Penjelasan Hadis Arbain Part 32

Majalahnabawi.com — Hadis kali ini membahas tentang dloror dan dliror. Apa itu dloror dan dliror? Sebelumya, siapkan kopi biar lebih rileks. Kita akan mengkaji sabda rosul tentang apa di balik dua istilah tersebut.

عن أبي سعيد بن سِنان الخُدْرِيّ رضي ﷲ عنه, أنّ رَسول ﷲ ﷺ قال: ﴿لَا ضَرَرَ وَ لَا ضِرَارَ﴾. حديث حسن رواه ابن ماجه والدارقطني وغيرهما مسندا, ورواه مالك في الموطأ, عن عمر وابن يحي, عن أبيه, عن النبي ﷺ مرسلا, فأسقط أبا سعيد, ولها طرق يقوي بعضها بعضا

Dari Abu Sa’id, Sa’d bin Sinan al-Khudri, bahwa Rosulullah Saw bersabda: ﴾Tidak ada bahaya dan bahaya﴿. Hadits hasan, diriwayatkan oleh Ibn Majah, ad-Daraquthni dan selain mereka berdua dengan periwayatan yang musnad (bersambung ke Nabi). Diriwayatkan juga oleh Malik dalam kitab Muwattha’, dari ‘Amr dan Ibn Yahya, dari ayahnya, dari Nabi Saw, dengan periwayatan secara mursal lalu digugurkan oleh Aba Sa’id, namun dia memiliki jalur periwayatan lain yang dapat menguatkan jalur lainnya.

Dloror dan Dliror

الضَرَرُ dengan fathah di awal dan الضِرَارُ dengan kasrah, keduanya sama-sama dibaca mabni fathah akhirnya sesuai orisinalitas hadis. Dalam ilmu nahwu, لا nafi (negatif) yang membuat kalimat isim nakiroh mabni fathah mengindikasikan makna universal. Artinya, tidak ada bahaya dalam bentuk apapun. Pengamalan لا nafi biasanya membuang khabar (predikat) ketika sudah dapat dipahami maksudnya. Dalam teks di atas,لا nafi menyimpan khabar berupa في شريعتنا atau في ديننا. Pemahaman tektualnya ketika  diungkapkan yaitu “Tidak ada bahaya sama sekali dalam agama kita atau syari’at kita.”

Dua kalimat di atas sama-sama bermakna bahaya, ancaman dan semua bentuk tindak merugikan. Perlu diketahui, meski keduanya memiliki arti yang sama namun masing-masing punya indikasi berbeda. Akan tetapi, para ulama masih berselisih pendapat mengenai perbedaan indikasi. Menurut satu pendapat, kalimat لَا ضَرَرَ itu bermakna لَا يَضُرُّ اَحدٌ غَيْرَهُ (tidak boleh seseorang membahayakan orang lain). Sementara لَا ضِرَارَ, bermakna لَا يُجَازِيْهِ عَلَى إضْرَارِهِ بَلْ يَعْفُوْ عَنْهُ وَيَصْفَحُ (tidak boleh menimpakan bahaya karena telah ditimpakan bahaya oleh orang lain, tapi memaafkannya dan membiarkannya). Ada juga yang berpendapat bahwa لا ضِرَارَ maksudnya tidak membalas orang yang telah berbuat dlarar dengan balasan yang lebih kejam.

Menurut pendapat kedua, الضَرَرُ berarti berbuat merugikan kepada orang lain di samping menguntungkan diri-sendiri. Sementara الضِرَارُ berarti merugikan orang lain tanpa menguntungkan diri-sendiri. pendapat ketiga mengatakan bahwa لا ضَرَرَ merupakan larangan untuk menjauhi semua yang membahayakan diri-sendiri. Adapun الضِرَارُ adalah larangan untuk menjauhi semua yang membahayakan orang lain.

Keharaman Dloror

Dari sekian pendapat tadi, yang pasti adalah hadis ini mengharamkan segala macam varian dlarar, baik yang sedikit ataupun yang banyak. Sebab, teks hadis merupakan nakiroh dalam kalam nafi yang berarti menghendaki makna menyeluruh. Dengan demikian, hindarilah berbuat jahat dalam bentuk apapun kepada orang lain. Karena berbuat dlarar dikategorikan perbuatan dzalim. Di mana orang yang dzalim dikecam langsung oleh Allah ﴿وَقَدْ خَابَ مَنْ حَمَلَ ظَلْمًا۞ [ طٰهٰ:١١١ ]﴾ : Dan pasti hancur orang yang membawa kedzaliman. [Q.S Thaha : 111].

Di lain kesempatan, Nabi ﷺ pernah bersabda: Allah mengharamkan dari orang-orang mu’min akan darahnya, hartanya, dan kehormatannya. Dan hendaknya tidak menyangka terhadap mereka kecuali kebaikan. [Riwayat Ibnu Majah : 3932].

Setidaknya ada empat poin yang disorot dalam hadis ini. Pertama darah, kemudian harta, lalu kehormatan. Ketiganya haram untuk diganggu. Poin terakhir bersifat sangkaan. Dengan kata lain, haram berburuk sangka kepada orang mukmin.

Dari penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan, bahwa muslim sesungguhnya itu diajarkan berperilaku indah. Kita dibimbing membuang semua sikap melukai atau merugikan. Baik yang sifatnya fisik, material, ataupun emosional.  Lebih-lebih kepada sesama muslim.             

Similar Posts