Penolakan Israel: Merajut Kembali Komitmen Bangsa
Majalahnabawi.com – Masyarakat Indonesia menelan pedih setelah dibatalkannya Piala Dunia U-20 di Ibu pertiwi pada 29/3/2023. Kesedihan ini tentunya amat dirasakan bagi para penggemar sepak bola terutama para pemain timnas Indonesia U-20. Kesedihan ini tidak boleh terus berlanjut, justru harus tetap fokus pada pembenahan sepak bola untuk membentuk skuad-skuad handal.
Fenomena pro dan kontra yang terjadi saat ini perlu diartikan sebagai kewajaran demokrasi. Perlunya melihat dengan kaca mata yang jernih dan imbang. Pada satu sisi kita mengharapkan anak bangsa untuk unjuk gigi di ajang piala dunia, di sisi lain komitmen bangsa perihal “kemanusiaan” tidak selayaknya tergadaikan oleh pekan hiburan.
Peristiwa ini menjadi momentum bangsa untuk merajut kembali komitmen yang dibangun oleh para founding father terdahulu. Penolakan tersebut bukanlah sebuah kesalahan yang membawa malapetaka bagi masa depan anak bangsa, melainkan sikap refleksi dalam menghayati raga ideologi bangsa Indonesia.
Bangsa Indonesia telah lama terjerat dalam lingkaran imprealisme dan kolonialisme penjajah. Pengalaman ini seharusnya dapat membawa kita untuk berempati terhadap peristiwa yang dilakukan Israel terhadap Palestina.
Sejak dulu Soekarno telah memberikan presenden nyata dalam menolak terjalinnya hubungan dengan Israel. Secara terang-terangan, Soekarno tidak melibatkan Isreal dalam Konferensi Asian-Afrika (KAA).
Saya kira terlalu berlebihan jika penolakan tersebut diartikan sebagai upaya mengubur dalam-dalam mimpi anak bangsa, sebagaimana opini liar yang bertebaran di jagat media. Sebab faktanya penolakan ini bukanlah yang pertama kalinya terjadi di Indonesia. Hal serupa pernah terjadi pada Piala Dunia yang diselenggarakan di swedia pada tahun 1958. Di mana Indonesia hanya membutuhkan satu langkah –melawan Israel- untuk lolos pada laga tersebut. Namun kesempatan itu dilepaskan demi solidaritas terhadap palestina dan menentang penjajahan Israel.
Kita tidak menolak, FIFA yang kita tolak adalah Israel dengan segudang sejarah penjajahannya terhadap Palestina. Alasan mendasar mengapa penolakan itu terjadi adalah komitmen bangsa yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945.
“Bahwa Sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan”
Indonesia bukan hanya menyatakan bahwa kemerdekaan hanya berhak diraih oleh Ibu pertiwi, melainkan harus dirasakan oleh setiap negara yang ada di dunia. Hal ini merupakan bentuk komitmen yang tegas dalam memperjuangkan prinsip egalitarianisme dan ekualitas.
Sepak bola memang bukan ajang politik, melainkan hiburan yang bergengsi di kancah internasional. Tapi peristiwa palestina bukan soal politik semata, melainkan persoalan kemanusiaan. Bukankah kita tetap sepakat, bahwa kemanusiaan di atas segalanya? sekalipun harus berhadapan dengan sepak bola.
Peristiwa ini seharusnya mengembalikan kembali semangat kita dalam merajut nasionalisme bangsa. Kendati Indonesia tidak menjadi Tuan Rumah dalam event piala dunia, namun komitmen Indonesia telah menarik atensi dunia internasional tentang sikap anti imperialisme.
Seandainya Indonesia mempersilahkan Israel ikut berlaga dalam pertandingan Piala Dunia, mungkin hal ini akan melemahkan sikap Indonesia terhadap anti imperialisme Israel. Lebih dari itu, sikap ini dapat terlihat sebagai bentuk normalisasi atas kekejaman Israel terhadap Palestina.
Memang betul, mungkin suara-suara akar rumput yang menolak kedatangan Israel tidak memiliki efek sama sekali. Israel tetap mengikuti Piala Dunia, Palestina tetap dengan kondisi terjajah, tapi sekali lagi, ini perihal sikap komitmen bangsa dalam menentang penjajahan.
Perhelatan ini harus kembali pada sudut pandang tunggal, yakni UUD 1945 yang harus dipatuhi setiap warga negara yang tinggal di Indonesia. Sehingga penolakan ini secara jelas bersifat yuridis dan politis, bukan perihal agama, ekonomi, ataupun olahraga.
Segala bentuk keputusan tentunya melahirkan kekecewaan bagi sebagian pihak. Tapi kita tidak boleh berhenti dan berlarut-larut dalam kesedihan. Saling menguatkan dan membenahi antara satu dengan yang lainnya adalah jalan alternatif untuk memperkokoh pilar-pilar keharmonisan bangsa. Semoga Timnas Indonesia dapat menjadi tim yang handal hingga dapat unjuk gigi di kancah internasional.
Sebagai penutup, mungkin selayaknya FIFA menerapkan sikap ekualitas dan inklusivitas atas dasar kemanusiaan, untuk sama-sama tidak meloloskan Israel dalam ajang olahraga Internasional, sebagaimana yang dilakukannya terhadap Rusia atas invasinya terhadap negara Ukraina.
Wallahu A’lam