Nilai-Nilai Islam dalam Novel Dompet Ayah Sepatu Ibu
Majalahnabawi.com – Banyak orang menganggap membaca novel hanya membuang buang waktu saja. Tak jarang saya sering kali dapat komentar miring ketika kedapatan membaca sebuah novel baik berupa e-book pdf. bajakan dan lain-lain. Ada yang bilang, “Buat apa sih baca novel, nggak ada ilmunya,” atau, “Ngapain terus-terusan baca novel, emang ada manfaatnya?”.
Komentar-komentar miring di atas tidak juga benar dan juga tidak sepenuhnya salah. Buku non fiksi memang harus kita akui sarat dengan ilmu di setiap lembarnya, sementara novel lebih banyak bercerita. Cerita yang mungkin saja hanya hasil dari imajinasi sang penulis. Tapi, siapa bilang kalau cerita-cerita dalam novel tidak mengandung pelajaran berharga? Justru, kadang-kadang pelajaran yang didapat dari cerita itu lebih abadi, lebih meresap ke dalam jiwa.
Membaca novel Dompet Ayah Sepatu Ibu misalnya, banyak pelajaran berharga bahkan nilai nilai agama Islam yang dapat kita temukan di novel karya Jombang Santani Khairen ini.
Novel ini mengisahkan dua tokoh utama Zenna dan Asrul yang pada akhirnya mereka akan menjadi pasangan bahagia. Keduanya sama sama berasal dari background keluarga menengah ke bawah dengan mimpi besar. Mereka tidak hanya bermimpi, tetapi juga bertekad memutus rantai kemiskinan yang membelenggu keluarga mereka. Zenna adalah seorang perempuan yang cerdas, gigih, dan penuh semangat. Di sisi lain, Asrul adalah sosok pemuda yang tangguh dan pantang menyerah. Keduanya memiliki satu kesamaan: keyakinan bahwa pendidikan adalah jalan keluar dari kemiskinan.
Setidaknya ada 4 nilai-nilai Islam yang bisa kita temukan dalam novel Dompet Ayah Sepatu Ibu ini.
Berbakti kepada Orang Tua Seperti Uwais al-Qarni
Nilai Islam ini bisa ditemukan di lembar awal kisah Asrul sewaktu kecil, ia memiliki adek bernama Irsal dan Laeli. Setiap malam sebelum tidur Umi (ibu) selalu bercerita, tentang nabi, para sahabat, cerita anak anak, hewan dan lain lain. Malam itu Umi bercerita tentang pemuda yang gagah namanya Uwais al-Qarni. Uwais al-Qarni adalah pemuda yang berbakti kepada orang tuanya hingga ia rela menggendong ibunya untuk mewujudkan impiannya pergi naik haji.
Setelah mendengar cerita Umi, sebelum benar-benar tertidur, Asrul dan Irsal mencoba mencerna cerita Uwais Al Qarni tadi.
“Aden” akan punya banyak uang supaya Umi bisa naik haji,” kata Irsal.
“Aden…” Asrul terdiam. la lihat rumah peninggalan kakeknya ini. Sejak Bapak menikah lagi, mereka bertiga pindah ke rumah kayu yang busuk ini. “Aden akan buatkan Umi rumah bak istana!”
Menikah adalah Ibadah Terlama
Saat Asrul hendak berkunjung melamar Zenna. Diperjalanan ia bertanya terkait pernikahan kepada adiknya Irsal yang telah dulu menikah.
“Ada senang menikah tu?” tanya Asrul pada Irsal di perjalanan
Adiknya ini sudah menikah duluan. “Ada senang, ada sedihnya. Menikah itu setengah agama Ibadahnya tak main-main. Salat saja harus susah-susah turun ke pancuran ambil air wuduk, baca Al-Quran harus susah-susah belajar abjad Arab, kena lecut rotan kalau salah baca. Zakat juga begitu, harus susah bekerja dulu baru bisa zakat. Naik haji apalagi, susahnya luar biasa. Tapi selalu ada kenikmatan. Maka menikah pahalanya setengah agama. Pasti susahnya juga tak main-main.”
“Siaplah. Sudah jadi ustaz hebat waang sekarang,” kata Asrul, tetap dengan nada mengejek.
Jodoh adalah Cerminan Diri Kita
Saat libur semester kuliah tiba Zenna pergi ke kampung dan berkunjung ke rumah Bu I’i gurunya dulu sewaktu SMA. Di rumah itu zenna asyik bercanda tawa dengan Bu I’i dan sesekali dia menyelipkan nasehat untuk Zenna.
“Bukan insinyur, Bu, tapi guru,” jawab Zenna.
“Ya pokoknya yang hebatlah.” Bu I’i mengangkat jempolnya.
“Ingat tapi, jangan cepat-cepat menikah. Kerja dulu, dapat uang, menikah tidak murah.” Bu l’i menggerak-gerakkan dua jarinya di depan wajah Zenna.
“Zenna baru semester dua, Bu, mana terpikir untuk itu. Pacar saja tak ada,” jelas Zenna. Bagian pacar saja tak ada itu diucapkannya dengan agak ragu.
“Jodoh itu cerminan diri. Nanti yang sama pintar, sama bersemangat, sama soleh dan solehah, dan sama rancaknya seperti kamu, akan datang sendiri,” terang Bu l’i. “Seperti apa itu namanya, jodoh itu seperti cermin pokoknya.”
Pesan Bu I’i kepada Zenna selaras dengan konsep jodoh dalam Islam. Allah berfirman dalam surat an-Nur ayat 26 yang artinya sebagai berikut:
“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia (surga).”
Mencari Rezeki yang Halal
Bisnis penjualan kayu manis bapak Asrul sedang mangalami penurunan harga. Akibatnya harga kayu manis menjadi murah. Hal ini adalah ulah preman pasar, mereka melobi pembeli agar tak membeli kayu manis dari siapapun sehingga harga kayu manis jatuh. Namun bapak tetap menjualnya kepada tengkulak. Setelah tengkulak memberikan uang pada bapak. Asrul teringat pesan umi
“Yang tak berkah, tak jadi darah”. Asrul mengulangi kalimat Umi di kepalanya. Namun bibirnya gatal, gatal, dan makin gatal. Pembeli kayu manis itu naik ke mobilnya. Asrul mendekat. “Yang tak berkah, tak jadi darah,” tatap Asrul tajam. Pembeli itu diam saja, mengeluarkan ekspresi bingung. Asrul mengulangi kalimatnya. Orang itu mengeluarkan ekspresi sinis sambil melihat Asrul dari ujung kaki ke ujung kepala. Asrul berpaling dan orang itu pergi.”
Jika masih ada yang bilang membaca novel itu sia-sia, mungkin mereka belum pernah benar-benar tersesat dalam sebuah cerita, merasakan betapa dalamnya pelajaran yang bisa didapatkan dari kata-kata yang sederhana. Kadang, pelajaran paling berharga justru datang dari hal-hal yang terlihat sepele. Dan novel, meski sering dianggap remeh, adalah salah satu dari hal-hal itu.