Mustahil Allah Swt Memiliki Anggota Tubuh
majalahnabawi.com – Menyelami ruang pengetahuan dalam upaya memahami nalar berfikir ulama Ahlusunah Waljamaah, yang menanggapi pendapat-pendapat kaum Mujassimah (kaum yang meyakini Allah mempunyai jisim) terkait “Mustahil Allah Swt Memiliki Anggota Tubuh”. Kami berangkat dari sebuah kitab yang bernama Ushul al-Din yang ditulis oleh Imam Abd al-Qahir al-Baghdadi yang bernama lengkap al-Imam Abu Manshur Abd al-Qahir ibn Thahir ibn Muhammad ibn Abdullah al-Baghdadi. Beliau wafat pada tahun 429 H. Beliau merupakan salah satu ulama ahli kalam Asy’ariyyah terkemuka.
Di dalam kitab nya Ushul al-Din tepat pada bagian masalah yang keenam dari fashal yang ketiga, tentang “Mustahil Allah Swt Memiliki Anggota Tubuh”. Terkait tema tersebut terdapat perbedaan pendapat di antara Ulama Ahlusunah dengan Daud al-Jawaribiy juga dengan Hisyam ibn Salim al-Jawaliqiy. Hal ini perlu diutarakan selain sebagai bentuk informatif, juga karena terdapat aliran-aliran yang berdalih al-Quran dan Hadis yang mereka gunakan dengan cara yang tidak benar, sehingga melahirkan paham-paham yang keluar dari arah yang benar terlebih pendapat-pendapat itu berhubungan dengan tauhid.
Keyakinan Allah Memiliki Jisim
Daud al-Jawaribiy merupakan Rais al-Rafidlah wa al-Tajsim (Ketua Aliran Syi’ah Rafidlah dan Mujassimah). Daud al-Jawaribiy juga merupakan salah satu murid dari Hisyam ibn Salim al-Jawaliqiy yang juga Daud al-Jawaribiy mengambil pendapat darinya bahwa Tuhan itu memiliki anggota tubuh yang sama dengan manusia terkecuali alat kelamin dan jenggot. Dalam hal ini ia berpendapat bahwa “al-Ma’bud” Tuhan yang disembah oleh aliran mereka merupakan benda (Jisim) yang memiliki bentuk berupa daging dan darah, juga memiliki anggota badan berupa tangan, kaki, kepala, lisan, kedua mata, dan kedua telinga, namun bentuk jisim-Nya berbeda dengan jisim-jisim makhluk, bentuk darah-Nya berbeda dengan bentuk darah-darahnya makhluk, begitu juga sifat-sifat yang lainnya, tidak satu pun menyerupai makhluk dan tidak ada satu pun yang bisa menyerupai-Nya. Sehingga Yazid ibn Harun mengklaimnya sebagai orang yang kafir.
Adapun Hisyam ibn Salim al-Jawaliqiy al-Rafidliy sebagaimana telah dilampirkan pada bagian atas, ia merupakan guru dari Daud al-Jawaribiy. Dia juga berpendapat sama dengan Daud al-Jawaribiy sebagaimana telah dilampirkan di atas. Hisyam ibn Salim al-Jawaliqiy memiliki kunyah Abu Muhammad dan Abu al-Hakam.
Dalil Penyamaan Tuhan dengan Bentuk Manusia
Pendapat mereka yang menyamakan Tuhan dengan bentuk manusia berdalil ayat al-Quran Surah al-Tin ayat 4 (لَقَدْ خَلَقْنَا الإنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ) yang mereka maksud dengan bentuk yang paling bagus adalah bentuknya Tuhan. Sehingga kemudian dalam memperkuat pendapat itu mereka menggunakan hadist riwayat dari Abu Hurairah ra, Nabi Saw bersabda:
خَلَقَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ آدَمَ علَى صُوْرَتِهِ، طُوْلُهُ سِتُّونَ ذِرَاعًا
“Allah ‘Azza wa Jalla menciptakan Adam dalam bentuk-Nya. Tinggi beliau 60 hasta.” (HR. Bukhari no.6227, Muslim no. 2841)
Juga untuk menguatkan pendapat mereka yang mengklaim bahwa Tuhan memiliki anggota tubuh, mereka menggunakan dalil:
وَّيَبْقٰى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِۚ
“Dan tetap kekal Zat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan” (QS. al-Rahman Ayat 27).
Juga menggunakan sebuah hadist yang berbunyi: يَضَعُ الْجَبَّارُ فِيْهَا قَدَمَهُ فِي النَّارِ
Dalam menanggapi pendapat Daud al-Jawaribiy dan Hisyam ibn Salim al-Jawaliqiy al-Rafidli di atas, Imam Abd al-Qahir al-Baghdadi dalam kitabnya menampilkan nalar berfikir yang benar yang juga digunakan oleh kebanyakan ulama Ahlusunah.
Bantahan Ahlusunah Waljamaah
Imam Abd al-Qahir al-Baghdadi dalam kitabnnya menjelaskan bahwa dalil yang menyatakan bahwa Allah Swt itu Zat Yang Maha Esa dan tidak memiliki anggota tubuh adalah telah sahnya nalar berfikir yang menyatakan bahwa Allah Swt itu Zat Yang Maha Hidup, Maha Kuasa, Maha Mengetahui dan Maha Berkehendak. Karena kalau seandainya Allah Swt memiliki anggota tubuh, maka tidak bisa dinafikan di setiap anggota tubuh itu terdapat sifat kehidupan, mampu, mengetahui dan berkehendak. Apabila di setiap anggota itu memiliki sifat-sifat tersebut, maka satu per satu dari setiap anggota tubuh tersebut akan menjadi Yang Maha Hidup, Maha Mampu, Maha Mengetahui, dan Maha Berkehendak. Seandainya kejadiannya demikian, maka tidak dapat dipungkiri lagi akan terjadinya perbedaan di setiap anggota tubuh. Sehingga sebagian anggota akan berkendak sesuatu yang itu berbeda dengan kehendak sebagian anggota tubuh yang lain. Hal itu merupakan mustahil bagi Allah Swt.
Dalam studi Ulum al-Quran ayat-ayat di atas yang digunakan oleh Daud al-Jawaribiy dan Hisyam ibn Salim al-Jawaliqiy al-Rafidhiy itu merupakan ayat-ayat yang mutasyâbih yang tidak sepatutnya ditakwil dengan sembrono dan melanggar aturan dan ajaran dalam Islam.
Sehingga mayoritas Ulama Ahlusunah dalam menyikapi teks-teks mutasyâbih baik dalam ayat-ayat al-Quran maupun hadis-hadis Nabi yang shahih adalah sama sebagaimana keyakinan para ulama mujtahid lainnya dari para ulama salaf saleh, yaitu dengan cara memberlakukan metodologi takwil sesuai tuntutan teks-teks itu sendiri, tentunya dengan amat hati-hati dan tidak melanggar ajaran-ajaran yang terdapat dalam Islam, terlebih yang berhubungan dengan tauhid dan akidah.
Hal itu pun juga merupakan salah satu yang diperhatikan oleh ulama-ulama dan umat Islam Indonesia berhaluan Ahlusunah Wajamaah, mengikuti aliran Asy’ariyyah dalam bidang akidah dan madzhab Syafi’i (umumnya) dalam hukum fikih, mereka semua berkeyakinan bahwa Allah Swt ada tanpa tempat, tanpa arah, bukan Jism, dan tidak memiliki anggota tubuh.
Pendapat Ulama Nusantara Tentang Akidah Suci
Berikut ini penegasan beberapa ulama Indonesia tentang akidah suci dimaksud sebagaimana dikutip dari buku Aqidah Empat Imam Madzhab Menjelaskan Tafsir Istiwa dan Kesucian Allah dari Tempat dan Arah karya Dr. H. Kholilurrahman, MA:
- Syekh Muhammad Nawawi bin Umar al-Bantani (W. 1314 H/1897 M) menyatakan dalam tafsirnya Tafsir al-Munir li Ma’alim al-Tanzil, ketika menafsirkan ayat 54 surat al-A’raf: 7, “ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ”, sebagai berikut:
وَالْوَاجِبُ عَلَيْنَا أَنْ نَقْطَعَ بِكَوْنِهِ تَعَالَى مُنَزَّهًا عَنِ الْمَكَانِ وَالْجِهَّةِ
“Dan kita wajib meyakini secara pasti bahwa Allah Ta’ala Maha Suci dari tempat dan arah”
- Syekh Muhammad Shaleh ibnu Umar al-Samaraniy yang dikenal dengan sebutan Kiai Shaleh Darat Semarang (W. 1903 M). Beliau berkata dalam terjemah kitab al-Hikam (dalam bahasa jawa), sebagai berikut: “…lan ora arah lan ora enggon lan ora mongso lan ora werna” Maknanya:”…dan (Allah Maha Suci) dari arah, tempat, masa dan warna”
- KH. Muhammad Hasyim Asy’ari, Jombang, Jawa Timur pendiri organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdatul Ulama (W. 7 Ramadhan 1366 H/25 Juni 1947 M). Beliau menyatakan dalam Muqaddimah Risalahnya yang berjudul: “al-Tanbihat al-Wajibat” sebagai berikut:
وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ الْمُنَزَّهُ عَنِ الْجِسْمِيَّةِ وَالْجِهَّةِ وَالزَّمَانِ وَالْمَكَانِ
“Dan aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang wajib disembah melainkan Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, Dia Maha Suci dari berbentuk (berjisim), arah, zaman atau masa dan tempat”.