Pembagian Ilmu Menurut Imam Al-Ghazali

Majalahnabawi.com – Menjadi seorang muslim atau muslimat, selagi mempunyai akal sehat wajib baginya menuntut ilmu. Kewajiban itu dimulai semenjak ia lahir sampai tidak bernyawa. Rasulullah Saw bersabda: Mencari ilmu hukumnya wajib bagi setiap muslim laki-laki dan permpuan. (HR. Ibnu Majah)

Dalam hal ini, ilmu yang dimaksud adalah ilmu agama, khususnya ilmu yang berkaitan dengan apa yang diperlukan saat itu. Seperti salat, puasa, zakat, haji dan ilmu tentang jual beli jika berdagang. Dalam kitab Ta’lim al-Muta’alim ilmu seperti ini di sebut dengan ilmu hal. Syekh Zarnuji mengatakan:

أفضل العلم علم الحال وأفضل العمل حفظ الحال

Ilmu yang paling utama ialah ilmu hal(sesuatu yang menimpa seseorang saat itu). Dan perbuatan yang paling mulai adalah menjaga perilaku.”

Kewajiban itu adakalanya setiap individu tidak akan gugur hingga melakukannya, dan ada juga jika dilakukan oleh satu orang bisa menjadi gugur bagi yang lain. Dalam usul fikih ilmu ini disebut dengan istilah “fardu ‘ain dan fardu kifayah”. Dalam artian ilmu dilihat dari sisi kewajibannya terbagi menjadi dua, yaitu; fardu ‘ain dan fardu kifayah. 

Pembagian Ilmu Menurut Al-Ghazali

Selain terbagi menjadi fardu ain dan fardu kifayah, menurut Imam al-Ghazali dalam kitab al-Mushtashfa ilmu itu dari sisi lain terbagi menjadi tiga:

Pertama, ilmu murni rasional (aqli), artinya ilmu yang hanya mengandalkan kecerdasan akal tanpa ada campur tangan dari syariat, seperti ilmu perhitungan (hisab), perbintangan (nujum), astronomi (falak) dan lainnya. Menurutnya ilmu seperti ini jika dikaitkan dengan akhirat, maka tidak ada manfaat sama sekali. Tetapi, dalam urusan dunia ilmu tersebut mempunyai peran besar pada peradaban umat manusia, khususnya astronomi. Dengannya kita akan mengetahui fenomena alam semesta, seperti gerhana bulan dan matahari.

Kedua, ilmu murni transimisional (naqli), artinya ilmu yang hanya penukilan saja tanpa perlu bernalar dengan susah payah, seperti ilmu hadis (hadis riwayat), ilmu tafsir (tafsir bi al-ma’tsur), dan lainnya. Ilmu seperti ini hanya mengandalkan kuatnya hafalan, sehingga mudah untuk menguasainya. Ketiga, ilmu yang mampu memadukan antara rasional dan transimisional (aqli wa naqli), antara akal dan syariat, seperti ilmu fikih, dan ilmu usul fikih. Ini adalah ilmu yang paling mulia. Keduanya tidak serta-merta mengandalkan akal tanpa restu syariat, juga bukan ilmu yang hanya berdasar pada taklid buta tanpa didukung akal sehat. Wallahu A’lam.

Similar Posts