Pengharaman Merokok dalam Manuskrip Kitab Syurb al-Dukhan
Majalah Nabawi – Sebagaimana yang kita ketahui, merokok sudah menjadi kebiasaan yang melekat bagi sebagian orang. Rokok terbuat dari daun tembakau yang dikeringkan lalu dicacah yang kemudian dicetak atau dilinting menggunakan kertas khusus yang disebut dengan papir.
Dalam rokok juga terkandung Tar dan juga Nikotin. Tar adalah partikel kimia yang dihasilkan dari rokok yang dibakar. Zat ini membentuk residu coklat atau kuning yang lengket. Sementara Nikotin merupakan zat yang menyebabkan adiksi (ketagihan) dengan toleransi tinggi, yaitu semakin lama orang mengonsumsi maka semakin bertambah.
Profil Manuskrip
Kajian tentang hadis merupakan sesuatu yang tidak ada bosan-bosannya. Hal tersebut menarik banyak perhatian, baik dari kalangan muslim sendiri, maupun dari kalangan orientalis barat.
Penulis menemukan suatu manuskrip yang berbicara tentang masalah rokok yang menghadirkan hadis Nabi ﷺ sebagai salah satu argumennya. Manuskrip tersebut berjudul Syurb al-Dukhan karya Shahib Abdullah. Atau yang lebih populer dengan Syaikhuna Pesing. Manuskrip ini ditemukan di daerah Kuningan, Jawa Barat, dari koleksi pribadi Uuy Fathurahman.
Manuskrip ini disalin pada tanggal 18 Dzulhijjah tahun 1800-1900. Kertas yang digunakan manuskrip tersebut adalah kertas Eropa yang berjumlah 250 halaman, dengan dimensi sampul naskah 30,5 x 20 cm, dimensi kertas manuskrip 30 x 19 cm, dan dimensi blok teks 20 x 14 cm.
Naskah ini kondisinya sudah tidak lengkap, karena terhitung ada 26 halaman yang hilang dan nomor halamannya juga tidak tercantum.Teks manuskrip ini menjelaskan tentang status hukum merokok dalam Islam.
Hadis yang Menjadi Landasan
Dalam manuskrip kitab Syurb al-Dukhan, mushanif (pengarang/penulis) kitab ini berada di kubu ulama yang mengharamkan merokok. Dalam pandangannya merokok merupakan perbuatan yang haram. Merokok memberikan efek negatif bagi seseorang, yakni hati seseorang menjadi keras dan melalaikan dzikir (mengingat) kepada Allah.
Tidak cukup sampai di situ, ia juga mengutip pendapat Syekh Syihab al-Din al-Qalyubi, yang juga sama-sama mengharamkan merokok. Al-Qalyubi mengatakan: merokok dapat menyebabkan seseorang lalim, hatinya menjadi gelap, dan menghilangkan gairah ketika berhubungan suami-istri.
Untuk memperkuat argumentasinya mushanif merujuk kepada hadis-hadis Nabi ﷺ sebagai landasan. Ia menyebutkan sebuah hadis yang menyebutkan larangan menggunakan, memakai, atau mengonsumsi sesuatu yang beraroma tidak sedap, dan anjuran untuk menggunakan dan atau memakai sesuatu yang baik dan mengeluarkan aroma yang sedap (wangi).
Sebetulnya, mushanif tidak menyebutkan secara eksplisit bunyi hadis yang ia maksud. Akan tetapi, penulis mencoba mencari-cari di kitab-kitab hadis mengenai hadis yang bersangkutan. Barangkali hadis yang mushanif maksudkan adalah seperti di bawah ini:
مَنْ أَكَلَ الثُّومَ أَوِ الْبَصَلَ، مِنَ الجُوعِ أَو غَيرِهِ، فَلَا يَقرَبَنَّ مَسْجِدَنَا
“Barangsiapa yang memakan bawang putih atau merah, baik karena lapar atau bukan, maka janganlah mendekati masjid kita”. (HR. al-Bukhari).
Hadis ini berada di kitab sahih al-Bukhari, oleh karenanya tidak perlu ragu lagi akan kesahihannya.
Lalu sebagaimana yang kita ketahui bahwa bawang itu termasuk sesuatu yang dapat membuat tubuh atau mulut kita menjadi bau. Oleh karena itu Nabi ﷺ melarang para sahabat pada waktu itu untuk mengonsumsi bawang, baik itu bawang putih maupun bawang merah, jika hendak pergi ke masjid.
Alasan Nabi ﷺ sebenarnya cukup logis. Yakni jika seseorang pergi ke masjid setelah memakan makanan yang mengeluarkan bau tidak sedap, pasti akan mengganggu kenyamanan orang-orang yang berada di dalam masjid. Sehingga orang-orang menjadi tidak fokus ketika taqarrub kepada Allah Swt karena mencium aroma yang tidak sedap. Oleh sebab itu Nabi ﷺ melarangnya.
Islam sangat menganjurkan umatnya untuk senantiasa hidup sehat, menjaga kebersihan, baik badan maupun lingkungan, serta kalau perlu senantiasa memakai wangi-wangian. Begitupun juga dengan kebersihan mulut, orang muslim harus senantiasa menjaganya dengan cara rajin-rajin sikat gigi. Di masa Nabi ﷺ tidak secanggih di masa sekarang. Alat untuk membersihkan gigi pada masa Nabi ﷺ dan Sahabat masih menggunakan kayu ‘araq untuk bersiwak. Dan bersiwak itu merupakan anjuran dalam Islam. Sebagaimana sabda Nabi ﷺ:
ِّعن عائشة قالت: قال رسول الله – صلى الله عليه وسلم -: “السِوَاكُ مُطَهِّرَةٌ لِلْفَمِّ، مَرْضَاةٌ لِلرَّب”
“Dari Aisyah berkata: Rasulallah ﷺ bersabda: “siwak adalah pembersih mulut, dan diridhai Allah”. (HR. Ahmad).
Hadis ini statusnya sahih, meskipun sahihnya adalah shahih lighairihi. Tapi yang pasti hadis ini tetap bisa kita jadikan sebagai hujjah.
Di sini terlihat sangat jelas bahwa bersiwak merupakan anjuran. Bahkan di kesempatan yang lain Nabi ﷺ sampai mengatakan “Seandainya tidak memberatkan umatku, sungguh aku akan memerintahkan mereka untuk bersiwak setiap hendak melaksanakan shalat” (HR. al-Bukhari). Alasannya adalah karena dengan bersiwak bukan hanya bisa membersihkan mulut, akan tetapi juga membuat Allah Swt ridha.
Hal ini berarti bertentangan dengan seorang perokok. Karena dengan merokok, mulut seseorang menjadi bau dan membuat gigi menjadi kuning. Di sisi lain merokok juga terkadang menimbulkan efek yang negatif bagi tubuh, seperti menyebabkan kanker, gangguan jantung, gangguan kehamilan dll.
Hal inilah barangkali yang ingin mushanif angkat dalam kitabnya terkait keharaman merokok itu sendiri, dengan alasan-alasan yang sudah penulis sebutkan di atas beserta dalil-dalil syariat berupa hadis Nabi ﷺ sebagai penguat
Sebetulnya masih banyak lagi hadis Nabi ﷺ yang ia cantumkan dalam kitabnya. Hadis-hadis tersebut menjadi basis penguat bahwa merokok itu merupakan suatu perbuatan yang tidak sesuai dengan syariat dan termasuk kedalam bid’ah yang mudhirah, oleh karena itu mushanif mengharamkannya dalam kitabnya. Akan tetapi, karena tulisan ini sifatnya terbatas, jadi hanya hadis itu saja yang penulis hadirkan di sini.
Kritik Analisis Penulis
Sebagaimana yang penulis sebutkan bahwa mushanif menggunakan hadis sebagai basis argumennya dalam mengharamkan merokok. Apakah hadis-hadis di atas sudah tepat untuk dijadikan dalil pengharaman atau tidak? Untuk itulah pada bagian ini penulis hendak mengomentari hal tersebut.
Sebetulnya tidak ada yang salah dengan alasan-alasan mushanif dalam pengharaman tersebut. Karena pada kenyataannya, efek dari rokok memang ada sisi negatifnya sebagaimana perkataan mushanif. Akan tetapi, hadis yang mushanif hadirkan, penulis rasa masih kurang tepat untuk melegitimasi pengharaman merokok.
Memang betul di dalam hadis tersebut ada kata nahy (larangan). Tapi apakah benar semua nahy itu konsekuensinya pada pengharaman. Hal ini tentu memerlukan pengkajian ulang.
Untuk perihal nahy sendiri sudah dikaji oleh ulama-ulama Ushul Fiqh. Tidak semua bentuk nahy itu konsekuensinya pada keharaman, karena ada juga yang jatuhnya makruh, tahdid, doa, dan lain sebagainya.
Para ulama fiqih sepakat bahwa memakan sesuatu yang kurang sedap seperti bawang yang tercantum dalam hadis di atas hanya dihukumi sebagai makruh saja, tidak sampai haram. Maka, bagi penulis sendiri kurang tepat rasanya jika hadis di atas menjadi landasan untuk pengharaman merokok.
Untuk hukum merokok sendiri sebenarnya masih dalam kategori ikhtilaf di kalangan para ulama, ada yang mengharamkan, memakruhkan, hingga ada ulama yang membolehkan. Akan tetapi, sayangnya mushanif hanya mengutip pendapat-pendapat ulama yang mengharamkan saja dalam kitabnya.
Di sini kita bisa menerawang lebih dalam bahwa mushanif ini termasuk kategori ulama yang mengharamkan rokok dan barangkali benci sekali dengan yang namanya rokok.
Hal ini wajar saja menurut penulis, jika seseorang sudah menempuh jalan para sufi. Karena bagi seorang sufi kaedah yang menjadi pegangan adalah “Tarkuhu ma la ya’nih” meninggalkan segala sesuatu yang tidak bermanfaat untuk dirinya. Wallahu a’lam bishawab.