Penjelasan Hadis Arbain Part 11

Majalahnabawi.com – Hadis ini menjelaskan bahwa seorang muslim seharusnya menjauhi keragu-raguan dan kesyubhatan.

عَنْ أَبِيْ عَلِيِّ بن أَبِي طَالِبٍ سِبْطِ رسولِ الله صلّى الله عليهِ و سلّمَ وَ رَيْحَانَتِهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قاَلَ: حَفِظْتُ مِنْ رَسُوْلِ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: (دَعْ مَا يَرِيْبُكَ ٌإلَى مَا لَا يَرِيْبُكَ) وقال التَّرمذيّ: حَدِيْثٌ حَسَنٌ صَحِيْح

Dari Abi Ali bin Abi Thalib RA. cucu Rosulullah SAW dan kebanggan beliau berkata, Aku telah menghafal dari Rosulullah akan hadis: Tinggalkan sesuatu yang membimbangkanmu kepada sesuatu yang tidak membimbangkanmu (yakin). At-Tirmidzi berkata mengenai hadits ini, Hadis ini merupakan Hadis hasan sohih.

Kalimat يَرِيْبَك (yaribaka) dengan ba’ berharokat fathah ataupun dommah يَرِيْبُك ( yaribuka ) memiliki makna شَكّ (Syak) yakni ragu. Maka ما يَرِيْبَك (ma yaribuka) bisa juga diartikan sesuatu yang meragukanmu atau sesuatu yang membuatmu ragu. Sama seperti menggunakan lafadz ما شككت (ma syakaktuka).

Secara eksplisit hadis ini berisi perintah agar menjauhi perkara yang masih syubhat, diragukan, ada kebimbangan, dan was-was. Karena sebagai manusia pasti pernah merasakan suatu kondisi di mana dirinya bimbang dan ragu akan sesuatu. Kebimbangan yang dimaksud di sini adalah kebimbangan yang menyangkut perkara syariat, baik ibadah ataupun lainnnya. Kebimbangan bisa saja muncul dalam beberapa aspek. Bisa bimbang berupa lupa, tidak tahu, atau praduga. Implikasinya pun berbeda-beda, bisa berimplikasi akan keabsahan suatu ibadah, keabsahan suatu akad, dan juga keabsahan perkara lainnya.

Beberapa Kasus Keragu-raguan

Contoh keragu-raguan dalam ibadah seperti: orang yang melakukan shalat dzuhur dalam keadaan lupa bilangan antara rakaat tiga atau empat, maka ia harus meyakini hitungan yang lebih kecil dan menghilangkan angka yang lebih besar. Karena angka terkecil–rokaat tiga–lebih diyakini daripada rakaat empat. Maka orang ini hendaknya meyakini hanya baru melaksanakan 3 rakaat dan harus menambah lagi satu rakaat walaupun pada fakatanya bisa jadi ia telah melakukan empat rakaat.

Contoh keragu-raguan dalam akad muamalah seperti: Si A pernah melihat mobil milik si B parkir di depan rumahnya. Beberapa hari kemudian, mobil itu ada di parkiran depan rumah si C. Akhirnya, si A menganggap bahwa si C telah membeli mobil itu dari si B. Dengan angapan tersebut, si A dibolehkan membeli mobil dari si C. Akan tetapi, untuk menjaga dari keraguan lebih baik si A tidak membeli mobil tersebut sampai jelas status kepemilikan mobil memang benar-benar dimiliki si C.

Contoh lain dari keragu- raguan seperti: Ada suatu acara atau walimah yang digelar oleh orang fasik. Orang fasik ini mengundang si A untuk hadir ke acara tersebut. Maka si A boleh-boleh saja menghadiri undangan tersebut. Namun, untuk menjaga dari keraguan lebih baik si A tidak menghadirinya sampai benar-benar nyata bahwa biaya yang digunakan si fasik untuk membuat acara walimah tersebut halal.

Meninggalkan keragu-raguan

Melanjutkan penjelasan hadis di atas terdapat lafadz دَعْ (da’) yang merupakan fiil amar (kata perintah) yang bermakna  اتْرُكْ (Utruk) yaitu tinggalkanlah. Bentuk fiil amar mengindikasikan adanya tuntutan kepada mukhotob–dalam hal ini semua mukallaf– dengan level tuntutan tidak tegas. Fiil amar biasanya mengindikasikan hukum wajib jika dalalahnya (keterangan) itu menunjukkan ijab (pengwajiban), secara tegas. Di bawah dalalah yang berunsur ijab adalah nadb (penganjuran), tidak tegas. Maka hukum yang ditimbulkan dari fiil amar tersebut dihukumi sunnah.

Kembali mengurai salah satu contoh kasus di atas, yaitu tentang status kepemilikan mobil oleh si C. Sebenarnya si A boleh langsung membeli mobil dari si C karena ada suatu praduga. Akan tetapi, jika mengamalkan perintah hadis ini maka disunnahkan untuk meninggalkan sesuatu yang masih ada keragu-raguan dan memilih sesuatu yang paling diyakininya. Perkara yang paling diyakini si A disini yaitu belum mengetahui secara pasti status kepemilikan si C. Maka sunnah untuk tidak membelinya langsung namun bertanya dulu demi memastikan kebenarannya.

Selain itu, perilaku demikian disebut juga sikap wara’ atau sikap kehati-hatian. Sikap hati-hati diperlukan demi menjaga kemurnian segala sesuatu yang melekat kepada kita. Baik berupa asupan konsumsi ataupun peralatan seharusnya bersih dari perkara syubhat apalagi haram. Karena Ketika semua hal eksternal telah bersih murni, semoga internal kita juga ikut diberi kemurnian oleh Allah Swt. Amin.

Similar Posts