Merekognisi Pola Pendidikan Sebagai Akar Kasus Perundungan

Majalahnabawi.com – Ada suatu ungkapan yang mengatakan akar yang tak kokoh menopang, dapat dipastikan pohonnya pasti tumbang. Dapat dilihat ‘ketumbangan’ serupa tengah marak  terjadi di sekeliling kita. Iya, sebut saja kasus perundungan. Di mana dewasa ini jagat medsos selalu ramai memperbincangkan masalah perundungan. Kasus semacam ini sebenarnya adalah tema lawas yang hanya saja seolah baru dan terbarukan. Pasalnya perundungan telah merebak di pelbagai lingkungan, entah keluarga, masyarakat, maupun bangku persekolahan.

Tanpa perlu menyebut salah satu kasusnya, bisa kita ketahui bahwa pelbagai linimasa kini sedang gencar mengoar-ngoarkan soal kasus perundungan. Yang tentunya sangatlah miris dan ironis. Secara holistik kasus perundungan relatif menjamur pada peserta didik di bangku persekolahan. Dan inilah yang selalu melahirkan tanda tanya kenapa dan bagaimana hal semacam itu bisa terjadi. Menimbang bahwa lembaga pendidikan adalah sebuah institusi pengembangan dan penunjang kesejahteraan para siswa. Setakat tentu sangatlah paradoks melihat sekolah sebagai sarana pembelajaran disamping juga sarang kekerasan.

Saya berpendapat bahwa akar permasalahan kasus ini tak lain adalah unsur urgen yang bersifat primordial. Yakni pola pendidikan. Sebab pendidikan di sekolah merupakan akar faktor yang memiliki pengaruh cukup besar dalam ada dan tidaknya sebuah kasus perundungan. Mengapa, karena bilamana direfleksikan lebih jauh dengannyalah bimbingan karaktaer atau edukasi moral yang dalam hal ini sebagai langkah counter-preventif terhadap perundungan lebih intens diajarkan ketimbang diselain lingkungan persekolahan.

Koreksi Mata pelajaran PAI

Bicara mengenai konten moral atau budi pekerti baik dari segala jenjang, pastinya lebih mengarah pada mata pelajaran pendidikan agama islam (PAI). Karena muatannya di satu sisi tentang etika pada tuhan, di sisi lain juga banyak tentang etika sosial kehidupan. Namun kembali lagi realita mengatakan bahwa perilaku siswa justru masih bertentangan dengan apa yang telah diajarkan. Seperti siswa sering dan menganggap biasa perbuatan bullying, perkelahian dan sebagainya tanpa menghiraukan nilai pendidikan yang telah ia emban.

Akibatnya, peranan serta efektivitas pendidikan agama sebagai pemasok nilai nilai keluhuran terhadap kesejahteraan siswa mulai dipertanyakan. Dengan asumsi jika pendidikan agama digalakkan dengan lebih baik niscaya kesejahteraan siswa pun akan bertambah baik. Hingga seolah olah pendidikan agama dianggap kurang memberikan kontribusi ke arah itu. Dan setelah dilakukan penelitian induktif, dalam pendidikan agama memang terdapat beberapa kelemahan dalam proses pembelajarannrya.

Nur kholis madjid pun menyatakan bahwa kegagalan pendidikan agama disebabkan pelajaran PAI lebih menitikberatkan pada hal yang bersifat formal dan hafalan, bukan pada pemaknaan dan pengimplementasiannya. Dengan rincian, materi pendidikan agama termasuk bahan ajar akhlak atau budi pekerti lebih terfokus pada pengayaan pengetahuan (kognitif) dan minim dalam hal pembentukan sikap (afektif) serta pembiasaannya (psikomotorik). Efeknya seorang siswa hanya terbiasa mendalami materi sebagai penunjang ujian saja. Belum sampai ke ranah implementasi dan pembiasaannya. Padahal diketahui bersama, target pendidikan agama harusnya lebih menekankan pada ranah pengaplikasian sehari hari. Bukannya menjadikan pendidikan agama hanya sebagai formalitas di atas kertas.

Memang terkesan tidak adil menimpakan tanggung jawab atas kesenjangan antara harapan dan kenyataan saat ini pada pendidikan agama di sekolah.sebab kelemahan pendidikan agam di sekolah bukanlah satu satunya faktor pemicu adanya kasus perundungan. Namun sebagaiman telah dijelaskan, pendidikan agama di sekolah merupakan akar utama penunjang tumbuhnya moral para siswa. Di samping nantinya juga bersinergi dengan unsur unsur di lingkungan yang lain.

Solusi atas Permasalahan

Alhasil dari segala paparan tadi, saya kira terdapat beberapa solusi untuk menjembatani antara kelemahan pola pendidikan agama menuju perbaikannya. Yang semoga pada gilirannya pendidikan agama benar benar bisa berperan signifikan mencegah tumbuhnya kasus perundungan. Pertama, terkait kelemahan dalam proses KBM mapel PAI. Agaknya perlu dibenahi dengan cara menggeneralisasikan paradigma KBM yang sebelumnya. Maksudnya disamping aspek kognitif, aspek afektif dan psikomotorik juga harus dikonvergensikan dengan seimbang. Hal ini tak lain dan tak bukan dimaksudkan agar peserta didik memiliki kompetensi dalam teori sekaligus penerapannya tanpa lebih berat di satu sisi.

Kedua, tentang peranan guru. Betapapun bagusnya sebuah kurikulum hasilnya tetap bergantung pada apa yang dilakukan guru baik di dalam maupun di luar kelas. Sembari kualitas dan model pembelajaran guru juga harus diperhatikan keefektivannya. Karena pada dasarnya siswa merupakan anak ideologis seorang guru, tentu adalah keniscayaan bagi guru untuk mengurus dan melatih siswa tentang apa yang telah diajarkan. Juga guru harus menyadari bahwa masih belum ditemukan suatu pendekatan tunggal yang berhasil menangani para siswa mencapai pelbagai tujuan pendidikan, seperti memberikan keamanan dan kenyamanan siswa pada ranah pembelajaran.

Begitupula dengan mencegah segala bentuk kasus perundungan. Terlebih sejatinya semua elemen wajib turut bertanggung jawab atas pola sistem sekolah yang telah disepakati bersama. Karena, sekolah sebagai suatu sistem yang saling terkait serta saling mempengaruhi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Pasal 1 butir 3 UU nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional).

Terakhir, setelah disadari tentu menjadi urgen untuk segera dilakukan upaya pembenahan dalam pola pendidikan kita. Dan upaya upaya tersebut haruslah dilaksanakan secara kompak, aktif, dan komulatif. Yang pada akhirnya sebagai usaha pencegahan perundungan agar tak ada siswa yang berjatuhan menjadi korban. Mengingat jikalau karakter dan sikap siswa dalam etika lingkungan telah mapan, bukankah tak akan ada kasus perundungan?.

Similar Posts