Penjelasan Hukum Fiqih Dalam Hadis-Hadis Bulughul Maram – Part 1

Bulughul Maram adalah kitab hadis tematik yang memuat hampir 1600 hadis yang menjadi sumber hukum Islam. Penyusunnya ialah Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani, seorang ulama besar Ahlussunnah wal Jamaah yang orang-orang anggap sebagai pemimpin umat dalam bidang hadis.

Ibnu Hajar Al-‘Asqalani adalah seorang ahli hadis terkemuka dari Mazhab Syafi’i. Nama lengkapnya adalah Syihabuddin Abul Fadhl Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Ali bin Mahmud bin Ahmad bin Hajar Al-Kannani Al-‘Asqalani Al-Mishri. ‘Asqalan, lahir di Mesir, tempat tinggalnya di Kairo. Beliau lebih terkenal dengan nama Ibnu Hajar. Ibnu Hajar mulai belajar pada usia yang sangat muda, menghafal Al-Quran pada usia 9 tahun. Dia belajar dari banyak ulama terkemuka di Mesir, Hijaz, Suriah, dan Yaman.

Kontribusi Ibnu Hajar Al-‘Asqalani yang Paling Terkenal

Beberapa kontribusinya yang paling terkenal adalah:

  1. Fath Al-Bari – Sebuah komentar atas Sahih Bukhari, yang dianggap sebagai salah satu komentar terbaik atas Sahih Bukhari.
  2. Bulugh Al-Maram – Kumpulan hadis hukum yang sering menjadi rujukan dalam fiqih.
  3. Al-Isabah fi Tamyiz Al-Shahabah – Ensiklopedia biografi para sahabat Nabi Muhammad Saw.

Ibnu Hajar Al-‘Asqalani juga terkenal sebagai seorang hakim, sejarawan, dan penulis produktif yang meninggalkan banyak karya penting lainnya dalam berbagai disiplin ilmu keislaman. Ibnu Hajar Al-‘Asqalani wafat pada tahun 1449 M (852 H) dan meninggalkan warisan intelektual yang sangat berharga bagi dunia Islam. Karya-karya dan ajarannya sangat berpengaruh di dunia Islam. Banyak ulama besar setelahnya mengambil manfaat dari karya-karyanya dan menganggapnya sebagai referensi penting.

Kitab Thaharah (bersuci)

Thaharah secara bahasa berarti bersih, bersuci, atau netral dari kotoran. Thaharah secara istilah adalah sifat hukum yang mewajibkan untuk mengangkat semua hadats dan menghilangkan kotoran. Umat Islam sepakat bahwa ada dua jenis bersuci: bersuci dari najis dan bersuci dari hadas. Mereka juga sepakat bahwa bersuci dari najis terbagi menjadi tiga bagian: wudhu, mandi junub, dan tayamum sebagai pengganti keduanya.

Bab Air

Hadis Pertama

عَنْ أبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ الله عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَمَ فٍي الْبَحْرِ: “هُوَ الطَّهُوْرُ ماَؤُهُ، الحِلُّ مَيْتَتُهُ”؛ أخْرَجَهُ الأرْبَعَةُ، وَابْنُ أبِيْ شَيْبَةَ، وَاللَّفْظُ لَهُ، وَصَحَّحَهُ ابْنُ خُزَيْمَةَ وَالتِّرْمِذِيُُّ

Dari Abu Hurairah Ra. ia berkata, “Rasulullah Saw. bersabda tentang laut, Airnya suci dan bangkainya halal.” (Dikeluarkan oleh Al-Arba’ah dan Ibnu Abu Syaibah, lafazh tersebut miliknya, dan disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan At-Tirmidzi).

Hadis ini adalah salah satu prinsip dasar Islam, telah umat terima, sangat populer di kalangan para ulama fiqih di seluruh negeri, di setiap masa, dan para imam besar yang telah meriwayatkannya. Dalam Hadis ini, seorang laki-laki dari Bani Mudlaj datang kepada Rasulullah Saw. yang bernama Abdullah, lalu bertanya: “Wahai Rasulullah, kami biasa berlayar di lautan dan kami hanya membawa sedikit air, jika kami menggunakannya untuk berwudu maka kami akan kehausan, bolehkah kami berwudu dengan air laut?”

Rasulullah Saw. menjelaskan bahwa air laut itu suci dan menyucikan, tidak keluar dari kesuciannya, kecuali jika salah satu sifatnya berubah. Rasulullah Saw. tidak menjawab, “Ya”. Meskipun beliau memahami maksudnya, namun beliau menjawab seperti itu agar hukumnya sesuai dengan ‘illat-nya, yaitu kesuciannya terbatas. Tampaknya, ketika si penanya melihat bahwa air laut berbeda dengan air biasa, yaitu memiliki rasa asin dan bau yang tidak sedap, dia bertanya-tanya apakah air laut tidak bisa menyucikan.

Ketika Nabi Saw.  mengetahui bahwa si penanya ragu-ragu tentang air laut, beliau khawatir dia ragu-ragu tentang bangkai, padahal ia sering mengarungi lautan, maka beliau melanjutkan jawabannya dengan menjelaskan hukum bangkai. Itulah cara terbaik dalam memberikan fatwa, yaitu menjawab lebih dari apa yang penanya tanyakan untuk menambah manfaat dan menjelaskan ilmu yang belum ia ketahui. Yaitu setiap hewan laut yang mati tanpa melalui proses kurban.

Hadis Kedua

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ الله عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ “إِنَّ الْمَاءَ طَهُورٌ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ ” اَخْرَجَهُ الثَّلَاثَةُ وَصَحَّحَهُ اَحْمَدُ

Dari Abu Said Al-Khudri Ra. ia berkata: “Rasulullah Saw. bersabda: Air itu suci, tidak ada yang dapat menajiskannya.” (HR. Ats-Tsalatsah dan disahkan oleh Ahmad).

Alasan dari Hadis ini adalah bahwa Nabi Saw. pernah mendapat pertanyaan : “Apakah kami boleh berwudu dari sumur Budha’ah,” yaitu sumur yang menjadi tempat pembuangan kain haid, bangkai anjing, dan benda-benda busuk? Beliau menjawab: “Airnya suci”. Di sini kita perhatikan bahwa meskipun air telah terkontaminasi dengan najis dan telah berubah rasa, bau dan warnanya karena najis, air tersebut tetap suci. Tetapi tidak dapat menyucikan. Para ulama juga sepakat bahwa air yang rasa, warna, dan baunya berubah karena najis tidak dapat kita gunakan untuk berwudhu atau bersuci, dan hal ini berlaku jika ada lebih dari satu karakteristik yang telah penulis sebutkan di atas yang berubah.

Hadis Ketiga

عَنْ أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ رَضِيَ الله عَنْهُ  قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “إِنَّ الْمَاءَ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ إِلَّا مَا غَلَبَ عَلَى رِيحِهِ وَطَعْمِهِ وَلَوْنِهِ اَخْرَجَهُ ابْنُ مَاجَه، وَضَعَّفَهُ ابُو حَاتِمٍ.

Dari Abu Umamah Al-Bahili Ra. ia berkata : “Rasulullah Saw. bersabda: Sesungguhnya air tidak bisa menjadi najis karena sesuatu kecuali bila merubah bau, rasa dan warnanya“. (HR. Ibnu Majah dan didha’ifkan status hadisnya oleh  Ibnu Abi Hatim).

Abu Hatim mendha’ifkan hadis ini karena diriwayatkan oleh Rasyid bin Sa’ad. Ibnu Yunus berkata: “Dia adalah seorang yang saleh dalam agamanya. Kemudian kelalaian orang-orang saleh menimpanya, maka dia rancu dalam hadisnya dan hadisnya matruk.” Air itu suci kecuali jika berubah bau, rasa atau warnanya. Hal ini serupa dengan penjelasan hadis sebelumnya tentang kemurnian air.

Air tidak lagi bisa kita pakai untuk bersuci ketika terkena kotoran yang mengubah rasa, bau dan warnanya. Asy-Syafi’i berkata, “Saya tidak pernah mengatakan bahwa jika air berubah rasa, bau atau warnanya, maka air itu tidak suci.” Hal ini merujuk pada sifat air yang tetap suci meskipun terkena najis, sehingga ia berubah warna, bau dan rasanya. Namun tidak menyucikan. Para ulama Hanafi berkata : “Definisi air yang banyak adalah air yang ketika seseorang menggetarkan salah satu ujungnya, gerakan (getaran) tersebut tidak sampai ke ujung lainnya.” Para ulama sepakat dalam hal ini, tetapi mereka berbeda pendapat tentang berapa banyak air yang cukup untuk menghilangkan najis, ketika najis itu ada tetapi tidak membuat air menjadi najis. Ulama Syafi’i berpendapat dua kulah Bani Hajar, atau 500 liter.

Similar Posts