Penjelasan Hadits Arbain Part-14; Larangan Membunuh dan Pengecualiannya
Majalahnabawi.com – Hadis ini menjelaskan seputar haramnya (menumpahkan) darah orang Islam. Atau dalam kata lain, membunuh.
بسم الله الرحمن الرحيم
عن ابن مسعود رضي الله عنه قال, قال رسول الله صلّ الله عليه و سلّم: لَا يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إلَّا بِإحْدَى ثَلَاثٍ: الثَّيِّبِ الزَّانِيِ, وَ النَّفْسِ بِالنَّفْسِ, و التَّارِكِ لِدِيْنِهِ الْمُفَارِقِ لِلْجَمَاعَةِ. (رواه البخاري و المسلم)
Dari Ibnu Mas’ud ra. beliau berkata, Nabi Muhammad Saw. pernah bersabda: Tidak halal darahnya orang muslim kecuali sebab salah satu dari tiga: janda yang berzina, jiwa dengan jiwa, meninggalkan agama, keluar dari jamaah. (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Maksud dari tidak halalnya darah muslim adalah tidak boleh menumpahkan darah orang Islam. Lafaz pada hadis ini singkat dan padat dengan membuang kalimat إراقة yang artinya menumpahkan. Pokok bahasan inti dari menumpahkan darah di sini adalah membunuh. Pengertiannya lebih luas dari sekedar menggunakan cara melukai. Jadi, membunuh tanpa mengeluarkan darah sedikit pun juga tercakup pada pembahasan di sini. Hukum bisa dijalarkan untuk kasus pembunuhan menggunakan racun, mencekik, dan semacamnya.
Landasan Pelarangan Membunuh
Prinsip yang menjadi landasan seputar kasus pembunuhan dapat diperoleh baik dengan metode tekstual (menukil dalil syari’at) atau dengan akal (rasional/logis) tanpa landasan syar’i. Prinsip yang didapat dari dalil syar’i adalah Firman Allah,
وَلَا تَقْتُلُ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ إلَّا بِالْحَقِّ
Artinya: Dan janganlah kau bunuh jiwa yang telah diharamkan oleh Allah kecuali demi kebenaran (Al-An’am: 151).
Prinsip yang dapat ditemukan melalui akal, bahwa pembunuhan adalah bentuk perusakan fisik dan personaliti. Dalam kondisi normal (bukan konteks pembalasan/peperangan), akal sehat menolak dan tidak mungkin menerimanya. Itulah prinsip dasar bahwa pembunuhan tidak pernah dibenarkan melalui perspektif syariat maupun rasionalitas.
Pembunuhan yang Dibenarkan Syariat
Syariat membenarkan pembunuhan sebagai solusi dalam tiga pengecualian dari prinsip dasar. Pertama, had (sanksi) kepada pezina. Zina terklasifikasi menjadi dua, muhsan dan gairu–muhsan. Zina muhsan adalah zina yang dilakukan oleh perawan atau perjaka. Adapun zina gairu-muhsan adalah zina yang dilakukan setelah merasakan perkawinan. Had untuk kasus pertama adalah cambuk dan diasingkan. Untuk kasus kedua, hukuman yang pantas ditimpakan adalah rajam (dilempar batu sampai mati). Zina termasuk pelanggaran berat hukum syariat. Di dalamnya, terdapat potensi buruk yang menyalahi maqasid as-syari’yah (prinsip syari’at) berupa hifdzun-nasl (menjaga keturunan).
Kedua, had qisas. Yakni pembunuhan sebagai hukuman karena membunuh orang muslim. Had ini dapat diterapkan dengan empat syarat: pembunuh telah balig, merupakan orang sehat akal (bukan gangguan mental), bukan orang tua orang yang dibunuh, orang yang dibunuh bukan budak ataupun orang kafir–yakni kafir harbi (musuh). Di sini terdapat klasifikasi juga. Yaitu pembunuh secara sengaja, kesalahan, dan ketidaksengajaan. Had qisas hanya diperuntukkan pada kasus pembunuhan terencana atau secara sengaja.
Ketiga, had kepada murtad. Murtad itu muslim yang keluar dari agama Islam. Lafaz ‘keluar dari jamaah’ berfungsi sebagai tafsiran atau penjelas dari meninggalkan agama.
Jamaah yang dimaksud adalah umat Islam. Jadi, keluar dari jamaah yaitu membedai prinsip dan keyakinan umat Islam, bukan keluar berpisah secara fisik dan tempat. Seseorang dikatakan murtad boleh jadi karena pindah agama ataupun memilih atheis. Murtad dapat digolongkan menjadi dua macam: murtad dalam hati keyakinan dan murtad dengan perbuatan. Murtad hati adalah mengingkari asas islamiyah yang dibangun, yakni ketuhanan Allah dan kerasulan Nabi Muhammad. Sementara murtad perbuatan adalah perbuatan yang menyalahi prinsip akidah seperti menyembah berhala. Murtad perkataan tidak diterangkan dalam kita ini. Hanya saja, disebutkan apa yang termasuk perbuatan murtad. Yaitu meletakkan al-Quran di kotoran, mendustakan Rasul, mendustakan para sahabat dan keluarga Nabi Saw. Eksekusi terhadap orang murtad tidak dilakukan seketika. Ia diberi waktu untuk bertaubat langsung. Menurut Imam Malik, penangguhan waktu dibatasi tiga hari.
Pada dasarnya, Islam tidak membenarkan pembunuhan sebagai jalan keluar. Akan tetapi, dalam tiga kasus di atas di mana itu merupakan pelanggaran berat dalam Islam maka pembunuhan dibolehkan sebagai hukuman. Di samping sebagai penebusan dosa besar, pembunuhan ini untuk menunjukkan betapa besarnya pelanggaran tadi. Urutan pelanggaran terbesar adalah murtad. Karena murtad merupakan bentuk pengkhianatan dan pelecehan agama. Diiringi setelahnya pelanggaran membunuh yang mengantarkan pelakunya wajib di-qisas. Kemudian pelanggaran zina di mana pelakunya akan di-had sesuai ketentuan yang telah diterangkan. Semoga kita semua terhindar dari terjerumus ke dalam pelanggaran berat tersebut. Amin.