Peran Signifikan Hadis dalam Mengawal Keberagaman Umat
http://Majalahnabawi.com – Sebagai sumber hukum Islam, hadis memiliki peran signifikan dalam mengawal dan mengarahkan keberagamaan umat. Pentingnya hadis ini dilatarbelakangi oleh Al-Quran yang menjadi pedoman utama umat Islam tidak secara mendetail memberikan jabarannya dalam mengawal perilaku keberagamaan umat. Oleh karena itu, eksistensi hadis menjadi hal yang penting untuk dijadikan rujukan lain dalam mengurai globalitas penjelasan Al-Quran.
Dalam konteks inilah hadis tidak saja berfungsi sebagai penegas pesan-pesan Al-Quran, tetapi juga berfungsi sebagai penjabar pesan-pesan Al-Quran dan pentakhshish hal-hal yang umum atau pentaqyid hal-hal yang mutlak dari Al-Quran.
Usman Sya’roni, dalam bukunya mengutip perkataan Yusuf al-Qardhawi yang mengatakan bahwa hadis tidak hanya sebagai sandaran dalam pengambilan hukum oleh ahli fikih semata, tetapi semua ulama sepakat menjadikan hadis sebagai salah satu sumber syariah Islam. Sebagaimana ahli fikih, kaum sufi juga menjadikan hadis sebagai pijakan dalam pendakian spiritual mereka.
Dalam hal menetapkan otentisitas sebuah hadis, terdapat perbedaan mendasar antara kaum sufi dan ahli hadis. Bagi kaum sufi, untuk menetapkan otentisitas sebuah hadis tidak hanya terpaku pada ada atau tidaknya rangkaian sanad pada hadis tersebut. Akan tetapi, perkataan tertentu dapat dinisbatkan sebagai hadis Nabi Saw. apabila perkataan tersebut sejalan dengan Al-Quran dan disampaikan oleh orang yang mempunyai tingkat kesahihan yang tinggi.
Berdasarkan pola pikir kaum sufi ini, tampaknya kaum sufi memiliki metodologi tersendiri dalam menetapkan otentisitas hadis. Adapun metode lain yang mereka gunakan dalam menetapkan keotentisitasan sebuah hadis di antaranya adalah Liqa an-Nabi dan Thariq al-Kasyf.
1. Liqa’ an-Nabi
Kaum sufi menjadikan Liqa al-Nabi sebagai salah satu metodologi untuk menetapkan otentisitas sebuah hadis. Hal ini dapat kita lihat dari banyaknya kaum sufi yang mengklaim pernah bertemu dengan Nabi Saw. baik melalui mimpi maupun bercakap-cakap secara langsung dalam keadaan terjaga (tidak tidur).
Adapun pandangan kaum sufi terhadap mimpi itu berkaitan dengan pertemuan secara tidak langsung bersama Nabi Saw. Hal ini berdasarkan hadis Nabi Saw. yang berbunyi:
مَنْ رَآنِىْ فِى المَنَامِ فَسَيَرَانِىْ فِى الْيَقْظَةِ وَلاَ يَتَمَثَّلُ الْشَيْطَانُ بِيْ
“Siapa yang melihatku saat mimpi, maka ia akan melihatku dalam keadaan sadar. Dan setan tidak dapat menyerupai diriku.” (HR. al-Bukhari).
2. Thariq al-Kasyf
Kasyaf secara bahasa adalah hilangnya hijab (penghalang). Sedangkan secara istilah adalah tampaknya makna-makna gaib dan hal-hal yang bersifat hakikat yang berada di balik tirai. Dalam konteks penilaian hadis, metode kasyaf berarti metode yang dipakai oleh para tokoh sufi di mana mereka tidak memerlukan lagi kaidah-kaidah penilaian hadis yang telah dibangun oleh para ulama ahli hadis dalam menilai kualitas sebuah hadis.
Adapun metode kasyaf dapat kita terima sebagai metode tashih hadis jika tidak bertentangan dengan hukum syariah yang pokok.
Sumber:
Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits; Ulumuhu wa Mushthalahahu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), 46-50.
Usman Sya’roni, Otentitas Hadis Menurut Ahli Hadis dan Kaum Sufi, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2019), 49.
Muhammad Khudori, “Metode Kashf dalam Penilaian Hadis: Studi Tashih Hadis di Kalangan Kaum Sufi”. Jurnal Afkaruna, Vol. 14 No. 1 (Juni 2018), 30.