Pemikiran Kiai Ali Mustafa Yaqub: Meluruskan Dikotomi Ahli Hadis dan Ahli Fikih

Majalahnabawi.com – Kontribusi ahli hadis dan ahli fikih telah mewarnai sejarah  peradaban intelektual Islam. Namun, di antara keduanya terdapat tuduhan miring yang seolah-olah saling bersebrangan. Ahli hadis banyak mendapat tudingan sebagai kelompok yang cenderung tekstual dalam memahami hadis Nabi. Orang-orang menganggap mereka terlalu terpaku pada teks-teks hadis tanpa melakukan upaya pendekatan pemahaman yang bersifat kontekstual. Sedangkan ahli fikih dituding sebagai Ahlu al-Ra’yi yang  cenderung rasional-kontekstual.

Anggapan ini mendapat dukungan dari Syeikh Muhammad al-Ghazali (w. 1416 H/1996 M) dalam bukunya yang berjudul al-Sunnah al-Nabawiyah Baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadis. Judul buku ini telah memberikan kesan dikotomi antara ahli fikih di satu pihak dan ahli hadis di pihak lain. Hal ini juga diperparah oleh Josep Schact, orientalis Yahudi yang memberikan gambaran yang sangat buruk tentang eksistensi ahli fikih dan ahli hadis pada masa lampau. Menurutnya, ahli fikih dan ahli hadis merupakan dua kubu yang bersebrangan. Bahkan masing-masing dari keduanya dikatakan membuat hadis palsu untuk memberkuat eksistensinya. (Ali Mustafa Yaqub, Peran Ilmu Hadis dalam Pembinaan Hukum Islam, [Tanggerang Selatan: Maktabah Darus Sunnah], halaman 1).

Ilmu Hadis dan Ilmu Fikih di Masa Nabi Saw.

Sebagai produk ijtihad, fikih sudah ada sejak zaman Nabi Saw. Begitu juga dengan ilmu hadis yang inti kajiannya meneliti otentisitas hadis juga sudah ada pada masa Nabi Saw. Salah satu bentuk ijtihad pada masa Nabi Saw. terjadi pada peristiwa salat Ashar di Bani Quraizah. Dalam riwayat al-Bukhari dari Abdullah bin Umar Rasulullah berkata kepada para sahabat, “Jangan ada yang salat Ashar kecuali di Bani Quraizah”. Sebagian sahabat ada yang melaksanakan salat Ashar di perjalanan karena waktu sudah hampir habis. Sementara  sahabat yang lain menunaikan salat Ashar di Bani Quraizah meski waktu sudah habis. Ketika Rasulullah Saw. mengetahui tentang perbedaan di antara para sahabat, Rasulullah tidak menyalahkan salah satu pun dari mereka. 

Dalam ilmu hadis, salah satu bentuk penjagaan terhadap otentisitas hadis di masa Nabi Saw. adalah apa yang Umar bin khatab ra. lakukan. Ketika Umar mendapat kabar yang tidak enak bahwa Nabi Saw. menceraikan istri-istrinya. Ia kemudian khawatir akan putrinya Hafshah, sebagai yang menyandang status istri Nabi. Lalu Umar menghadap Nabi Saw. untuk mengkonfirmasi berita tersebut. Umar bertanya, “Apakah anda telah menceraikan istri-istri anda?”. Sambil menegakan kepala Nabi Saw. memandang Umar, kemudian menjawab, “Tidak”.

Kedua peristiwa di atas menunjukan adanya eksistensi ilmu fikih dan ilmu hadis di masa Nabi Saw. Begitu juga terkait pemahaman tekstual dan kontekstual para sahabat pada peristiwa shalat di Bani Quraizah. Pada dasarnya kedua ilmu tersebut tidak bisa dipisahkan keberadaannya dan saling melengkapi satu sama lain. Produk ijtihad merupakan pemahaman mendalam terhadap teks-teks wahyu. Ilmu hadis mengambil peran untuk menguji otentisitas hadis yang dijadikan sebagai objek ijtihad.

Relasi Ahli Fikih dan Ahli Hadis

Mencuatnya isu dikotomi ahli hadis dan ahli fikih, Kiai Ali Mustafa Yaqub menolak tudingan tersebut. Ia mengatakan bahwa ahli hadis adalah orang yang mendalami bidang hukum Islam secara menyeluruh, sehingga sikap fundamentalis dan tekstualis tidak terkait cara pandang ahli hadis dalam menggambarkan budaya lokal. (Fatihunnada, Rasionalisasi Pemahaman Hadis, [Bantul: Karya Bakti Makmur], halaman 1).

Imam al-Bukhari yang kondang sebagai ahli hadis, menulis sekurang-kurangnya tiga buah kitab yang berkaitan dengan fikih. Bahkan penyusunan Shahih al-Bukhari dapat kita dapati nuansa fikih yang beliau cantumkan di setiap judul bab kitab. Judul-judul bab yang ia sebutkan merupakan penyimpulan hukum dari hadis-hadis yang beliau tulis. Oleh karena itu, selain pakar dalam bidang hadis beliau pakar juga dalam bidang fikih. Kontribusi besarnya dalam bidang hadis membuat beliau lebih terkenal sebagai ahli hadis.

Begitu juga dengan kemunculan kitab-kitab yang disebut Muwatha, Sunan dan Mushannaf, menunjukan bahwa penulisnya adalah seorang fakar fikih. Kitab-kitab ini disusun berdasarkan  klasifikasi bab-bab fikih. Di samping itu banyak ulama yang masyhur sebagai ahli hadis, namun ternyata mereka juga ahli fikih. Seperti al-Khatib al-Baghdadi (w.463 H), Ibn Hajar al-Asqalani (w.852 H), Ibn al-Shalah (w.643 H) Jalaluddin al-Suyuthi (w.911 H), al-Syaukani (w.1250 H), dan lain-lain. (Ali Mustafa Yaqub, Peran Ilmu Hadis dalam Pembinaan Hukum Islam, [Tanggerang Selatan: Maktabah Darus Sunnah], halaman 9).

Imam Empat Madzhab Ahli Fikih Sekaligus Ahli Hadis

Tidak dapat kita pungkiri bahwa kehadiran Imam madzahibul arba’ah (imam empat madzhab) dalam pemikirannya di bidang fikih, mereka juga kondang sebagai ahli hadis. Sebut saja Imam Malik (w.179 H) di samping popularitasnya sebagai pendiri Madzhab Maliki, ia juga merupakan orang pertama yang menulis kitab al-Muwatha dalam bidang hadis. Bahkan, kitab ini dikatakan sebagai kitab hadis paling shahih sebelum munculnya Shahih Bukhari dan Muslim. Begitu juga Imam al-Syafi’i (w.204 H), di samping karyanya al-Umm dalam bidang fikih, beliau juga mempunyai Musnad al-Syafi’i yang memuat kumpulan hadis-hadis yang merupakan riwayat Imam al-Syafii.

Imam Ahmad Ibn Hanbal (w.241 H) menulis  karya monumental dalam bidang hadis yang orang-orang kenal dengan nama Musnad Ahmad. Kitab ini memuat puluhan ribu hadis yang menunjukan betapa luasnya pembendaharaan hadis Imam ahmad, sang pendiri Madzhab Hanbali.

Imam Abu Hanifah Bukan Ahli Hadis ?

Di antara empat imam madzhab fikih yang paling nyaris tidak pernah mendapat sebutan ahli hadis adalah Imam Abu Hanifah (w.150 H). Ia dipandang hanya sebagai ahli fikih dan tokoh Madrasah al-ra’yi (Aliran Rasional). Padahal Imam Abu Hanifah dengan popularitasnya sebagai Ahlu al-Ra’yi ternyata ia juga seorang ahli hadis. Menurut Imam Yahya bin Ma’in (w.233 H) Abu Hanifah adalah seorang tsiqah (dapat diandalkan periwatannya). Imam Abu Hanifah tidak mau meriwayatkan hadis kecuali yang ia hafal saja. Banyak tokoh-tokoh besar yang menulis hadis darinya. Seperti Abdullah bin al-Mubarak, Abu Yusuf, dan Muhammad bin Hasan al-Syaibani.

Kesimpulan

Dikotomi ahli hadis dan ahli fikih telah memberikan kesan ketidakselarasan dalam pemikiran keduanya. Ahli hadis mendapat anggapan sebagai kelompok tekstualis dalam memahami teks-teks wahyu, tanpa memperhatikan aspek rasionalitas. Padahal begitu banyak ahli-ahli hadis yang sekaligus menjadi ahli fikih dan memahami hadis-hadis Nabi secara rasional-kontekstual. Begitu juga betapa banyak ahli-ahli fikih yang menjadi pelopor lahirnya kitab-kitab hadis dan ilmu hadis, terutama imam empat madzhab. Dalam ha ini, Kiai Ali Mustafa Yaqub menolak tudingan tersebut dengan menyatakan bahwa ahli hadis adalah orang yang memahami hukum Islam secara menyeluruh. Maka tuduhan tersebut tidaklah proporsional dan perlu diluruskan.

Ari Mulyadi (Mahasantri Darus Sunnah Jakarta)

Similar Posts