Merusak Tempat-tempat Hiburan
Majalahnabawi.com – Tulisan ini terinspirasi dari salah satu bab yang terdapat dalam buku karya Kiai Ali Mustafa Yakub, Pengajian Ramadhan Kiai Duladi. Buku yang terbit pada tahun 2022 ini cukup menarik. Kisah-kisah yang diangkat dalam buku ini pun sederhana, diambil dari cerita pengajian Kiai Duladi bersama masyarakat Watugugur. Pengajian dengan dialog tanya jawab atas fenomena yang ada dalam lingkungan masyarakat. Menggambarkan juga sosok pemeran utama dalam buku ini yang menjadi kiblat beragama bagi jamaah yang ada di desa tersebut.
Selanjutnya, bab yang akan diulas dalam tulisan ini mengenai buah pemikiran sang penulis yang mengangkat judul bab Merusak Tempat-tempat Hiburan.
Seperti biasanya, ketika sosok main character dalam buku ini membacakan ayat, pasti akan menjelaskan maksud ayat tersebut kepada jamaah yang ada. Sampai pada ayat yang menjelaskan tentang amar maruf nahyi mungkar, Kiai Duladi berhenti sejenak kemudian beliau menjelaskan tentang peristiwa segolongan anak muda yang dengan sadar menghancurkan tepat-tempat hiburan.
Motivasi yang menjadi legitimasi penghancuran tempat-tempat itu pun sangat menarik, anggapan sebagai sarang maksiat.
Menanggapi hal tersebut Kiai Duladi setidaknya memberikan empat pandangan; Pihak Asing, Tidak Merusak, Bani Umayyah, Mengubah, Bukan Menghancurkan. Setidaknya empat pandangan inilah yang menjadi fokus utama dalam bab ini.
Pihak Asing
“Banyak anak-anak muda yang punya semangat yang tinggi mereka itu ditunggangi oleh kelompok tertentu untuk memenuhi terget kepentingan kelompok tertentu” kira-kira itulah sepenggal pendapat dari beliau. Bukanlah hal yang berlebihan jika dikatakan pendapat ini sangat relevan. Misalnya, data yang dikeluarkan PPIM melaporkan bahwa sebanyak 24,89% mahasiswa Indonesia terindikasi tidak memiliki prinsip yang kuat pada negara, sementara Alvara Research dengan indikasi yang sama melaporkan sebanyak 23,4% mahasiswa dan pelajar Indonesia.
Menurut kedua lembaga tersebut, proses infiltrasi paham-paham yang merusak masuk dengan berbagai cara, misalnya menyusup di kegiatan-kegiatan keagamaan, masjid-masjid dan melalui narasi-narasi media sosial maupun buku.
Lalu, apakah sikap di atas berbahaya? Peneliti Setara Institute for Democracy, Syera Anggreini Buntara mengatakan dari 16 kasus gangguan yang terjadi di 2017 menjadi 50 kasus di 2022, tentulah angka ini bukan sebuah prestasi.
Tidak Merusak
“Mencegah kemungkaran itu wajib, asalkan tidak menciptakan kemungkaran yang lain” poin kedua yang disampaikan Kiai Duladi. Hal ini selaras dengan pendapat Fakhruddin ar-Razi dalam karyanya Mafatihul Ghaib dalam menafsiri an-Nahl ayat 125 dengan dengan menggunakan diksi والمُجادَلَةُ بِالطَّرِيقِ الأحْسَنِ “saling membantah dengan cara yang paling baik”
Masjid Bani Umayyah
Dalam poin ke tiga ini sang kiai memberikan gambaran bagaimana sahabat Umar Ibn Khattab dalam menaklukkan wilayah Syam, di Damaskus beliau sama sekali tidak menghancurkan Gereja Romawi, malah belau menjadikan tempat tersebuat menjadi sebuah masjid.
Mengubah Bukan Menghancurkan
Dari ke tiga poin di atas, mungkin poin terakhir inilah yang menjadi argumentasi yang paling kuat. “Hadis ini banyak disalah pahami oleh segelintir orang sebagai dalil untuk menghancurkan tempat maksiat” Hadis yang dimaksud di atas berbunyi:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَراً فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَستَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَستَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيْمَانِ
“Barangsiapa dari kalian melihat kemungkaran, ubahlah dengan tangannya. Jika tidak bisa, ubahlah dengan lisannya. Jika tidak bisa, ingkarilah dengan hatinya, dan itu merupakan selemah-lemahnya iman”
Perintah Nabi Saw di atas ini menurut Kiai Duladi menjadi dalil yang disalahgunakan oleh sebagian kalangan dikarenakan salah mengartikan. Padahal Rasulullah Saw menggunakan kata يُغَيِّرْ yang memiliki makna “ubahlah” bukan memiliki arti هَلَكَ atau فَسَدَ yang artinya rusak.
Wallahu a’lam