Peran Sejarah dalam Penafsiran Al-Qur’an

Majalahnabawi.com – Penafsiran al-Quran tentunya telah dimulai semenjak ia diturunkan yakni kepada Rasulullah ﷺ hingga sekarang. Namun pada masa Rasulullah, penafsiran secara konsep tentu diserahkan kepada Rasulullah yang bertugas sebagai mubalig risalah dari Allah Swt kepada manusia. Maka wajib bagi Rasulullah untuk mengetahui makna dan tujuan dari apa yang ingin disampaikan oleh Allah kepada hamba-Nya. Konsep ini tidak serta merta sempurna untuk menafsirkan makna al-Quran secara keseluruhan karena:

  1. Permasalahan pada masa Rasulullah dan sahabat hanya terbatas pada masanya sehingga permasalahan pada zaman yang akan datang tentu tidak pernah dibahas pada masa itu terkecuali permasalahan terkait anba’ al-ghoib.
  2. Al-Quran sholihun fi kulli al-zaman wa al-makan yakni al-Quran selalu sesuai dan patut untuk ditetapkan di setiap waktu dan tempat yang mana al-Quran merupakan pedoman manusia bukan hanya untuk para sahabat atau orang Arab saja sehingga makna al-Quran sangat luas mencakup permasalahan sekarang bahkan yang akan datang.

Hal tersebut merupakan keuntungan bagi para sahabat pada masa hidup Rasulullah yang mana mereka dapat bertanya langsung jika terdapat permasalahan terkait penafsiran al-Quran dan merupakan tantangan bagi kita yang tidak berjumpa dengan beliau. Maka penafsiran tentu selalu berkembang seiring perkembangan permasalahan.

Syarat Penafsiran al-Quran

Menafsirkan al-Quran tidak dapat dilakukan oleh setiap orang, namun setiap orang yang memiliki kaidah keilmuan dalam penafsiran seperti asbabun nuzul, nasikh-mansukh, makky-madaniy dengan berbagai disiplin ilmu yang diperlukan seperti ilmu tata bahasa Arab yang dimulai dari Nahwu, Sharaf, Badi’, Bayan, Ma’ani serta menguasai ilmu Fikih, Ushul Fiqh, Ushuluddin, Hadis serta ilmunya dengan kebijaksanaan diri yang dipupuk dengan ilmu akhlak dapat melakukannya. Untuk melakukan penafsiran, para ulama juga menggunakan berbegai pendekatan dengan tujuan mendapatkan pemahaman secara utuh dan sesuai dengan catatan tidak  mengeliminasi kaidah dan nash sarih yang sudah ijma’ kebenarannya agar tidak terjadi penggelonggongan ayat.

Definisi Pendekatan Historis

Salah satu pendekatan yang biasa digunakan untuk penafsiran adalah pendekatan sejarah atau lebih dikenal dengan pendekatan historis yang artinya sebuah sudut pandang atau paradigma yang dihasilkan dari sebuah kejadian pada masa lalu yang berkaitan dengan sebuah ayat al-Quran yakni suatu usaha untuk menyelidiki fakta dan data masa lalu melalui pembuktian, penafsiran, dan juga penjelasan melalui pikiran kritis dari prosedur penelitian ilmiah sehingga menghasilkan sebuah pemahaman utuh terkait ayat tersebut.

Perbedan Pendekatan Historis dengan Kaidah Sabab Nuzul

Pendekatan historis memang berasiran dengan sebuah teori dalam kaidah tafsir yakni teori sabab nuzul. Berbeda dengan definisi pendekatan historis, sabab nuzul memiliki definisi sebuah peristiwa atau pertanyaan para sahabat kepada Nabi ﷺ yang menjai faktor diturunkannya ayat atau surat sebagai penjelasan atau jawaban atas hal tersebut. Karena al-Quran diturunkan dalam dua bagian yakni diturunkan sebuah ayat sebagai permulaan tanpa sebab dan setalah kejadian atau pertanyaan yang menjadi penyebabnya. Perbedaan yang terdapat sangatlah tipis karena sabab nuzul juga merupakan termin kajian dalam sejarah maka perbedaan tipis tersebut adalah bahwa sabab nuzul memiliki kaitan langsung dengan sebuah ayat yang diturunkan bahkan mejadi faktor ayat tersebut turun sedangkan sejarah tidak berkaitan secara langsung dengan sebuah ayat dan sabab nuzul dapat menjadi syarat untuk memahami maksud sebuah ayat sedangkan sejarah hanya sebatas data pendukung dan tidak dapat mengeliminasi nash shorih sebuah ayat.

Contoh Pendekatan Historis dan Sabab Nuzul dalam Memahami al-Quran

Megutip dari penelitian Fazlur Rahman terkait pendekatan historis dalam memahami al-Quran dalam surat al-Nisa ayat 3:

وَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تُقْسِطُوْا فِى الْيَتٰمٰى فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِّنَ النِّسَاۤءِ مَثْنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَ ۚ فَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ ۗ ذٰلِكَ اَدْنٰٓى اَلَّا تَعُوْلُوْاۗ

Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.”

Dalam kajiannya, beliau mengungkapkan bahwa ayat ini diturunkan sebagai pembatas jumlah bagi seorang lelaki untuk menikah karna fakta sosio-historis pada masa lalu merupakan hal yang lumrah bagi seorang lelaki menikahi banyak wanita lebih dari empat, maka al-Quran turun untuk mengatur ketimpangan tersebut dan bukan untuk mengamininya. Menurut Fazlur, meskipun legal formal al-Quran mengatakan empat, namun ideal moral dari pembatasan tersebut ialah satu istri atau monogami. Maka ketika ayat ini kita aplikasikan pada zaman sekarang, yang wanita tidak dalam keadaan tertindas seperti dulu, yang menjadi patokan ideal moral atau cita-cita moral dari ayat ini ialah monogami. Hal tersebut merupakan pemahaman yang dihasilkan karena memahami sejarah dengan pendekatannya yang baik serta tidak mengeliminasi nash sharih ayat tersebut yakni boleh menikahi empat istri meskipun idealnya adalah satu istri ditinjau dari sejarah dan moral.

Sedangkan dalam memahami al-Quran dengan sabab nuzul mengutip dari penjelasan Ali al-Shabuniy dalam kitabnya al-Tibyan pada surat al-Maidah ayat 93:

لَيْسَ عَلَى الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ جُنَاحٌ فِيْمَا طَعِمُوْٓا اِذَا مَا اتَّقَوْا وَّاٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ ثُمَّ اتَّقَوْا وَّاٰمَنُوْا ثُمَّ اتَّقَوْا وَّاَحْسَنُوْا ۗ وَاللّٰهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَ

Tidak berdosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan tentang apa yang mereka makan (dahulu), apabila mereka bertakwa dan beriman, serta mengerjakan kebajikan, kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman, selanjutnya mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”

Pemahaman Ayat

Ayat tersebut difahami oleh kalangan tekstualis sebagai landasan diperbolehkannya minum khamr sedangkan jika ditinjau sebab turunnya ayat tersebut maka ayat ini bukanlah untuk menghalalkan khamr melainkan ayat ini diturunkan ketika ayat terkait diharamkannya khamr yakni al-Maidah ayat 90:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْاَنْصَابُ وَالْاَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطٰنِ فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ

Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung.”

diturunkan kemudian para sahabat bertanya kepada Rasulullah ﷺ terkait para sahabat yang mati syahid dan meninggal dunia sedangkan mereka meminum khamr? Maka diturunkanlah ayat tersebut (al-Maidah ayat 93) yang menjelaskan bahwasanya para sahabat yang meminum khamr sebelum diharamkannya khamr, Allah telah mengampuni mereka dan tiada dosa bagi mereka, karna Allah tidak menyiksa hamba atas sesuatu yang dilakukan sebelum sesuatu tersebut diharmakan. Maka ayat tersebut dapat difahami dengan mengetahui sabab nuzulnya dan ayat penghraman khamr tetap menjadi nash qath’i.

Similar Posts