Nahwu dan Shorof; Dua Keilmuan yang Tidak Dapat Dipisahkan

Majalahnabawi.com – Jika kita mempelajari bahasa Arab, tentu saja kita sudah tidak asing lagi dengan ilmu Nahwu maupun ilmu Shorof, karena keduanya merupakan cabang ilmu linguistik Arab yang mana merupakan langkah dasar untuk mengetahui dan memahami bahasa Arab itu sendiri.

Ilmu Nahwu (sintaksis) adalah salah satu cabang ilmu dalam bahasa Arab yang digunakan untuk mengetahui hukum akhir dari suatu kata. Sedangkan ilmu Shorof  (morfologi) adalah salah satu cabang dalam bahasa Arab yang mempelajari mengenai perubahan bentuk pada suatu kata dalam bahasa Arab.

Ilmu Nahwu dan ilmu Shorof itu saling melengkapi satu sama lain serta tidak dapat dipisahkan, sebab tanpa salah-satunya maka tentu tidak akan bisa menghasilkan sesuatu ilmu yang lain dengan sempurna.

Maka dari itu tentu saja hubungan antara kedua ilmu tersebut sangatlah erat, karena ilmu Nahwu itu layaknya seperti ayahnya ilmu sedangkan ilmu Shorof itu bagaikan ibunya, maka tatkala keduanya dipadukan, niscaya akan tumbuh ilmu-ilmu yang lain karenanya, sebagaimana perpaduan ayah dan ibu, menghasilkan seorang anak.

Seseorang yang hanya mempelajari ilmu Nahwu saja, maka sangat dimungkinkan ia akan melakukan kesalahan dalam memahami statement Arab berikut:

«مَنْ قَالَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ بَطَلَ وُضُوْؤُهُ»

Bagi seseorang yang hanya mempelajari ilmu Nahwu saja, maka bisa jadi ia akan menerjemahkan kalimat di atas demikian: “Siapa saja yang berkata (berbicara) di bawah pohon, maka batalah wudhunya.”

Ini merupakan pemahaman dan terjemahan yang sangat keliru, karena sebagaimana yang kita tahu bahwa tidak ada satu pun keterangan dalam kitab-kitab fikih bahwa berbicara di bawah pohon itu dapat membatalkan wudhu.

Makna yang Benar

Tetapi bagi orang memahami dan mempelajari ilmu Nahwu dan Shorof, maka tentu saja ia akan menerjemahkannya demikian: “Siapa saja yang qoilulah (tidur di tengah hari), maka batal wudhunya.”

Pemahaman seperti ini selaras pula dengan keterangan dalam ilmu fan fikih. Namun perlu diketahui bahwa yang dimaksud tidur yang terdapat dari contoh perkataan di atas yaitu tidur lelap yang tidak lagi dalam keadaan sadar dan tidak dalam keadaan duduk pula, karena tidur seperti inilah yang membatalkan wudhu karena kemungkinan muncul hadas (mazhinnatun lil hadats).

Lafaz dalam contoh di atas (yang ditulis tebal dan miring) adalah fi’il bina’ ajwaf ya’i, yaitu:

قَالَ – يَقِيْلُ – قَيْلًا/قَيْلُوْلَةً 

Artinya: “Tidur di tengah hari.”

Bukan ajwaf bina’ wawi:

قَالَ – يَقُوْلُ – قَوْلًا

Artinya: “Berkata.”

Begitu pula seseorang yang hanya mempelajari ilmu Shorof saja, maka sangat dimungkinkan ia juga akan melakukan kesalahan dalam memahami statement Arab berikut:

«مَنْ تَوَضَّأَ بِبَوْلِ كَلْبٍ صَحَّ وُضُوْؤُهُ»

Bagi seseorang yang hanya mempelajari Ilmu Shorof saja, maka bisa jadi ia akan menerjemahkan kalimat di atas demikian: “Siapa saja yang berwudhu dengan air kencing anjing, maka sah wudhunya.”

Ini merupakan pemahaman dan terjemahan yang sangat keliru juga, karena sebagaimana yang kita tahu bahwa tidak ada satu pun keterangan dalam kitab-kitab fikih bahwa air kencing anjing bisa digunakan untuk berwudhu.

Tetapi bagi orang yang memahami dan mempelajari ilmu Nahwu dan Shorof, maka tentu saja ia akan menerjemahkannya demikian: “Siapa saja yang telah berwudu, lalu bertemu dengan air kencing anjing, maka wudunya tetap sah (tidak batal).”

Pemahaman seperti ini selaras pula dengan keterangan dalam fan fikih. Perlu diketahui bahwa huruf jar ba’ yang terdapat pada contoh di atas (yang ditulis tebal dan miring) bermakna (مَعْنَى إِلْصَاق), yaitu bertemu. Bukan bermakna (مَعْنَى اسْتِعَانَةِ), yaitu minta bantuan/bahwa lafaz setelah ba’ dijadikan alat untuk berwudhu.

Teka-Teki Nahwu

Lantas bagaimana nasibnya jika ada seorang muslim yang tidak bisa memahami dan mempelajari gramatika Arab (ilmu Nahwu maupun Shorof) serta ia tidak mau berusaha untuk mempelajarinya? Maka sungguh rugilah dia, karena perlu diketahui bahwa bahasa Arab itu sendiri merupakan bagian dari agama, maka sudah sepantasnya kita menyelaminya semampu yang kita bisa.

Jika ia (orang yang tidak mau memahami serta mempelajari gramatika Arab) misalnya disuguhkan teka-teki kalimat berikut:

«رجل رجل رجل رجل رجل»

Kemudian disuruh untuk membacanya, bagaimana? Dan apa terjemahannya? Pasti bingung dan menerka-nerka bacaannya.

Akan tetapi bagi orang yang memahami dan mempelajari gramatika Arab, pasti dia akan membaca dan menerjemahkannya seperti ini:

«رَجَلَ رَجُلٌ رِجْلَ رَجُلٍ رَجِلَ»

Artinya: “Seorang lelaki mengikat kaki lelaki (lain) yang (sedang) berjalan.”

Jika ia misalnya disuguhkan pula petuah kalimat berikut:

«من من من من من الله من منه منا»

Kemudian disuruh untuk membacanya bagaimana? Dan apa terjemahannya? Pasti bingung juga dan menerka-nerka bacaannya.

Akan tetapi bagi orang yang memahami dan mempelajari gramatika Arab khususnya ilmu Nahwu dan Shorof, pasti dia akan membaca dan menerjemahkannya seperti ini:

«مَنْ مَنَّ مِنْ مَنٍّ مَنَّ اللهُ مِنْ مَنِّهِ مَنًّا»

Artinya: “Siapa saja yang memberi anugerah (membantu orang) dari suatu anugerah (yang dimilikinya). Maka Allah Swt akan menganugerahinya (memberinya) dari anugerah-Nya suatu anugerah (pemberian).”

Itulah contoh-contoh kalimat teka-teki bahasa Arab yang mana sudah lumrah di kalangan para santri yang mempelajari gramatika Arab, khususnya dalam bidang ilmu Nahwu dan ilmu Shorof.

Mendalami Satu Ilmu, Menguasai Semua Ilmu

Dalam buku Sang Pangeran Nahwu al-Ajrumiyyah karya ustadz Abu An’im, diceritakan bahwa Imam Kisa’i (w. 189 H) pernah berpesan kepada murid-muridnya: “Bahwa dengan menguasai nahwu dan shorof saja, sebenarnya sudah cukup”, berikut statment beliau:

«مَنْ تَبَحَّرَ فِيْ عِلْمٍ اهْتَدَى بِهِ إِلَى سَائِرِ الْعُلُوْمِ»

Siapa saja yang menguasai satu disiplin ilmu, maka ia akan mendapat petunjuk untuk mencapai ilmu-ilmu yang lain.”

Lantas Imam Abu Yusuf (w. 182 H) salah seorang santri Imam Abu Hanifah, mewakili kelompok fuqoha’ sangat jengkel dan penasaran pada “jargon-jargon” yang sering dilontarkan oleh Imam Kisa’i ini.

Tantangan Soal Fikih

Dalam sebuah pertemuan suatu ketika Imam Abu Yusuf berjumpa dengan Imam Kisa’i. kesempatan ini digunakan oleh Imam Abu Yusuf untuk menanyakan masalah fikih yang cukup sulit dengan tujuan untuk menguji kebenaran statement-nya.

Berkatalah Imam Abu Yusuf: “Selamat datang wahai Imam Kisa’i, imam orang Kufah. Aku sering mendengar statement-mu, yang menurutmu dengan menguasai satu disiplin ilmu, berarti juga menguasai ilmu-ilmu yang lain, aku ingin tahu apakah engkau juga menguasai fikih?.”

Imam Kisa’i pun menjawab: “Silahkan bertanya apa saja tentang fikih, bukankah engkau terkenal sebagai imamnya para fuqoha?. Begini pertanyaanku, kata Abu Yusuf: “Jika ada orang lupa melakukan sujud sahwi sampai tiga kali, apakah masih disunahkan sujud sahwi lagi karena lupanya itu?”.

Dengan suara mantap Imam Kisa’i menjawab: “Menurutku tidak! Karena menurut kaidah Nahwu (الْمُصَغَّرُ لَا تُصَغَّرُ): Sesuatu yang sudah ditashgir tidak boleh ditashgir lagi. Seperti lafaz (دِرْهَمٌ), ketika ditashghir mejadi (دُرَيْهِمٌ) dengan menambahkan ya’. Setelah menjadi (دُرَيْهِمٌ) maka tidak boleh ditashgir lagi dengan menambahkan ya’ yang lain.”

Akhirnya, Imam Abu Yusuf dibuat kagum oleh jawaban Imam Kisa’i ini: “Sungguh tepat jawabannya dan tidak menyimpang dari pendapat fuqoha‘.” Nampaknya benar kata pribahasa. “Tidak ada rotan akar pun jadi- “Tidak ada fikih, nahwu pun jadi”.

Dari semua pemaparan di atas, jelaslah bahwa Nahwu dan Shorof merupakan dua keilmuan yang tidak dapat dipisahkan serta berguna untuk menghindari dari kekeliruan dalam memahami, membaca ataupun mengartikan kalimat-kalimat bahasa Arab.

Maka dari itu, alangkah baiknya jika kita bisa menguasai kedua ilmu tersebut semaksimal mungkin, agar kita bisa menjadi orang yang mahir dalam segala bidang ilmu. Semoga tulisan ini bisa menjadi motivasi kepada para pembaca agar senantiasa mempelajari gramatika Arab khususnya dalam bidang ilmu Nahwu dan Shorof  secara lebih serius, masif dan lebih mendalam lagi.

Similar Posts