Milenial Vs Gen Z; Perbedaan Pemahaman dan Komunikasi dalam Pernikahan
Majalahnabawi.com – Komunikasi antar generasi selalu menjadi tantangan tersendiri, terlebih dalam hal pernikahan. Milenial (lahir tahun 1981-1996) dan Gen Z (lahir tahun 1997-2012) adalah dua generasi yang tumbuh di era industri teknologi digital. Meski demikian, keduanya memiliki cara pandang dan pola komunikasi berbeda. Perbedaan ini sering kali menimbulkan gesekan hingga perdebatan terutama ketika harus menghadapi masalah serius seperti pernikahan dan perceraian.
Perspektif Milenial dan Gen Z terhadap Pernikahan
Generasi milenial sering kali merasa khawatir jika anak-anak mereka mendapat julukan joko/perawan tua. Bagi banyak milenial, pernikahan di usia 20-an dianggap penting untuk stabilitas dan masa depan yang lebih terencana. Namun, pandangan ini tidak sepenuhnya disetujui oleh Generasi Z. Mereka memiliki perspektif yang berbeda mengenai pernikahan. Mereka berpendapat bahwa menikah tidak hanya sekedar tentang mempersiapkan ijab kabul dan mendengar ucapan “sah”. Menurut mereka, banyak sekali hal yang menjadi pertimbangan setelah pernikahan, termasuk kesiapan diri, mental serta emosional. “Kestabilan emosi merupakan poin penting dalam sebuah pernikahan. Karena pelaku pernikahan yang kesulitan dalam mengatur emosinya berpotensi lebih besar untuk melakukan tindakan kekerasan dan perselisihan (cekcok) yang mengarah pada perceraian”. Menurut Agus M. Faiz Afa, S.H. (PP. Al-Ma’arij Jombang).
Khawatir Perceraian
Jika merujuk pada kitab Uqudulijain Rasulullah Saw bersabda:
من صبر على سوء خلق زوجته اعطاه الله تعالى مثل ما أعطى أيّوب عليه السّلام من الأجر والثواب، ومن صبرت على خلق زوجها أعطاها الله تعالى، و من ظلمت زوجها وكلّفته ما لا يطيق وآذته لعنتها ملائكة الرّحمة و ملائكة العذاب، ومن صبرت على أذيّة زوجها أعطاها الله تعالى ثواب آسية ومريم بنت عمران
“Barang siapa yang bersabar akan kejelekkan istrinya maka Allah Swt akan memberinya semisal apa yang Allah berikan kepada nabi Ayub as berupa imbalan dan pahala. Dan siapa saja wanita yang bersabar akan kejelekkan akhlak suaminya maka Allah Swt akan memberikannya pahala seorang yang berjihad di jalan Allah. Barang siapa yang menzalimi suaminya dan membebaninya dengan hal yang dia tidak mampu serta menyakitinya maka para malaikat rahmat dan malaikat azab akan melaknatnya. Dan barang siapa yang bersabar ketika disakiti suaminya maka Allah Saw akan memberikannya pahala seperti pahala Asiah dan Maryam binti Imran.”
Hal ini menunjukkan bahwa Islam sangat menekankan untuk mempertahankan pernikahan dalam hal apapun. Dan inilah yang menjadi ketakutan Generasi Z dalam membangun dan mempertahankan rumah tangga. Banyak dari Gen Z merasa khawatir bahwa kekurangan yang ada pada diri mereka dan pasangan dapat mempengaruhi hubungan secara negatif. Mereka takut kelemahan atau kekurangan ini tidak hanya akan berdampak pada hubungan, tetapi juga dapat menyebabkan masalah yang lebih besar. Kekhawatiran ini sering kali membuat mereka berusaha mengubur atau menyembunyikan kekurangan tersebut demi menjaga keharmonisan. Namun, menyembunyikan kekurangan bukanlah hal terbaik dalam suatu hubungan. Untuk itu, para Gen Z ingin berusaha lebih lagi untuk menyempurnakan kekurangan tersebut. Sebab seluruh insan pasti mengharapkan pernikahan yang sakinah mawaddah warahmah.
Muhammad Syaifuddin, dalam bukunya “Hukum Perceraian” mencatat bahwa “dalam kehidupan rumah tangga sering terjadi orang (suami istri) mengeluh dan mengadu kepada orang lain atau pun kepada keluarganya, akibat tidak terpenuhinya hak yang harus ia peroleh atau salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya, atau karena alasan lain, yang dapat berakibat timbulnya suatu perselisihan di antara keduanya (suami istri) tersebut. Tidak mustahil dari perselisihan itu akan berbuntut pada putusnya ikatan perkawinan (perceraian)”
Mapan Sebelum Nikah
Bagi Generasi Z yang memiliki cara berfikir realistis dan menyukai keteraturan, memastikan kebutuhan sandang, pangan dan papan terpenuhi sebelum menikah menjadi keharusan. Berbeda dengan pemikiran Milenial yang memiliki keyakinan bahwa ‘rejeki pasti akan selalu ada karena sudah ada yang mengatur (yaitu Allah).’ Namun, keyakinan ini tidak dapat diyakini Gen Z karena melihat realitas konflik rumah tangga yang problematik di sekelilingnya. Di samping karena era digital yang sangat cepat dan luas, segala hal tentang masalah pernikahan langsung dapat mereka lahap. Hal ini berdampak menjadikan overthingking sebelum menjalani pernikahan. Untuk itu banyak sekali pertimbangan tentang pernikahan bagi para Gen Z. Mereka menyebutkan bahwa hal tersebut bukan karena terlampau teliti untuk memilih pasangan dan menginginkan pasangan yang sempurna. Namun, fokus mereka adalah untuk meminimalisir problem yang akan terjadi setelah menikah terutama dalam hal perceraian. Mengingat para Gen Z yang sedang gencar untuk menormalisasikan usia minimal menikah adalah 25 tahun demi pencapaian mereka.
Pernikahan adalah anjuran Nabi Saw, dan perceraian adalah hal yang halal namun tidak Allah tidak menyukainya. Untuk itu, merupakan sebuah PR bagi kita untuk menyatukan pemahaman komunikasi antara Generasi Milenial dan Generasi Z saat ini.