Ngaji Politik
Majalahnabawi.com – Mempunyai jabatan terkadang menjadi sebuah kebanggaan tersendiri bagi seseorang. Banyak dari kita yang berusaha menduduki jabatan tertentu, baik di pemerintahan, perusahaan, sekolah maupun organisasi-organisasi lainnya.
Lantas bagaimana Islam menyikapi hal ini?
Imam Muslim mengabadikan sabda Rasulullah Saw dalam kitabnya:
عَنْ أَبِي مُوسَى قَالَ دَخَلْتُ علَى النبيِّ صَلَّى اللَّهُ عليه وَسَلَّمَ أَنَا وَرَجُلَانِ مِن بَنِي عَمِّي. فَقالَ أَحَدُ الرَّجُلَيْنِ: يا رَسولَ اللهِ أَمِّرْنَا علَى بَعْضِ ما وَلَّاكَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ. وَقالَ الآخَرُ مِثْلَ ذلكَ. فَقالَ: إنَّا وَاللَّهِ لا نُوَلِّي علَى هذا العَمَلِ أَحَدًا سَأَلَهُ وَلَا أَحَدًا حَرَصَ عليه.
Artinya: Diriwayatkan dari Abu Musa. ia berkata, “Aku berkunjung ke rumah Nabi bersama dua orang lelaki dari keluarga pamanku. Kemudian salah satu dari mereka berkata: “Wahai Rasulullah saw. Berikan kami sebuah jabatan untuk memimpin disebagian daerah kekuasaanmu.” Hal ini juga diucapkan oleh lelaki lainnya. Mendengar itu Rasulullah saw. Bersabda: “Demi Allah, aku tidak akan memberikan tanggung jawab ini kepada orang yang memintanya. Dan tidak pula kepada orang yang ambisius terhadapnya.” (HR. Muslim)
Dalam konteks pemerintahan Indonesia, hadis di atas bisa kita analogikan posisi Nabi Muhammad sebagai Presiden, kemudian datang kepadanya seseorang untuk meminta jabatan sebagai menteri atau komisaris. Namun sayangnya, Nabi menolak permintaan itu. Nabi mengatakan, ia tidak akan memberikan kekuasaan kepada orang yang terlalu berambisi.
Apa yang dilakukan Nabi Muhammad sangat masuk akal. Hal ini dikarenakan, menjadi pemimpin adalah sesuatu yang sangat berat. Pemimpin akan bertanggung jawab terhadap apa yang dipimpinnya. Waktu, tenaga, dan pikirannya akan banyak terkuras memikirkan persoalan orang banyak. Mereka yang mendapatkan jabatan harusnya merasa takut tidak dapat menjalankan amanah itu dengan baik.
Melihat beratnya tugas seorang pemimpin, terasa aneh apabila ada seseorang yang justru berambisi atas sebuah jabatan. Sehingga patut dicurigai kesungguhannya untuk mengabdi kepada banyak orang. Jangan-jangan tujuan ia adalah menggunakan jabatannya sebagai wasilah untuk keuntungan pribadi, seperti mendapat pujian, ketenaran, atau bahkan penyalahgunaan wewenang. Karena alasan inilah Rasulullah Saw tidak memberikan sebuah jabatan kepada orang yang ambisius.
Di atas sudah dijelaskan larangan untuk meminta jabatan. Meski demikian, dalam kondisi tertentu seseorang yang mempunyai kemampuan, kapasitas, dan niat baik, boleh untuk mengajukan diri menempati jabatan tertentu. Hal ini pernah dilakukan oleh Nabi Yusuf yang terekam dalam Al-Quran surat Yusuf ayat 55:
قَالَ ٱجۡعَلۡنِي عَلَىٰ خَزَآئِنِ ٱلۡأَرۡضِۖ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٞ
Artinya:
Yusuf berkata (pada Raja Mesir): “jadikan aku pengelola bumi (Mesir). Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.”
Ayat di atas menceritakan permintaan Nabi Yusuf kepada Raja Mesir untuk menjadikannya mentri pertanian yang akan mengurus urusan pangan di negri tersebut. Nabi Yusuf menyakinkan kepada Raja bahwa dia adalah orang yang bepengetahuan dan dapat dipercaya. Dan terbukti, Nabi Yusuf bisa menyelamatkan negri Mesir dari kelangkaan pangan, bahkan bisa membantu negri-negri di sekitarnya dari ancaman kelaparan.
Gus Baha dalam salah satu kajiannya dengan mengutip kitab fathul mu’in membolehkan orang baik untuk meminta jabatan, meskipun hal itu dilakukan dengan cara money politik. Menurutnya orang baik yang merasa layak menjadi pemimpin sedangkan rivalnya orang yang merusak, maka orang yang baik itu wajib berkompetisi meskipun dengan mengeluarkan uang, dan uang yang dikeluarkannya ini berstatus sedekah, karena ia membeli kebenaran, berbeda dengan uang yang dikeluarkan oleh rivalnya, maka uang yang dikeluarkannya berstatus suap.
Kini kita memasuki tahun politik, banyak poster calon wakil rakyat yang terpajang di pojok-pojok jalan. Tujuan mereka satu, minta dipilih. Kita tidak boleh berprasangka buruk pada mereka dengan dalih hadis Nabi di atas. Karena bisa saja, mereka adalah orang yang benar-benar diminta oleh masyarakat untuk maju dan bisa mengurus dengan baik urusan masyarakatnya. Atau mereka mencalonkan diri karena kapasitas yang dimilikinya dan merasa yakin bisa mengurus permasalahan masyarakat dengan baik sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Yusuf as.
Waalahu A’lam