Menzalimi Orang Lain dengan Suara
Majalahnabawi.com – Sebagai makhluk sosial, manusia harus selalu memperhatikan tata cara bergaul atau berhubungan sosial dengan manusia lainnya. Mulai dari hal-hal yang kecil maupun hal-hal yang besar di kehidupan sehari-hari. Kehidupan sosial manusia sangat bergantung pada hubungan timbal balik. Salah satunya adalah dengan menjaga ketenangan dan tidak membuat orang lain merasa terganggu.
Dalam interaksi sehari-hari, baik di rumah, tempat kerja, atau lingkungan umum, menciptakan suasana tenang dan menghindari perilaku yang akan mengganggu orang lain sangatlah penting dalam Islam. Islam mengajarkan untuk menjaga ketenangan dan melarang mengganggu orang lain karena hal tersebut termasuk ke dalam perilaku zalim (orang yang menganiaya atau merugikan diri sendiri dan orang lain). Sebagaimana sabda Rasulullah Saw dari riwayat Imam Ibnu Majah yang berbunyi:
عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَضَى أَنْ لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ
Dari Ubadah bin Shamit berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda bahwa, “Tidak diperkenankan berbuat mudarat dan hal yang menimbulkan mudarat.”[1]
Di dalam kamus al-Munawwir, kata ضَرَرَ merupakan masdar dari ضَرَّ – يَضُرُّ yang artinya membahayakan atau merugikan. Sehingga diksi “mudarat” pada arti Hadis di atas bermakna sesuatu yang merugikan. Di dalam kitab Mursyid Dzawi al-Hija wa al-Hajah ila Sunan Ibn Majah karya Muhammad al-Amin al-Harrari, Hadis di atas mengandung syarah sebagai berikut:
ليس لأحد أن يضر صاحبه بوجه، ولا لاثنين أن يضر كل منهما بصاحبه ظنًا أنه من باب التبادل، فلا إثم فيه[2]
Seseorang tidak boleh merugikan saudaranya dengan cara apapun. Dan tidak boleh pula dua orang saling merugikan antara satu sama lain dengan anggapan bahwa itu adalah bentuk timbal balik sehingga tidak ada dosa di dalamnya.
Suara yang Berlebihan
Menjaga ketenangan dan tidak mengganggu orang lain dengan suara yang berlebihan merupakan salah satu bentuk adab dan etika di dalam kehidupan sosial. Suara yang berlebihan, seperti kebisingan yang ditimbulkan dari percakapan, knalpot, dan lainnya merupakan hal-hal yang mengganggu kenyamanan, konsentrasi, bahkan kesehatan orang lain. Bahkan dikatakan pula bahwa suara mengaji pun bisa berubah menjadi perbuatan zalim jika dilakukan dengan suara yang berlebihan. Sebagaimana yang tertulis di dalam kitab Tuhfah al-Muhtaj Fi Syarh al-Manhaj wa Hawasyi al-Syarwani wa al-‘Ibadi karya Ibnu Hajar al-Haitami,
وَيَحْرُمُ عَلَى كُلِّ أَحَدٍ الْجَهْرُ فِي الصَّلَاةِ وَخَارِجِهَا إنْ شَوَّشَ عَلَى غَيْرِهِ مِنْ نَحْوِ مُصَلٍّ أَوْ قَارِئٍ أَوْ نَائِمٍ لِلضَّرَرِ وَيَرْجِعُ لِقَوْلِ الْمُتَشَوِّشِ وَلَوْ فَاسِقًا لِأَنَّهُ لَا يُعْرَفُ إلَّا مِنْهُ[3]
Diharamkan bagi siapapun untuk mengeraskan suara, baik di dalam maupun di luar salat jika mengganggu orang lain. Seperti contoh orang yang sedang salat, membaca Al-Quran, ataupun tidur, karena hal tersebut bisa menimbulkan kerugian. Walaupun yang terganggu itu adalah orang fasik, maka tetap harus dipertimbangkan karena gangguan tersebut hanya bisa diketahui darinya.
Menjaga ketenangan dan tidak mengganggu orang lain merupakan hal kecil dan seringkali manusia tidak sadar dengan perbuatannya. Oleh karena itu, manusia terkadang harus memosisikan diri sendiri sebagai orang lain agar bisa merasakan apa yang orang lain rasakan.
[1] Ibnu Majah, Sunan Ibn Majah, (Dar Risalah al-‘Alamiyah, 2009) Juz 3, hal. 430
[2] Muhammad al-Amin al-Harari, Mursyid Dzawi al-Hija wa al-Hajah Ila Sunan Ibn Majah, (Jeddah: Dar al-Minhaj, 2018), Juz. 13, hal. 427.
[3] Ibn Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj Fi Syarh al-Manhaj wa Hawasyi al-Syarwani wa al-‘Ibadi, (Mesir: Maktabah al-Tijariyah al-Kubra, 1983), Juz. 2, hal. 57.