Meramu Hukum Islam dengan Amalan Ahli Madinah, Masih Relevankah?
Majalahnabawi.com – Sebagaimana kita ketahui bahwa Al-Quran, Sunah, Ijmak, dan Qiyas telah menjadi sumber ushul atau dasar hukum yang muttafaq dalam Islam. Akan tetapi, setelah mengkaji lebih dalam, kita akan mengetahui bagaimana ranah fikih ini merupakan ranah yang sangat luas sehingga para ulama baik dalam membuat konsep, atau pun memberikan fatwa sebagai hasil akhir dari konsep rumit dari meramu dalil pun banyak menghasilkan perbedaan. Hal tersebut juga terjadi oleh banyak faktor. Salah satunya, inti dan kondisi permasalahannya seperti di mana masalah tersebut terjadi sehingga akan memiliki latar belakang yang berbeda dengan lokasi kejadian yang berbeda, dsb.
Selain itu, kita juga akan menemukan beberapa sandaran hukum yang terjadi ikhtilaf di kalangan para ahli fikih. Seperti konsep istishab, istihsan, mashalih al-mursalah, amalan Ahli Madinah dan sebagainya.
Terdapat salah satu kitab ushul fikih berjudul Amal Ahli al-Madinah Bayna Mushthalahat Malik Wa al-Araa al-Usuliyyin karya al-Ustaz al-Duktur Ahmad Muhammad Nur Saif di perpustakaan Darus-Sunnah. Di dalamnya, beliau mengkaji secara rinci seputar amalan Ahli Madinah sebagai istilah yang dipakai oleh Imam Malik sebagai sumber istinbat hukum dan bagaimana para ahli ushul memandang konsep tersebut.
Dan karena ini hanya ditujukan untuk pengenalan pertama, jadi penulis di sini hanya akan memaparkan secara global mengenal konsep Amalu Ahli al-Madinah dalam pandangan Mazhab Maliki dengan penjabaran dan contoh atau bagaimana tashawwur (penggambaran) konsepnya secara singkat.
Latar Belakang ‘Amalu Ahlu al Madinah Dijadikan Konsep dalam Istinbath Hukum
Sebelum mengerucut kepada masalah amalan ahli Madinah, perlu kita ketahui bahwa konsep awal amalan ahli Madinah ini berawal dari konsep Ijmak. Akan tetapi hanya terbatas kepada ijmaknya ulama Ahlul Madinah. Berkaitan dengan konsep ini, Imam Malik menyatakan:
إذا أجمع أهل المدينة على أمر لم يُعتدَّ بخلافه
“Bila Ulama Ahlu al-Madinah sudah bersepakat maka pendapat yang lain tidak dianggap.”
Namun perlu maklum, bahwa kalam Imam Malik itu tidak mengeneralisir untuk setiap zaman. Tetapi perkataan beliau saat itu dilatar belakangi kepada realita bahwa keilmuan Islam pada saat itu berpusat di Madinah. Karena wafatnya Nabi di Madinah dan Madinah merupakan tempat awal yang memberikan Nabi Muhammad Saw. daya gerak lebih leluasa semasa dakwahnya. Maka otomatis gerak beliau dalam membawa agama Islam lebih gencar di Madinah. Dengan demikian, kita bisa menyimpulkan bahwa rekam jejak perjuangan beliau lebih banyak terjadi di Madinah.
Sehingga dengan mengetahui latar belakang perkataan Imam Malik di paragraf sebelumnya, kita akan mengetahui bahwa Ijmak Ahlu al-Madinah ini sifatnya terbatas. Karena berdasarkan masa di mana kalam Nabi masih begitu kental di Madinah. Masa itu bermula dari masa para sahabat yang banyak menetap di Madinah hingga tabiut-tabiin periode Imam Malik. Pada masa itu masih banyak para ulama yang memiliki riwayat mengenai hadis Nabi yang terjamin kualitasnya dari pada Alul Buldan al Ukhra (penduduk daerah lain).
Pertimbangan Lanjutan
Walaupun demikian tentunya kita tidak bisa menafikan bahwa semua Sahabat Nabi dan para ulama yang paham akan sunah dan hadis nabi tidak hanya berkumpul di satu tempat. Namun, mereka menyebar ke berbagai peperangan dan kota. Sehingga dari data tersebut mereka pasti menyadari bahwa tentunya periwayatan selain yang mereka miliki, tentunya banyak juga terdapat pada ulama lain. Sehingga, pernyataan Imam Malik mengenai “pendapat selain Ijmak Ahli Madinah itu tidak bisa dianggap” itu dengan batasan dan pertimbangan bahwasanya;
- Furu’nya itu bersifat pengamalan yang bersifat ittifaqy (menjadi kesepakatan).
- Ucapan Imam Malik berindikasi hanya sebagai anjuran untuk mendahulukan periwayatan oleh Ahlu al-Madinah sebagai penduduk yang lebih melekat dengan peradaban Islam. Dengan pertimbangan banyaknya sahabat yang bertempat tinggal di sana serta lebih paham sebab-sebab munculnya keputusan Nabi dan maqashid (tujuan ke depan/misi dan visi dari arahan Nabi). Maka tindakan mereka berdasarkan dalil yang unggul dan lebih pasti periwayatannya dan presisi dengan ketentuan serta maksud dari segala hadis dan sunah Nabi.
- Perkataan, perbuatan, dan ketetapan ahlu al-Madinah itu banyak berdasarkan hadis mutawatir yang ra’yu (akal) tidak bisa menyanggah; mengapa harus menjadi sumber hukum. Sebab ketentuan yang bersifat agama tentunya sudah dan memang harus berdasarkan tuntunan Nabi Muhammad Saw. dengan penukilan yang lebih kuat yaitu mutawatir.
Melihat konteks Madinah sekarang yang sudah banyak tergeser oleh konflik politik atau pun budaya zaman. Maka, konsep Amaliyyatu Ahlil Madinah tentunya sudah tidak relevan.
Demikian pemahaman dasar mengapa mazhab Maliki memakai amalan Ahlu al-Madinah sebagai sumber hukum. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin.
Semoga tertarik!