Pengaruh Pesantren Terhadap Moral Generasi Muda di Era Globalisasi

Majalahnabawicom – Pesantren merupakan lembaga pendidikan klasik yang telah lama ada di Indonesia. Pengaruh pesantren terhadap dinamika bangsa Indonesia cukup besar. Pesantren telah meluas semenjak dahulu bahkan sebelum Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Bukti literatur telah banyak sekali menyatakan hal tersebut. Hal ini tak lepas dari misi pesantren sebagai ladang dakwah Islam. Keberadaan pesantren merupakan produk sejarah dari para wali di tanah Jawa, yang secara literatur akademis dapat terlacak. Walaupun begitu, nyatanya masih terdapat keberagaman pendapat dari para ahli terkait siapa awal mula yang membuat atau pun menyusun sistem pendidikan pesantren ini. Akan tetapi bagaimana pun juga, pesantren telah menjadi indikasi bahwa dakwah Islam telah berhasil sebagai ladang pendidikan, bahkan pesantren menjadi bagian yang amat penting di dalam proses tersebut.

Dalam era globalisasi sekarang ini pesantren berperan sangat penting dalam membentuk karakter seseorang. Pendidikan karakter di Indonesia diharapkan dapat memberikan solusi terbaik untuk kemajuan pendidikan yang lebih diwarnai dengan nilai-nilai agama. Sebuah karakter yang baik dapat terbentuk apabila seseorang melakukan atau menjalani suatu kegiatan positif di dalam lingkungannya. Yakni kegiatan pembelajaran yang dapat meningkatkan kecerdasan spiritual seseorang. Belajar yang dapat menimbulkan perubahan adalah ketika seseorang selalu mengulang-ulang dalam belajar dan istikamah, maka akan menghasilkan pemahaman dan menemukan wawasan baru. Seperti halnya belajar kitab, Al-Quran, salat jamaah, dan kegiatan-kegiatan positif lainnya.

Peran Pesantren dalam Pendidikan Karakter di Era Globalisasi

Pesantren dalam fokus sebagai lembaga pendidikan merupakan tempat bagi para penuntut ilmu agama untuk mengembangkan diri. Sebagaimana akar kata pesantren yakni “santri” yang merupakan bentukan dari kata “pe-santri-an”. Lalu untuk memudahkan penyebutan menjadi kata pesantren, merupakan kata tempat bagi para santri untuk tinggal dan belajar. Santri sendiri merupakan asimilasi kata yang berasal dari Bahasa Sansekerta yakni kata “shastri” yang berarti ahli kitab suci Agama Hindu. Secara etimologi kemudian kata santri bermakna sebagai orang yang ahli dalam kitab suci Agama Islam. Perubahan makna menyempit kemudian terjadi pada kata santri yang berarti orang yang belajar tentang ilmu Agama Islam. Jadi, pesantren merupakan institusi para pelajar agama Islam. Pun bisa juga berarti seseorang yang mendalami ilmu-ilmu keagamaan berbasis kitab klasik (kitab kuning) atau lebih universalnya kitab keagamaan yang biasanya berbahasa Arab.

Mencari ilmu di era globalisasi seperti ini, di mana umat Islam berada dalam pusaran arus globalisasi yang dari waktu ke waktu terus mendesakkan kompleksitas tantangan modernitas dan permasalahan yang semakin berat dan rumit. Maka dalam menuntut ilmu lebih utamanya memilih lembaga pendidikan yang dapat membentuk karakter atau akhlak yang baik di antaranya Pesantren. Karena pesantren adalah hasil produk dari sejarah yang telah berbanding dengan zamannya masing-masing yang memiliki karakteristik berlainan baik menyangkut sosio-politik, sosio-kultural, sosio-ekonomi maupun sosio-religius. Di antara pesantren dan masyarakat sekitar, khususnya masyarakat desa, telah terjalin interaksi yang harmonis, bahkan keterlibatan mereka cukup besar dalam mendirikan pesantren. Sebaliknya kontribusi yang relatif besar acapkali pesantren berikan untuk membangun masyarakat desa.

Pesantren Sebagai Wadah Akhlak dan Ilmu

Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa pendidikan di pesantren memiliki peran penting dalam pembentukan karakter di era globalisasi. Karena sesungguhnya sebuah ilmu tidaklah akan berhasil tanpa adanya akhlak. Akan tetapi, akhlak sendiri tidak akan bisa muncul jikalau kita tidak menuntut ilmu. Maka sangatlah perlu mencari ilmu atau menuntut ilmu yang mengajarkan atau memprioritaskan akhlaknya, yakni pesantren. Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang telah banyak memberikan saham dalam pembentukan karakter manusia di Indonesia. Pesantren sudah banyak melahirkan pemimpin bangsa pada masa lalu, kini, dan sepertinya juga pada masa yang akan datang. Semua itu tidaklah terlepas dari peranan seorang guru atau kiai dalam menghasilkan santri yang berakhlak mulia.

Pendidikan karakter merupakan hasil dari usaha menanamkan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, dan perbuatan yang berdasarkan pada norma-norma agama, hukum, tata karma, budaya, dan adat istiadat. Dari penjabaran tentang pendidikan karakter tersebut yang senada dengan pandangan pendidikan Islam, dimana inti dari hakikat nilai-nilai Islam sendiri ialah nilai yang yang dapat membawa kemaslahatan dan kesejahteraan bagi seluruh makhluk, demokratis, egalitarian, dan humanis.

Nilai-nilai Pembentuk Karakter

Nilai yang mendasari perilaku kehidupan santri terbagi menjadi dua, yaitu esensial dan instrumental serta implementasinya dengan disiplin. Esensial adalah nilai yang dikontruk oleh perintis pesantren dan menjadi bagian dari kepribadian yang tidak terpisahkan antara dirinya dan pesantren. Nilai tersebut terbagi dalam dua bentuk, yaitu Pancajiwa dan Motto. Hakikat pondok pesantren terletak pada isi atau jiwanya, bukan pada kulitnya. Dalam isi itulah terdapat jasa pondok pesantren bagi umat. Kehidupan dalam pondok pesantren terjiwai oleh suasana-suasana yang ada dalam Pancajiwa sebagai berikut:

(a) keikhlasan;

(b) kesederhanaan;

(c) jiwa berdikari;

(d) ukhuwwah diniyyah; dan

(e) jiwa bebas.

Penjelasan dari masing-masing jiwa tersebut adalah sebagai berikut:

Keikhlasan

Pangkal dari segala jiwa pondok adalah melakukan semuanya dengan niat semata-mata ibadah, lillah, ikhlas hanya karena Allah semata. Di pondok tercipta suasana di mana semua tindakan berdasarkan pada keikhlasan. Ikhlas dalam bergaul, menasihati, memimpin dan dipimpin. Ikhlas mendidik dan dididik, serta ikhlas berdisiplin. Hal ini juga tampak pada suasana keikhlasan antara sesama santri, antara santri dengan guru, antara santri dengan kiai, antara guru dengan guru. Pendidikan keikhlasan tampak melalui keteladanan para pendiri pondok dengan mewakafkan pondok seluruhnya, kecuali rumah pribadi kiai.

Kesederhanaan

Kehidupan di pondok penuh dengan suasana kesederhanaan. Sederhana tidak berarti pasif atau nrimo, tidak juga berarti miskin dan melarat. Justru dalam jiwa kesederhanaan itu terdapat nilai-nilai kekuatan, kesanggupan, ketabahan, dan penguasaan diri dalam menghadapi perjuangan hidup. Pendidikan kesederhanaan antara lain: kesederhanaan dalam berpakaian, potongan rambut, makan, tidur, berbicara, bersikap, dan bahkan dalam berpikir. Pola hidup sederhana ini menjadikan suasana hidup di Gontor contohnya, tergolong egaliter, tidak ada perilaku menonjolkan materi yang ditunjukkan oleh santi. Hal ini membuat santri yang kurang mampu tidak minder dan santri yang kaya tidak sombong. Ukuran kesederhanaan di Gontor diatur dalam kerangka manajemennya, yakni menggunakan sesuatu yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan dengan pertimbangan efesiensi dan efektivitas. Misalnya, pembangunan gedung-gedung yang bertingkat di Gontor bukan untuk tujuan unjuk gigi, melainkan memang sudah saatnya dibangun, yakni sesuai dengan kebutuhan pendidikan dan pengajarannya.

Jiwa Berdikari

Berdikari atau kesanggupan menolong diri sendiri merupakan senjata ampuh yang dibekalkan pesantren kepada para santrinya. Berdikari tidak saja berarti bahwa santri sanggup belajar dan berlatih mengurus segala kepentingannya sendiri, tetapi pondok pesantren itu sendiri sebagai lembaga pendidikan juga harus sanggup berdikari sehingga tidak pernah menyandarkan kehidupannya kepada bantuan atau belas kasihan pihak lain.

Jiwa Ukhuwwah Diniyyah

Jiwa persaudaraan ini menjadi dasar interaksi antara santri, kiai, dan guru dalam sistem kehidupan pesantren. Dari sinilah tumbuh kerelaan untuk saling berbagi dalam suka dan duka, hingga kesenangan dan kesedihan senantiasa dalam kebersamaan. Santri terbiasa dalam kebersamaan dan tolongmenolong seperti mengurusi organisasi, bermain bersama klub olah raga, menjadi piket malam bersama, menjadi anggota kelompok latihan pidato bersama, latihan pramuka bersama, atau main drama bersama dan lainnya.

Jiwa ukhuwwah ini tampak pada pergaulan sehari-hari santri yang ditanamkan adanya saling hormat dan saling menghargai antara santri senior dan santri yunior. Interaksi antar-santri dalam berbagai kegiatan selama menyelesaikan studinya di pondok tidak lain merupakan latihan hidup di masyarakat. Kehidupan di pondok pesantren tampak dengan adanya suasana persaudaraan yang akrab sehingga segala suka dan duka bersama dalam jalinan ukhuwwah diniyah. Ukhuwwah ini bukan saja selama mereka di pondok, tetapi juga memengaruhi ke arah persatuan umat setelah terjun di masyarakat.

Jiwa Bebas

Bebas dalam berpikir dan berbuat, bebas dalam menentukan masa depan, bebas dalam memilih jalan hidup, dan bahkan bebas dari berbagai pengaruh negatif dari masyarakat luar. Jiwa bebas tertanam kepada para santri agar menjadikan santri berjiwa besar dan optimis dalam menghadapi segala kesulitan. Karena itu, kebebasan berarti bebas dalam garis-garis yang positif, dengan penuh tanggung jawab; baik dalam kehidupan pondok pesantren itu sendiri, maupun dalam kehidupan masyarakat. Sebagaimana dawuh Kiai Abdullah Syukri, “Kebebasan bukan berarti bebas tanpa aturan, karena dalam kehidupan apa pun tidak ada yang tanpa aturan.”

Era globalisasi menimbulkan kecemasan terhadap ancaman lunturnya nilai-nilai religi. Pendidikan karakter di sini sangatlah penting karena dapat memberikan pengaruh yang besar terhadap karakter anak bangsa. Kondisi globalisasi juga selalu menghadirkan perubahan-perubahan secara cepat dan sulit bagi masyarakat awam yang belum mengerti. Oleh sebab itu, pesantren telah mampu memberikan peranannya sebagai lembaga pendidikan Islam yang lebih mengedepankan akhlakul karimah. Sehingga masalah-masalah yang terjadi di era globalisasi tidak menjadi beban lagi dalam memperbaiki kekurangan-kekurangan yang terjadi selama ini. Pesantren memiliki peran dan prospek yang sangatlah cerah. Karena mengingat pendidikan karakter dalam pendidikan nasional yang akan selalu menjadi pilar utama dalam pendidikan nasional. Sehingga pesantren dapat mengambil peran sebagai lembaga pendidikan Agama Islam yang lebih mengedepankan akhlakul karimah.

Similar Posts