Pacaran ala Santri
Majalahnabawi.com – Pada masa milenial ini, siapa yang tidak mengenal istilah santri? Istilah yang disematkan kepada pelajar yang tinggal di asrama, menggunakan peci dan sarung, mempelajari kitab kuning, bahkan sering disebut sebagai pelajar yang paling kaya karena setiap hari menggunakan sendal baru.
Selain penyematan di atas, banyak pakar antropologi memberikan definisi kepada kalangan yang satu ini, misalnya C.C Berg. Ia berpendapat bahwa kata santri berasal dari bahasa Sanskerta: sastri, yang artinya “melek huruf”, maksudnya ialah, santri paham terhadap bahasa (khususnya bahasa Arab). Kemudian Karel A. Steenbrink yang mendukung pendapat Berg dan meyakini pendidikan pesantren serupa dengan pendidikan ala Hindu di India jika dilihat dari segi bentuk dan sistemnya.
Terlepas dari banyaknya definisi atau penggambaran santri, yang perlu diketahui adalah kaum elite dalam beragama ini merupakan kaum yang dituntut dan dibebankan untuk mengayomi dan membimbing umat. Santri juga diharapkan menjadi sosok yang bisa diteladani oleh banyak orang, baik dari segi moral, perilaku atau keilmuan.
Sebagai sosok yang menjadi panutan, kalangan yang kebanyakan anak muda ini haruslah mencerminkan nilai-nilai kehidupan – kebanyakan nilai-nilai ini terdapat dalam materi yang dipelajari khususnya nilai-nilai keagamaan – kepada orang lain. Konsekuensi dari “menjadi panutan” inilah yang membatasi ruang gerak mereka dalam berekspresi. Makan sambil berdiri, menggunakan celana pendek, atau bermain kartu remi adalah perilaku-perilaku yang sepatutnya menjadi hal yang tabu.
Namun, selain dituntut untuk menyelami nilai-nilai agama, seorang santri juga diberikan kebebasan untuk berpikir kreatif. Berkat kegeniusan dan tingkatan pemahaman terhadap agama di atas rata-rata, – yang mungkin tidak semua santri memilikinya – pemuda dengan ciri khas peci hitam ini mampu mengislamisasi kegiatan yang sebelumnya tidak boleh menjadi kegiatan yang boleh dilakukan bahkan dianjurkan. Kegeniusan seorang santri tentunya tidak lepas dari ilmu yang dimiliki. Salah satu perbuatan yang bisa diislamisasi misalnya pacaran. Pastinya pacaran yang dimaksud di sini bukan pacaran syar’i apalagi pacaran halal.
Menurut Sternberg (1996), mendefinisikan pacaran sebagai orang yang dekat dengan seseorang tetapi bukan saudara, dalam hubungannya terdapat cinta yang bermuatan keintiman dan komitmen. Adapun unsur-unsur yang terdapat dalam kegiatan ini misalnya: kepercayaan, komunikasi, komitmen.
Kegiatan pacaran dapat meningkatkan pemahaman yang lebih baik terhadap sesuatu yang dipacari. Sehingga mampu dan mengetahui cara mempertahankan hubungan.
Pacaran Ala Santri
Jika kita melihat pengertian yang dikemukakan oleh Sternberg, maka kegiatan pacaran bisa ini harusnya bisa dilakukan oleh siapa saja dengan apa saja. Tidak dibatasi oleh kelompok jenis atau status sosial apalagi. Salah satu ekspresi rasa cinta ini berlaku bagi siapa saja yang memiliki perasaan, contohnya santri.
Ketika siang hari membaca surat cinta dari-Nya, sedangkan di puncak malam, antara sendu dan haru, mengimaji tentang-Nya sampai waktu subuh. Mungkin demikian sosok pacaran ideal ala santri. Kecintaan kepada Tuhan mampu membuat rasa kantuknya hilang, kendati pada pertengahan malam, ia tetap bangun untuk bisa berduaan bersama-Nya.
Segala hal dilakukan demi mengenal-Nya lebih dalam, kendati harus mengikuti kiai ke mana pun perginya. Menginap di pondok atau bahkan tidak makan sehari bukan menjadi masalah, asalkan bisa mengenal Dzat yang dipacari.
Santri rela mengikuti berbagi tirakat di pondok – walaupun tidak semua pondok memiliki tirakat – hanya karena ingin belajar komunikasi dengan Sang Maha Kasih. Mulai belajar membangun komitmen hubungan dengan-Nya dengan berusaha istikamah dalam ibadah.