Penolakan Khabar Ahad
Majalahnabawi.com – Pada dasarnya, kita seharusnya mengerjakan sunnah tanpa membedakan apakah itu berasal dari khabar ahad ataupun mutawatir. Pada masa Nabi dan sahabat belum muncul pembedaan antara khabar ahad dan mutawatir. Para sahabat menerima riwayat dari seseorang setelah jelas status dan kredibilitasnya, bukan dari kuantitasnya (ahad atau mutawatir).
Di masa ulama salaf pertama, Ayub al-Sakhtiani berkata, “Mari kita tinggalkan ini (khabar ahad) dan riwayatkan al-Quran pada kami. Ketahuilah bahwasanya itu sesat dan menyesatkan”. Imam al-Syafi’i menjawab pernyataan tersebut dalam kitabnya “al-Umm” dan “al-Risalah“. Dari kitabnya tersebut diketahui bahwa yang menyangkal atau menolak sunnah pada khabar ahad hanya dengan alasan atau keinginan (hawa) karena menurut mereka adanya kemungkinan secara rasional mereka berbohong atau membuat kesalahan naratornya. Mereka menganggap sebagai manusia yang tidak sempurna maka tidak menutup kemungkinan adanya kesalahan dalam periwayatan, terlebih lagi jika bukan mutawatir.
Hadis tidak ditulis untuk disebarkan atau dipublikasikan pada abad ketiga bahkan abad keempat, tetapi baru ada pada abad kelima. Kemudian, setelah tersiar kabar tentang penolakan khabar ahad, hal itu menjadi kesempatan yang dimanfaatkan oleh musuh dari tentara Salib dan Mongol. Mereka menyerangnya dan menggulingkan kekhalifahannya. Kebangkitan baru terjadi oleh mazhab Salafi dengan manhaj Ahlusunah Waljamaah pada akhir abad ketujuh dan awal abad kedelapan.
Pengamalan Hadis
Dari ini semua dapat dirangkum atau disimpulkan dalam tiga aliran pemikiran: Pertama, ini hanya memberikan dugaan, dan Mu’tazilah mengatakan bahwa dugaan tidak memberikan pengetahuan dan tidak diharuskan pengamalan dalam akidah dan ahkam. Kedua, itu memberikan pengetahuan dan mengharuskan pengamalan jika perawinya adil dan dhabith.
Abu Muhammad bin Hazm dan yang lainnya berkata: khabar ahad dari orang yang adil dan tersambung pada Nabi mengharuskan pengetahuan dan pengamalan. Ketiga, jika itu menunjukkan kebenarannya, maka itu yakin benarnya, jika tidak, maka itu adalah dugaan. Seperti hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim, meskipun ada riwayat hadis ahad tetapi periwayatan mereka itu kuat dan diterima.
Ada sebuah pertanyaan menarik, apakah hadis shahih dikatakan benar. Maka shahih itu ada berbagai macam: ada yang mutawatir lafazhnya, mutawatir maknanya, yang diterima oleh kaum muslim dan diamalkan, yang diterima oleh ulama hadis kebenarannya seperti mayoritas ulama, yang disepakati para ulama keshahihannya, dan di antara itu ada yang disebut shahih yang beberapa ahli hadits anggap shahih dan yang lain tidak setuju dalam keshahihannya. Lima macam yang pertama itu dapat memberikan pengetahuan dan dikatakan bahwa itu benar, sedangkan yang terakhir itu tidak dikatakan kebenarannya kecuali dengan bukti. Jika ada bukti yang menunjukkan kebenarannya maka baru bisa dikatakan shahih dan benar. Demikianlah perdebatan perbedaan pendapat mengenai penerimaan atau penolakan khabar ahad.
Sebagai seorang Muslim, kita harus menerima segala sesuatu dari Nabi dengan rantai riwayat yang shahih dan benar, entah itu berupa khabar mutawatir ataupun ahad.