Pentingnya Meringkas Khutbah Jumat
Majalahnabawi.com – Hari Jumat sebagaimana lazim kita ketahui adalah hari sakral bagi umat Islam yang identik dengan ritual mingguan yaitu salat Jumat. Dalam yurisprudensi Islam, salat Jumat tidak bisa dipisahkan dengan khutbah Jumat, keduanya bersifat kohesif, saling melengkapi dan menyangkut keabsahan dari salat Jumat itu sendiri.
Berbincang khutbah Jumat, mengingatkan saya pada sebuah diskusi dengan salah seorang kawan mengenai durasi dan isi materi khutbah yang acap kali melantur ke mana-mana, sehingga pesan ketakwaan yang esensial tidak terlalu mengena.
Pada intinya, diskusi itu disesaki dengan keresahan kawan saya yang merasa bahwa banyak khatib yang terlalu lama dalam khutbahnya, cenderung tidak mempertimbangkan aspek maslahat bagi para pekerja yang hanya memiliki waktu sedikit untuk istirahat dan makan siang. Bahkan, yang lebih ironi, khutbah Jumat sering dijadikan panggung politik dengan materi-materi yang tendensius kepada kelompok tertentu. Ini jelas mencederai sakralitas ibadah Jumat.
Durasi Khutbah Jumat Yang Lama
Persoalan durasi khutbah Jumat yang terlalu lama sebenarnya telah menjadi rasam negatif yang kerap kali terjadi di tengah-tengah kehidupan masyarakat muslim Indonesia. Jadi, wajar saja bila banyak kalangan yang resah dan menyoal perkara tersebut.
Namun begitu, anomali ini seolah dianggap lumrah dan tidak boleh diganggu gugat, sehingga terkadang bagi yang menyoalnya akan langsung dituduh liberal, islamofobia, pelaku desakralisasi agama, dan tuduhan negatif lainnya yang sangat konservatif dan tidak mendasar.
Paling Baik Yang Sedang-sedang Saja
Menanggapi fenomena ini, sejatinya Islam adalah agama yang selalu memosisikan setiap perkara pada pertengahan (sedang-sedang saja). Hal tersebut tercermin dari petuah Rasulullah Saw yang menandaskan bahwa sebaik-baik urusan adalah yang sedang (tengah-tengah), tidak terkecuali dalam perkara khutbah Jumat. Di samping itu, Islam juga selalu mengedepankan aspek maslahah (kebaikan) dalam setiap ajarannya, baik yang bersifat vertikal kepada Allah (ritual), maupun yang horizontal kepada sesama (sosial). Sebagaimana Syekh Abdurrahman bin Nashir al-Sa’di bertutur: “Ajaran Islam dibangun atas dasar maslahah dan selalu menolak mafsadah (kerusakan)”.
Dalam konteks salat Jumat, terjalin dua hubungan sekaligus, yaitu salat yang menghubungkan antara seorang hamba dengan Sang Pencipta dan khutbah yang menghubungkan antara seorang hamba sebagai khatib di satu sisi, dengan sesamanya sebagai jamaah pada sisi yang lain. Melihat konteks tersebut, maka sudah semestinya ritual Jumatan dibangun di atas prinsip-prinsip kemaslahatan.
Durasi Khutbah Rasulullah
Berkenaan dengan durasi khutbah, terdapat sebuah riwayat yang mengatakan “Salat yang dilakukan oleh Rasulullah itu sedang, begitupun juga dengan khutbahnya”. (HR. Muslim dan Abu Daud). Redaksi hadis ini mendeskripsikan bahwa Rasulullah Saw di dalam salat dan khutbahnya, itu sedang-sedang saja, tidak terlalu lama dan tidak terlalu singkat. Secara implisit, hadis tersebut mengandung anjuran untuk menyampaikan khutbah secara proporsional. Tidak terlalu panjang sehingga memberatkan, tetapi juga tidak terlalu pendek sehingga tidak dipahami esensinya.
Hadis di atas, menurut Syekh Abu Thayyib Syamsul Haq mengandung anjuran untuk meringkas khutbah, dan hal ini telah menjadi konsensus para ulama (ijma) secara absolut. (Lihat, ‘Aun al-Ma’bud, Juz 3, halaman 316). Senada dengan itu, Syekh Badruddin al-Aini menjelaskan bahwa meringkas khutbah dan salat adalah bagian dari sunnah, sebab memanjangkan keduanya akan dapat memberatkan umat. (Syarh Abi Daud, Juz 4, halaman 443).
Melihat Konteks Jamaah
Jika mengacu pada pernyataan Syekh Badruddin al-Aini, kita dapat mengetahui bahwa alasan tidak boleh memanjangkan khutbah dan salat adalah karena keduanya dapat memberatkan umat. Kata memberatkan tentu relatif dan luas pemaknaannya. Tergantung bagaimana konteks jamaah yang menjadi objek khutbah.
Untuk dapat mengetahui hal tersebut, maka seorang khatib perlu melihat situasi dan kondisi para audiens. Jika kita berkaca pada kehidupan di perkotaan, dengan intensitas pekerjaan yang masif, tentunya durasi khutbah atau salat Jumat yang terlalu lama akan memberikan masalah serius bagi para pekerja yang harus lekas kembali ke kantor seusai salat, belum lagi jam istirahat dan makan siang mereka yang harus terpangkas karena ada agenda Jumatan. Di sinilah prinsip maslahat harus dikedepankan.
Bisa dibayangkan bukan betapa gaduhnya situasi mereka bila dihadapkan dengan pengkhutbah yang terlalu lama dalam menyampaikan khutbahnya. Lantas kemudian, berapakah durasi khutbah yang dianggap sedang? Lagi-lagi ini merupakan hal yang relatif, tidak ada batasan pasti untuk menentukannya.
Perkiraan Durasi yang Sedang
Jika boleh menentukan durasi khutbah yang proporsional, hemat saya, usulan durasi khutbah maksimal 15 menit yang dicanangkan oleh Wadah Silaturahmi Khatib Indonesia (Wasathi) dapat dijadikan bahan pertimbangan. Dengan durasi khutbah 15 menit, seorang khatib seharusnya sudah mampu memenuhi rukun khutbah dengan substansi materi takwa dan amal saleh yang padat dan bergizi. Konsep maksimal durasi khutbah 15 menit ini juga sebenarnya telah lama diterapkan di beberapa negara Timur Tengah, seperti di Kuwait, Arab Saudi dan Palestina.
Wabakdu, meringkas khutbah adalah perkara sunnah dan mengandung maslahat. Sudah semestinya para khatib memberikan perhatian lebih mengenai hal ini, sehingga dapat memberikan khutbah yang efektif dan proporsional. Sebab pada prinsipnya, khutbah yang baik adalah khutbah yang sedang-sedang saja, tidak terlalu panjang sehingga dapat memberatkan dan membuat jenuh, tetapi juga jangan terlalu pendek sehingga tidak bisa dipahami dengan baik substansinya.