Ngabuburit ke Korea: Membaca “Lentera Islam di Negeri Ginseng”

Majalahnabawi.com – Selain mengkhatamkan bacaan al-Quran, mengkhatamkan buku bacaan juga menjadi kegiatan yang cocok untuk mengisi waktu ngabuburit. Tak ubahnya membaca artikel ini sampai tuntas, pun bisa menjadi pilihan menarik untuk ngabuburit. Sembari menunggu azan magrib tiba, di penghujung Ramadan kali ini, kami akan mengajak Sobat Nabawi menyelami suatu karya bernuansa Korea. Sebuah karya dari guru kita, Ustaz Ulin Nuha, yang berjudul “Lentera Islam di Negeri Ginseng.”

Catatan Dakwah dari Korea Selatan

Buku imut dengan ukuran 12×17 cm ini berisi catatan dakwah pengarang selama melakukan safari dakwah di Korea Selatan. Ukurannya yang cukup mini, membuat kami tertarik dan semangat untuk membacanya sampai tuntas. Tentu saja, sebab bagi sebagian orang termasuk kami, menyelesaikan buku-buku tipis dapat memberi semangat untuk terus membaca.

Pertamakali diterbitkan pada Februari 2024 oleh Penerbit Maktabah Darus-Sunnah, buku ini memiliki ketebalan sebanyak 172 halaman. Setiap halaman tersusun dari kata-kata yang begitu renyah merangkai dua puluh potong tema. Dua puluh tema ini berisi tentang kehidupan muslim Indonesia di Korea Selatan beserta tantangan yang mereka lewati selama Ramadan. Ada juga cerita tentang muslim Uzbekistan di sana. Tak ketinggalan pula beberapa hal tentang Korea Selatan. Keseluruhan tema ini menggambarkan aktifitas safari dakwah pengarang selama Ramadan tahun lalu di Korea Selatan. Potongan hadis atau ayat al-Quran yang berkaitan melengkapi setiap temanya.

Oh ya, kerennya buku ini diawali kata pengantar oleh KH. Zulfa Mustofa, Wakil Ketua Umum PBNU. Selain itu, foto-foto eksklusif di bagian belakang melengkapi buku ini. Foto-foto tersebut tentu saja membantu menggambarkan dan memperjelas cerita. Hanya saja menurut kami akan lebih nyaman apabila foto-foto tersebut letaknya di tengah-tengah setiap tulisan, bukan di bagian belakang buku. Tapi tentu saja hal ini tidak mengubah keseruan membaca buku tersebut. Wah, membacanya kami berasa sedang ngabuburit ke Korea!

Mengapa “Lentera Islam di Negeri Ginseng”?

Dari buku “Lentera Islam di Negeri Ginseng” ini kami menjadi tahu perbedaan yang sangat kontras begitu terasa antara Ramadan di Indonesia dan Korea Selatan. Secara umum, di Korea kita tidak akan menemukan semarak Ramadan seperti di Indonesia. Di Korea Selatan warung-warung makan tetap buka layaknya hari-hari biasa. Tidak ada kajian-kajian Ramadan seperti kultum yang di Indonesia sangat menjadi ciri khas dari Ramadan. Tak akan terdengar suara khas sahur keliling yang membangunkan kita sekitar pukul 3 dini hari. Jangankan suara sahur keliling, untuk mengetahui waktu berbuka saja tidak akan terdengar lantunan azan magrib. Hal ini lantaran jumlah masjid di sana sedikit, mungkin hanya hitungan jari. Dan dari masjid ke masjid jaraknya tentu sangat berjauhan. Maklum, semua ini karena memang Islam adalah agama minoritas di sana.

Tidak ada libur menyambut Ramadan, hari-hari kerja berjalan seperti biasa. Bahkan hari raya Idul Fitri saja tetap masuk kerja. Hanya saja terkadang ada tempat kerja yang meminta pegawai muslim tidak bekerja dulu lantaran khawatir tidak mampu bekerja. Budaya bekerja di sana memang disiplin dan ketat. Apalagi seringkali tidak dibarengi dengan spiritual orang-orangnya. Tak heran apabila tingkat stres warga di sana persentasenya besar. Bahkan wajar jika Korea Selatan termasuk negara dengan indesks bunuh diri tertinggi. Dalam bukunya, pengarang menuturkan bahwa dalam hal seperti inilah Islam bisa jadi lentera di tengah kegelapan iman. Asumsi kami, dari sinilah judul buku “Lentera Islam di Negeri Ginseng” itu diambil.

Pancaran Cahaya Ramadan dari Umat Islam

Kendati demikian, jika kita melihat lebih dekat, akan kita temukan semarak Ramadan yang terpancar dari secuil umat Islam di sana. Seperti di Masjid Sejong Islamic Center, muslim Uzbekistan di sana mengkhatamkan al-Quran dalam Tarawihnya. Bahkan satu juz setengah bacaan al-Quran setiap malamnya. Pengarang juga kebagian jadwal jadi Imam di sana. Selain itu ada Masjid  Ammar bin Yasir. Masjid yang dikelola oleh warga Indonesia di sana. Mereka mengadakan kajian Ramadan, juga kultum sehabis subuh dan menjelang berbuka. Pengarang juga mengisi kajian di sana. Meski dengan jemaah seadanya, namun semarak Ramadan di Negeri Ginseng masih bisa terlihat cahayanya dari umat muslim yang jumlahnya tak seberapa ini. Dari tulisan ini pula kami berasumsi, bisa jadi juga dari sinilah judul buku diambil? 

Begitulah kira-kira Ramadan di Korea Selatan yang pengarang gambarkan dalam bukunya. Pengarang juga menceritakan pengalamannya berpuasa di musim sakura, lho. Ingin tahu  bagaimana rasanya berpuasa di musim Sakura? Baca saja bukunya!

Bahasa Tubuh Lebih Mengena daripada Bahasa Lidah

Ada kalimat menarik dari buku “Lentera Islam di Negeri Ginseng” yang melekat di ingatan kami. Kalam indah ini terangkai di tema ke-9, Menjadi Duta Islam. Begini redaksinya… “Para PMI muslim akan menjadi duta Islam di Korea Selatan bersama muslim yang lain. Mereka akan dianggap sebagai wakil Islam. Baik buruknya Islam bergantung pada mereka. Oleh karenanya, mereka mesti memperlihatkan kebaikan Islam. Khususnya melalui akhlak kepada sesama. Ketika mereka dapat dipercaya oleh atasannya, disiplin dalam bekerja, dan bersikap ramah kepada mereka yang beda agama, hal-hal semacam itu sejatinya adalah bentuk dakwah Islam yang ampuh. Orang Korea Selatan tidak melihat salat, tetapi mereka melihat dan merasakan perilaku para PMI saat bekerja. ” Tulisan ini menjadi pengingat bagi kami bahwa memang dakwah yang paling ampuh seringkali adalah dakwah melalui perbuatan kita. Seperti kata pepatah, lisanul haal ablaghu min lisanil maqal. Bahasa tubuh, yakni perbuatan, lebih mengena daripada bahasa lidah, alias ucapan. Ketika bahasa tubuh kita sudah mampu menerjemahkan keindahan akhlak Islam, maka itu sudah cukup mewakili penjelasan lidah.

Profil Pengarang

Ustaz Ulin, begitulah sapaan akrab pengarang buku “Lentera Islam di Negeri Ginseng” ini. Pemilik nama lengkap Ulin Nuha ini lahir di Grobogan, Jawa Tengah, 04 Mei 1989. Beliau adalah dosen kami di Darus-Sunnah International Institute for Hadith Science dan di Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta. Selain itu beliau juga aktif mengajar di Pesantren Tafsir Darus-Sa’adah, dan Pesantren Pascatahfizh Bayt al-Qur’an. Tahun lalu, 2023, beliau menjadi Dai Internasional Lembaga Dakwah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LD PBNU). Program inilah yang mengantarkan beliau safari dakwah di Korea Selatan selama Ramadan kemarin. Berangkat dari program ini pula beliau kemudian membawakan oleh-oleh buku “Lentera Islam di Negeri Gingseng” ini.

Saat ini beliau menetap di Darus-Sunnah, Ciputat. Bersama istri tercinta, Ustazah Nur Fadilah Myanti Efha, yang juga mengampu mata kuliah Tahfiz di Darus-Sunnah. Kebahagiaan pasangan hafiz dan hafizah ini dilengkapi dengan kehadiran seorang putra yang menggemaskan, Muhammad Ayman Rusydi. Juga seorang putri, Navida Ilma Anjani, yang baru saja lahir sebulan lalu. Tepat pada malam Nisfu Syaban kemarin.

Riwayat Pendidikan dan Karya

Sejak kecil beliau sudah akrab dengan al-Quran dan Ilmu agama. Beliau sudah talaqqi al-Quran kepada Ayahnya, Mahfuhon, sedari kecil. Setelah menamatkan pendidikan tingkat Aliyah di Perguruan Islam Mathali’ul Falah, beliau nyantri tahfiz ke Kudus, tepatnya di pesantren Ar-Roudhotul Mardhiyah. Pada tahun 2016 beliau meraih gelar Sarjana Studi Islam (S.S.I). Gelar yang beliau raih dari Fakultas Dirasat Islamiyah (FDI) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pada tahun yang sama juga beliau meraih gelar LC (Lecturing Certificate) dari Darus-Sunnah. Selanjutnya gelar Magister Agama (MA) juga beliau raih dari program studi magister di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah pada tahun 2020. Tak berhenti di situ, saat ini beliau sedang menempuh pendidikan S3 di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah.

Di antara guru-guru beliau adalah ayahandanya, KH. Ma’mun Mukhtar (Allm), KH. Sahal Mahfudh (Alm), KH. Munir Hisyam (Alm), KH. Sya’roni Ahmadi, KH. Ali Mustafa Yaqub (Alm), Ustaz Ali Moh al-Hudaibi, Prof. Quraish Shihab, KH. Ahsin Sakho Muhammad, dan masih banyak lagi.

Selain “Lentera Islam di Negeri Ginseng”, sudah banyak karya beliau lainnya yang bisa kita nikmati. Di antaranya yang hadir belakangan adalah: Diakrtitik al-Qur’an: Mengenal Lebih Dekat Ilmu Dabt Mushaf (2023), Pelangi Ramadan di Tembagapura Papua (2021), Kerukunan Umat Beragama dalam al-Quran: Telaah Penafsiran Kiai Sya’roni Ahmadi (2020), Ramadan Bersama Nabi Saw (2019), Risalah Pengantin (2018), Biografi Kiai Ali Mustafa Yaqub: Meniti Dakwah di Jalan Sunnah (2018), Jalan Penghafal al-Quran (2017), dan masih banyak lainnya.

Similar Posts