Penjelasan Hadis Arbain Part 34: Menghindari Perbuatan Mungkar
Majalahnabawi.com – Sebagai muslim, kita wajib tolong-menolong, lebih-lebih dalam hal kebaikan. Salah satu bentuk kebaikan adalah menghindari perbuatan mungkar. Termasuk yang lebih utama membersihkan kemungkaran itu. Ajaran ini akan berdasarkan pada hadis berikut.
بسم الله الرحمن الرحيم عن أبي سعيد الخدريّ رضي ﷲ عنه قال, سمعت رسول ﷲ ﷺ يقول: “مَنْ رَأى مِنْكُمْ مَنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ،
فَإنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذٰلِكَ أضْعَافُ الإيْمَانِ”. (رواه مسلم)
Dari Abu Sa’id al-Khudriy Ra berkata “Kudengar Rosulullah SAW bersabda: “Barang siapa melihat kemungkaran maka rubahlah dengan tangannya. Jika tidak mampu maka dengan lidahnya. Jika tidak mampu maka dengan hatinya. Dan itu adalah paling lemahnya iman”. (Riwayat Muslim)
Pertama, Syarh Lafdziyyah
Mungkar adalah semua hal yang diingkari (dilarang) atau dicap buruk oleh syariat. Maka maksiat adalah mungkar. Seperti zina, minuman keras, menipu, dan semacam itu. Termasuk semua yang tidak dianggap maksiat namun dicap jelek. Seperti perceraian tanpa alasan dan semacam itu.
Secara tekstual, Nabi hanya menyorot من رأى (orang yang melihat). Penggunaan رأى bukan hanya “melihat” yang diperankan fungsi mata, bahkan mencakup makna yang lebih luas, yaitu bermakna عَلِمَ (mengetahui). Artinya, sabda Nabi tidak hanya berlaku untuk orang yang melihat kemungkaran. Melainkan berlaku kepada semua orang yang mengetahui adanya kemungkaran.
Kedua, Kandungan Hukum
Hadis ini mengandung kalimat amar (perintah). Yaitu pada kalimat يُغَيِّرُ (mengubah) yang kemudian dimasuki lam amar sehingga memiliki konotasi perintah menjadi فَلْيُغَيِّرْ (ubahlah). Dengan kalimat amar tersebut dapat dipahami suatu hukum. Bagi mereka yang mengetahui adanya kemungkaran maka wajib hukumnya untuk merubah kemungkaran tersebut. Dalam artian harus dihilangkan.
Jika hanya diketahui satu orang maka status hukum adalah fardu ‘ain (ditanggung satu orang). Jika diketahui oleh beberapa orang maka status hukum fardu kifayah (ditanggung berkelompok). Pada intinya, hukum wajib menuntut dilakukan. Bagaimanapun jika kewajiban ini diabaikan maka berakibat dosa, baik secara ‘ain atau kifayah.
Walaupun upaya menghilangkan kemungkaran dihukumi wajib, tapi hal itu tidak menegasikan beberapa hal. Yaitu tentang hak privasi individual. Artinya, tetap tidak diperkenankan memata-matai, mencari kesalahan, mendobrak pintu atau su’udzon kepada seseorang terlibat dalam kemungkaran. Kecuali dalam kasus di mana tindakan tersebut dapat mencegah kemungkaran yang direncanakan.
Ketiga, Tiga Level Upaya Menghilangkan Kemungkaran
Menghilangkan kemungkaran direalisasikan menggunakan tindakan. Oleh karenanya, Nabi ﷺ meletakkan ‘tangan’ sebagai tahapan utama untuk berupaya. Pengertian tangan di sini adalah semua upaya yang melibatkan kekuatan, keberanian, atau kekuasaan. Maka tahapan ini ditanggung oleh siapa saja yang mampu menghilangkan kemungkaran dengan tindakan kognitif. Pihak-pihak yang paling mungkin adalah pemilik kewenangan, ketua daerah, keamanan, atau siapa pun yang memiliki kuasa.
Jika tahapan pertama tidak mungkin dilakukan karena bukan kualifikasinya, maka cara kedua menjadi alternatif, yaitu dengan lisan. Gambarannya seperti berdakwah di panggung sosial, mengajarkan nilai-nilai baik dan buruk, saling mengingatkan dan semacam itu.
Kedua bentuk upaya tersebut sudah tentu memiliki resiko dan tantangannya masing-masing. Jika tidak mungkin merealisasikan salah satu dari keduanya maka hanya ada cara terakhir untuk dilakukan. Yakni mengingkari kemungkaran dalam hati. Di sini kita harus benar-benar tidak setuju terhadap kemungkaran serta bertekad merubahnya jika memiliki kekuatan.
Cara yang terakhir adalah fardu ‘ain bagi masing-masing individu. Berbeda dari kedua cara sebelumnya yang hanya ditanggung oleh mereka yang memiliki kemampuan. Disebutkan bahwa cara terakhir adalah paling lemahnya iman. Karena setiap orang bisa melakukannya. Berbeda dengan cara pertama dan kedua yang melibatkan tindakan nyata. Akan tetapi menurut satu pendapat, yang dimaksud dengan “paling lemahnya iman” adalah “paling sedikit dampaknya iman”. Karena hanya bermodal kebencian saja dan tidak menghilangkan kemungkaran secara real.