Money politic dalam Literatur fikih dan Maqasid

Majalahnabawi.com – Di musim politik yang baru saja selesai, tidak sedikit masyarakat membicarakan soal suap-menyuap. Kontroversi yang menjadi pembahasan apakah uang pemberian caleg itu termasuk uang haram atau tidak? Berbicara tentang uang di sini masyhur kita kenal dengan sebutan politik uang (money politik). Dari saking maraknya, politik uang ini tidak hanya terjadi pada kalangan awam saja, melainkan para tokoh agamis pun melakukannya. Sehingga kadang masyarakat beranggapan uang yang mereka ambil dari pemberian paslon misalnya, itu halal. Padahal kalau kita melihat dari kacamata fikih, khususnya bab muamalah itu ada beberapa syarat yang harus terpenuhi. Sekarang marilah kita simak bersama kajian di bawah ini!

Definisi Money Politic

Soal politik uang sudah diatur dalam UU pasal 515 dan 523 ayat 1-3, undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum. Namun yang terjadi sampai sekarang_sebagaimana yang kita lihat penerapannya juga belum maksimal  atau bahkan di daerah tertentu tidak terlaksana sama sekali. Dari UU yang ada kami mencoba membuat definisi bahwa politik uang adalah pemberian bantuan. Baik berupa materi atau jasa dari kandidat kepada rakyat, baik individu maupun kelompok, dengan harapan (secara eksplisit maupun implisit) agar si penerima membalasnya dengan memberikan hak suara kepadanya

Dari definisi yang kami dasarkan pada UU pemilihan umum sebagai bentuk hipotesis politik uang dalam literatur fikih memiliki kesamaan dengan risywah. Risywah dalam arti  bahasa adalah suap. Sementara Risywah secara termenologi adalah suatu pemberian yang bertujuan untuk meminta membatalkan hak seseorang dan agar mendapatkan sesuatu yang bukan haknya. Jadi suatu pemberian yang tergolong risywah  itu haram, jika tujuannya untuk merampas hak orang lain.

Ibnu al-Qoyyim membedakan antara hadiah dan suap, di samping keduanya memiliki format yang sama, yaitu soal “maksud dan tujuan”. Namun penggunaan “maksud” dalam membedakan suap dengan jenis pemberian yang lain saya rasa kurang tepat. Karena sesuatu menjadi pembeda di mana suatu hukum muncul karena ia ada (harus jelas),sementara soal maksud seseorang, siapa yang tahu. Kemudian kami menarik hal lain untuk membedakan risywah dan pemberian yang lain seperti; hadiah, zakat dan lainnya. Yaitu dengan istilah “pernyataan”, jadi maksud sesorang itu diklaim ada melalui pernyataannya.

Dengan demikian, fenomena di atas tergolong risywah apabila si pemberi menyatakan maksudnya untuk membeli suara rakyat. Berangkat dari hal itu fikih menegaskan bahwa formalitas tersebut selain mengetahui bahwa dua orang berakad saling rela menukar hartanya dengan cara disepakati, juga untuk menunjukkan kejelasan status barang yang berpindah kepemilikan dan rela dengan status itu: barang yang dijual, barang yang dipinjam, barang yang dihadiahkan, dan sebagainya. Hal ini menunjukan secara implisit oleh hadis nabi:

إِنَّمَا الْبَيْعَ عَنْ تَرَاضٍ

Artinya: “Jual beli harus dilandasi oleh adanya saling  kerelaan”.

Jual Beli Harus Saling Kerelaan

Kerelaan di atas maksudnya adalah rasa rela atas berpindahnya status kepemilikan (barang atau manfaat atau dua-duanya) dan status barang yang transaksi. Oleh karenanya, dalam redaksi lain soal Risywah, kami dapati adanya ketentuan berbeda. Pemberian kita katakan suap apabila si pembeli mensyaratkan kepada si penerima untuk mengambil keputusan yang salah (tidak menempatkan suatu hak pada pemiliknya).

Sekarang melihat  fenomena  yang terjadi di indonesia seakan bukan bentuk suap. Karena hampir tidak ada para kandidat dengan terang-terangan memaksa rakyat untuk memilih dengan kompensasi uang atau lainnya yang mereka berikan. Dalam praktiknya mereka justru sangat menghindari pernyataan-pernyataan tersebut agar terlihat tidak menyuap. Dan  barangkali mereka dengan sengaja mengatakan bahwa pemberiaanya itu adalah hadiah atau bahkan zakat.

Namun tidak berhenti di sini, apa arti sebuah formalitas teknis? Apa pentinganya sebuaah prosedur untuk diperhitungkan dalam kaitannya dengan terciptanya sebuah hukum? Tujuan merampas hak, yang menjadi syarat sebuah pemberian yang bernama suap, tidak hanya bisa kita klaim adanya melalui pernyataan si pemberi. Sebuah indikator yang cukup dan valid itu juga dapat melegetimasi klaim adanya tujuan tersebut. sebuah kaidah fikih menyatakan bahwa;

دَلِيْلُ الْشَّيْءِ فِي الْأُمُوْرِ الْبَاطِنَةِ يَقُوْمُ مَقَامَهُ

Artinya: “ sebuah indikator akan hal yang samar adalah berada di posisi hal yang samar itu (keberadaanya)”.

Lalu apa indikator atas tujuan menyuap pada fenomena money politic? Perlu kita pahami bahwa masing-masing kandidat, itu mendapatkan kesempatan untuk meningkatkan elektabilitasnya. Dan pada saat itulah aksi money politic terjadi. Kerja mereka dalam meningkatkan elektabilitas sudah cukup sebagai indikator suap dalam bantuan yang mereka berikan. Masa peningkatan elektabilitas sangat mungkin untuk menunjukkan tujuan mereka dalam memberi bantuan, yaitu membeli suara rakyat.

meskipun kita memaksa untuk memasukkan fenomena di atas ke kategori risywah, tetap tidak ada gunanya. Karena pemberian bantuan pada musim pemilu sudah jelas masif sebagai bentuk suap. Artinya, sesuatu yang sudah jelas adalah dianggap ada, tanpa butuh pernyataan yang jelas. Jadi, pernyataan syarat “Dengan uang ini kamu harus memilih saya” sudah tidak butuh lagi memasukkan fenomena di atas dalam kategori risywah. Ini berlandaskan sebuah kaidah fikih:      

اَلْمَعْرُوْفُ عُرْفًا كَا الْمَشْرُوْطِ شَرْطًا

Artinya: “sesuatu yang sudah dikenal secara urf (kebiasaan) sama dengan sesuatu yang sudah disepakati sebagai suatu persyaratan”.

Pengaruh Buruk Money Politic

Semua ini adalah kajian money politic melalui pola pikir maksud syariat yaitu hifdz al-huquq al-insaniyyah (menjaga hak-hak kemanusiaan). Terdapat beberapa bahaya yang mengancam kesejahteraan rakyat dalam kaitannya dengan praktik money politic. Pertama, sikap kritis masyarakat akan hilang. Hal ini berangkat dari rekontruksi hubungan sosial antara rakyat dengan pemerintah, yang awalnya berdasarkan trust (kepercayaan) bergeser menjadi hubungan transaksional. Dari hubungan itu rakyat tidak lagi peduli pada perjalanan politik kenegaraan kita.

Kedua, korupsi. Pemimpin yang terpilih dengan jalan  money politic, cenderung hanya akan memikirkan persoalan individunya: bagaimana ia bisa mengembalikan modal yang sudah terpakai untuk beli suara rakyat. Sehingga ada dua kemungkinan, antara anggaran negara yanga akan mereka angkut ke gudang sendiri, atau persoalan rakyat yang akan terabaikan.

Melihat dua bahaya dia atas, kajian money politic melalui pikir sadd al-dzariah (menutup peluang/tindakan preventif), juga akan melahirkan hukum yang sama. Sebagaimana kajian money politic melalui prinsip hifdz al-huquq al-insaniyyah (bahkan lebih gamblang dan praktis dalam menunjukkan fenomena di atas sebagai risywah). Prinsip yang harus menjadi pegangan dalam hal ini adalah menghindari segala bentuk kekhawatiran. Jadi, semua bentuk pemberian yang terjadi pada masa peningkatan elektabilitas tidak boleh kita terima _tanpa mempertimbangkan tujuan dan pernyataan langsung sebagaimana sebelumnya dengan alasan kekhawatiran terjadinya dua bahaya di atas. Di samping juga ada dampak negatif secara langsung, yaitu munculnya sikap tidak objektif dalam memilih calon.

Rakyat adalah pemegang kedaulatan di negara demokrasi. Kita memimpin bukan dipimpin. Kita menyetir bukan disetir. Pemilu adalah salah satu representasi dari kedaulatan yang kita pegang. Oleh karena itu, segala bentuk kepentingan kita dari sikap objektif tidak seharusnya dipelihara. Termasuk dari melayani kepentingan itu adalah memilih pemimpin berdasarkan kebaikan pemberian uang. Ini bahaya.

Similar Posts