| |

Nuzulul Qur’an: Hikmah Perenungan dan Peran Mulia Perempuan

Majalahnabawi.com – Perbincangan mengenai Al-Qur’an dan hal-hal yang berkaitan dengannya selalu menjadi topik yang menarik dan relevan untuk dikaji serta didiskusikan secara mendalam sepanjang zaman. Al-Qur’an sebagai kitab suci terakhir yang diturunkan oleh Allah kepada nabi sekaligus Rasul terakhir-Nya, yakni Muhammad Saw., tentu memiliki historisitas dan urgensinya sendiri. Kedudukan Al-Qur’an sebagai kitab suci terakhir berkonsekuensi bahwa ia menjadi penyempurna dari risalah atau ajaran Nabi dan Rasul sebelumnya. Oleh karena itu, apa pun yang terkandung di dalam Al-Qur’an dapat menjadi pedoman bagi umat manusia secara umum, tidak terbatas hanya untuk umat Islam saja.

Salah satu peristiwa bersejarah dan penting untuk direnungi ialah malam diturunkannya Al-Qur’an yang dikenal dengan istilah Nuzulul Qur’an. Syaikh Muhammad Ali Ash-Shabuni dalam kitabnya At-Tibyan fi Ulumil Qur’an menjelaskan bahwa Nuzulul Qur’an merupakan malam ketika Allah menurunkan Al-Qur’an pertama kali dari langit dunia (Baitul Izzah) kepada Nabi Muhammad Saw. melalui perantara Malaikat Jibril pada tanggal 17 Ramadan, yang saat itu bertepatan dengan usia Rasulullah Saw. yang menginjak 40 tahun.

Hakikat Nuzulul Qur’an

Ada hal menarik untuk ditelisik lebih dalam perihal peristiwa Nuzulul Qur’an dan kaitannya dengan bulan Ramadan, yaitu mengenai kebiasaan Nabi yang sering kali menarik diri dari keramaian untuk melakukan perenungan atau kontemplasi di Gua Hira, yang jaraknya sekitar dua mil dari Kota Mekkah. Kebiasaan ini merupakan kegiatan rutin yang beliau lakukan setiap tahun dengan durasi waktu sebulan lamanya.

Telah menjadi maklum bahwa kondisi geografis masyarakat Arab adalah padang pasir yang gersang dan panas terik. Demikian pula, jika ditelusuri makna dari terma Ramadan yang berasal dari kata ramadha yang berarti “memanaskan dan memanggang.” Turunan katanya, ramdla, berarti “kondisi amat terik.” Maka saat bulan Ramadan tiba, masyarakat Arab cenderung mengurung diri di dalam rumah dan enggan melakukan aktivitas di luar rumah, termasuk aktivitas bertapa. Bagi orang-orang tertentu, salah satunya Nabi Saw., bertapa menjadi pilihan utama, selain untuk beribadah, juga sebagai momen perenungan diri.

Sebenarnya, cara ini merupakan suatu bentuk pendidikan sekaligus petunjuk dari Allah dalam mempersiapkan utusan-utusan-Nya untuk menerima wahyu, termasuk Nabi Muhammad Saw. yang disiapkan terlebih dahulu pribadinya agar siap secara ruhani dan jasmani dalam menerima wahyu Tuhan. Sebab, wahyu merupakan sesuatu yang amat berat untuk dipikul sehingga membutuhkan persiapan yang matang.

Dalam momen perenungannya, beliau melakukan tazkiyatun nafs (penyucian diri), memperbanyak ibadah, berzikir, dan bermunajat kepada Allah Swt. sembari merenungi kondisi umatnya yang saat itu berada dalam kejahiliahan secara budaya, tradisi, dan pemikiran, agar diberikan jalan keluar atas persoalan yang melanda saat itu. Hingga pada akhirnya, usaha yang beliau lakukan dengan penuh kesungguhan ini membuahkan hasil. Allah Swt. melalui Malaikat Jibril menurunkan wahyu pertama kepadanya.

Iqra’ merupakan surat cinta pertama yang Tuhan turunkan kepada kekasih-Nya yang bernama Muhammad, sebagai jawaban atas kegundahan yang menghantuinya akibat persoalan umatnya yang berada dalam kegelapan. Kala itu, Jibril datang dengan wujud aslinya ketika Nabi sedang melakukan perenungan seperti biasa. Tatkala Jibril berhadapan dengannya, mendekap, dan menyampaikan wahyu tersebut, seketika Nabi saw. terkejut, tubuhnya bergetar, bibirnya kelu, dan lidahnya kaku untuk sekadar mengucapkan ulang apa yang disampaikan Jibril. Sampai pada pengulangan ketiga, beliau masih membisu dan tak bergeming sedikit pun.

Sepeninggal Malaikat Jibril, Nabi Saw. pulang ke rumah dengan raut wajah yang pucat, takut, dan menggigil seperti kedinginan. Di hadapan istrinya, Siti Khadijah, dengan ucapan terbata-bata, Nabi berkata, “Selimuti aku! Selimuti aku!” Lalu, dengan sigap sang istri segera melaksanakan perintahnya. Setelah Nabi Saw. menceritakan apa yang dialaminya, Siti Khadijah tak tampak panik, apalagi ketakutan. Justru ia tampak tenang dan penuh simpati kepada Nabi sambil memberikan pandangan yang optimistis bahwa apa yang dialaminya merupakan tanda dari Allah atas pengangkatannya sebagai rasul untuk umat ini. Selain itu, Khadijah juga memberikan solusi atas kegundahan yang menimpa Nabi Saw. dengan menyarankan agar mendatangi Waraqah bin Naufal yang memiliki pengetahuan tentang agama-agama terdahulu agar memperoleh titik terang mengenai peristiwa tersebut.

Ikhtiar Perenungan

Kegiatan perenungan (tahannuts) atau kontemplasi yang dilakukan oleh Nabi merupakan salah satu upaya efektif yang patut diteladani, terutama kala kita diselimuti masalah dan dirundung berbagai kegundahan. Di tengah kondisi umat yang carut-marut—dari mulai tradisi pengkultusan berhala sebagai tuhan hingga penguburan hidup-hidup bayi perempuan, dari praktik perbudakan dan perlakuan aniaya terhadap sesama hingga normalisasi judi, minuman keras, dan zina—Nabi memilih untuk menarik diri dari keramaian, menarik napas panjang, menjernihkan pikiran, dan melihat lebih dalam masalah-masalah yang mengitarinya agar mendapatkan jalan keluar yang ideal, tentunya dengan pertolongan dan petunjuk dari Allah.

Menariknya, wahyu pertama yang turun ialah kalimat Iqra’. Seolah-olah Allah ingin memberikan isyarat kepada Nabi agar bisa membaca realitas dengan bijak dan tidak emosional. Allah hendak memberikan petunjuk agar Nabi meneliti dan mencari solusi atas permasalahan yang terjadi melalui pembacaan yang cermat terhadap realitas sosial umatnya saat itu, tanpa kekerasan. Hal ini jugalah yang patut kita renungkan. Saat kondisi bangsa dalam keadaan carut-marut di segala sektor kehidupan, seyogianya tidak disikapi dengan serampangan, tergesa-gesa, apalagi dengan kekerasan. Sebab, wahyu pertama saja berbunyi Iqra’ (Bacalah), bukan Idhrib (Pukullah).

Maka dengan panduan ini, menegakkan amar makruf nahi mungkar tetap menjadi kewajiban setiap individu, namun harus dilakukan dengan cara yang baik. Menegakkan kebaikan dengan cara yang baik, dan mencegah keburukan dengan sikap yang bijak. Jangan sampai inti dari ajaran Islam, yaitu akhlakul karimah, terpinggirkan. Padahal, hal tersebut adalah tujuan utama dari diutusnya Rasulullah Saw., sebagaimana sabdanya: “Innama bu’itstu liutammima makarimal akhlak” (Sungguh aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak yang mulia) (HR. Al-Baihaqi).

Pada penggalan kisah Nabi Saw. dan Siti Khadijah di atas juga sarat akan makna. Peran mulia seorang istri Nabi yang menenangkan beliau di tengah kegalauan yang menghantuinya begitu signifikan. Seandainya Siti Khadijah menyikapinya dengan acuh, panik, atau emosional, tentu hasilnya akan berbeda atau bahkan memperkeruh suasana. Namun, dalam kondisi seperti itu, Siti Khadijah justru bersikap bijak, menenangkan hati suaminya, menguatkan langkahnya, dan memberikan dukungan emosional kepadanya.

Demikianlah ibrah bahwa seorang perempuan, sekaligus istri, memiliki peran yang mulia dan signifikan dalam perjalanan dakwah. Dalam konteks ini, Siti Khadijah berhasil menjalankan perannya dengan apik dan baik. Ia menjadi mitra dakwah Nabi yang senantiasa membersamai dan mendukungnya dalam kondisi suka maupun duka. Inilah hikmah terbesar dari momen istimewa Nuzulul Qur’an, bahwa Allah hendak memberikan pelajaran dan hikmah kepada manusia, bahwa Nuzulul Qur’an adalah momen istimewa untuk melakukan perenungan terhadap kompleksitas hidup masyarakat serta peran mulia seorang perempuan.

Referensi:

  • Muhammad Ali As-Shabuni, At-Tibyan fi Ulumil Qur’an
  • Ibnu Hisyam, As-Sirah An-Nabawiyah
  • Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfuri, Ar-Rahiq Al-Makhtum
  • Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan
  • Edgar Hamas, Belajar dari Negeri Para Nabi
  • KH. Husein Muhammad & Maman Abdurrahman, Mencintai Tuhan Mencintai Kesetaraan

Similar Posts