Pendekatan Filsafat dalam Kajian Puasa
Majalahnabawi.com – Seperti biasa, saya perlu memperjelas apa yang akan dibahas. Pendekatan itu apa? Filsafat itu apa? Apa itu pendekatan filsafat? Bagaimana pendekatan filsafat dalam kajian Islam? Lebih khusus, bagaimana penjelasan Puasa menggunakan pendekatan filsafat? Kita coba mencari jawaban satu persatu. Jawaban mendasar datang dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Dalam KBBI, terdapat kata gabungan “pendekatan ilmiah” yang diartikan “penggunaan teori suatu bidang ilmu untuk mendekati suatu masalah.” Dalam konteks pembahasan kita, ini artinya penggunaan teori filsafat untuk mendekati masalah Puasa. Itulah arti “pendekatan” yang kita dapat dalam pembahasan ini.
Selanjutnya, apa itu filsafat? Sudah umum diketahui bahwa filsafat adalah kata yang berasal dari Yunani Kuno dengan arti cinta kebijaksanaan dan dalam bahasa Arab disebut ḥikmah sebagaimana judul kitab Ibn Rusyd, Faṣl al-Maqāl fī mā bain al-Ḥikmah wa al-Syarī‘ah min al-Ittiṣāl yang menerangkan bahwa filsafat dan syariat tidaklah bertentangan, justru saling berhubungan. Filsafat dalam judul tersebut menggunakan kata ḥikmah. Artinya, ketika membahas Puasa menggunakan pendekatan filsafat maka membahas hikmah-hikmah atau kebijaksanaan-kebijaksanaan tentang Puasa.
Penjelasan tentang Pendekatan Filsafat
Buku yang cukup komprehensif membahas aneka pendekatan studi agama adalah buku editan Peter Connoly yang berjudul Approaches to the Study of Religion. Buku ini sudah memiliki terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia dengan judul Aneka Pendekatan Studi Agama. Di antara isi buku tersebut terdapat judul “Pendekatan Filosofis” oleh Rob Fisher.
Dalam kajian Fisher (2016: 149-190), ada lima hubungan antara filsafat dan agama:
- Filsafat sebagai agama (causa prima Aristoles)
- Filsafat sebagai pelayan agama (Teologi / Ilmu Kalam)
- Filsafat memberi ruang bagi keimanan (Filsafat dengan akal, dan Iman dengan hati)
- Filsafat sebagai perangkat analitis bagi agama (Tafsir Filosofis)
- Filsafat sebagai studi tentang penalaran yang digunakan dalam pemikiran (Usul Fikih)
Kemudian, bagi Fisher (2016: 149-190) juga, ada empat cabang pendekatan filosofis:
- Logika (Usul Fikih dan Ilmu Kalam)
- Metafisika (Ilmu Kalam/Tasawuf)
- Epistemologi (Pemahaman terhadap Al-Qur’an)
- Etika (Akhlak)
Adapun wilayah pendekatan filosofis dalam studi agama bagi Fisher (2016: 149-190) ada tiga:
- Studi bahasa keagamaan dan dapat disebut dengan pemahaman agama “kultural linguistik” (Tafsir/Syarah)
- Persoalan kejahatan dan terfokus pada teodici dalam kaitan dengan penderitaan (Asmaul Husna)
- Persoalan perbuatan Tuhan di dunia (Qadariah/Jabariah)
Untuk pemahaman kultural terhadap bahasa, menurut Fisher (2016: 149-190) menunjukkan pada tiga hal:
- Menunjukkan kepada orang yang menggunakan bahasa (Penyampai Pesan / Nabi dan Tuhan)
- Menunjukkan konteks di mana masyarakat hidup (Masyarakat Arab dan Dunia)
- Moralitas adalah produk dan hasil dari identitas fisik dan konteks kultural seseorang (Nabi dan Lingkungannya)
Sebagai konsekuensi dari pemahaman kultural terhadap bahasa tersebut, Fisher (2016: 149-190) menulis, “Maka, berbagai pendekatan dalam studi agama harus mencakup studi tentang konteks di mana agama itu muncul (Makkah-Madinah/Arab abad VII), watak dan perannya dalam masyarakat beriman saat ini (Kontekstualisasi).” Dalam tanda kurung adalah tambahan dari saya.
Sehingga, tujuan pendekatan filsafat, termasuk dalam studi agama, sebagai kesimpulan dari Fisher (2016: 149-190) adalah Memberikan perangkat-perangkat berpikir tentang sesuatu (Memahami) dan Berbincang-bincang dengan orang lain (Menjelaskan).
Filsafat Puasa dan Puasa di dalam Al-Qur’an
Maka, dalam konteks Puasa, pendekatan filsafat artinya filsafat adalah perangkat analitis menggunakan cabang logika, epistemologi dan etika dalam wilayah studi bahasa keagamaan untuk memahami dan menjelaskan pesan-pesan wahyu tentang Puasa dengan mengingat keagungan Tuhan dan kemuliaan akhlak Nabi Muhammad saw serta mempertimbangkan konteks masyarakat Arab terutama Makkah dan Madinah serta Dunia pada abad ke VII. Sehingga, pesan-pesan Puasa bisa terkontekstualisasikan dengan baik pada masa ini.
Namun di kesimpulan tentatif, Fisher (2016: 149-190) menulis, “Suatu pendekatan filosofis terhadap agama tidak perlu teranggap beda. Ini adalah eksperimentasi. Maka cobalah dengan iseng-iseng, mainkan, uji, dan jangan takut. Dan yang terpenting, nikmatilah!” Maka, mari kita coba pendekatan filsafat untuk mengkaji puasa di dalam Al-Qur’an.
Kata puasa, dengan berbagai bentuknya, terdapat 19 kali dalam Al-Qur’an. Sebagai kata sifat pelaku (isim fail) 2 kali, kata dasar (masdar) dalam bentuk ṣaum 1 kali, masdar dalam bentuk ṣiyām 9 kali, dan kata kerja dalam waktu sekarang dan yang akan datang atau perintah (fiil mudari’) 2 kali. Lebih jelasnya perhatikan tabel berikut.
فعل مضارع (2) | صيام (9) | صوم (1) | اسم فاعل (2) |
وأن تصوموا خير لكم (2: 184) فمن شهد منكم الشهر فليصمه (2: 185) | الصيام/صيام (2: 183، 187، 196، 196؛ 4: 92؛ 5: 89، 95؛ 58: 4) | إني نذرت للرحمن صوما فلن أكلم اليوم إنسيا (19: 26) | الصائمين (33: 35) الصائمات (33: 35) |
Puasa (ṣaum) asal mulanya bermakna menahan (al-imsāk) dari perbuatan apapun, baik makan, berbicara (19: 26), atau berjalan (al-Aṣfahānī, 502), termasuk menahan nafsu (33: 35). Adapun dalam konteks Puasa dan puasa pertobatan (kaffārah), puasa (ṣiyām) artinya tidak makan dan minum serta tidak berhubungan suami istri sejak terbit fajar sampai malam (matahari terbenam) (2: 182-188).
Puasa Ramadan dalam Al-Qur’an
Kewajiban puasa di bulan Ramadan (kutiba ‘alaikumu-ṣ-ṣiyām) terdefinisi sebagai tidak makan dan minum serta tidak berhubungan suami istri sejak terbit fajar (mina-l-fajr) sampai malam (ila-l-lail yaitu matahari terbenam). Puasa ini terlakukan dengan mudah saja (yurīdullāhu bikumu-l-yusr). Misalnya, jika dalam perjalanan atau sakit, puasa bisa diganti di hari yang lain (fa ‘iddatun min ayyāmin ukhar). Bahkan jika tidak mampu sama sekali, puasa bisa diganti dengan memberi makan orang miskin sesuai hari ketika tidak berpuasa (fidyatun ṭa‘āmu miskīn). (2: 182-188)
Namun, untuk mendapatkan esensinya, puasa jangan sekadar sebagai bentuk ritual. Karena, kesalehan sejati bukan tercapai dengan mendekati permasalahan iman melalui “pintu belakang” (laisa-l-birra an ta’tu-l-buyūta min ẓuhūrihā) atau sekadar ritual saja, meskipun tetap saja ritual ini sangat perlu. Tetapi, kesalehan sejati tercapai dengan kesadaran akan Allah (takwa) (wa lākinna-l-birra man-ittaqā), yaitu ritual yang melalui “pintu depan” spiritualnya (wa-’tu-l-buyūta min abwābihā). (2: 189)
Oleh karena itu, pada ayat pertama, Puasa Ramadan ini sangat perlu untuk mendorong pelakunya pada kesadaran akan Allah (takwa) dalam menjalani kehidupan (la‘allakum tattaqūn). Dengan begitu, ibadah puasa bisa benar-benar mencapai tujuannya, yaitu:
- Memperingati permulaan turunnya (pesan kebenaran, keadilan, kebijaksanaan dan rahmat) Al-Qur’an yang terjadi pada bulan Ramadan sekitar tiga belas tahun sebelum Nabi saw hijrah ke Madinah;
- Memberikan latihan pengendalian diri yang ketat; dan
- Membuat setiap orang menyadari, melalui pengalamannya sendiri, bagaimana rasanya lapar dan haus, dan dengan demikian, benar-benar memahami kebutuhan orang miskin. (Muhammad Asad, 2017. 2: 182-189)