudian sedekahkan kepada orang-orang yang lebih membutuhkan seperti fakir, miskin dan panti asuhan. Semoga bermanfaat. WallahuA’lam.

Similar Posts