Perayaan “Hari Ibu”, Apakah Bid’ah? Begini Penjelasannya!
Majalahnabawi.com – Setiap tanggal 22 Desember, kita memperingati “Hari Ibu”. Tradisi ini berawal dari pertemuan pertama organisasi perempuan yang dikenal dengan nama Kongres Perempuan Indonesia I. Kongres ini diselenggarakan pada tanggal 22 Desember 1928 di Gedung Dalem Joyodipuran, Yogyakarta.
Dalam kaitannya dengan hal ini, muncul pertanyaan mendasar: Bagaimana hukum perayaan tersebut jika ditinjau dari perspektif agama Islam? Apakah hal ini bertentangan? Sebab, di masa Nabi Muhammad Saw tidak ada perayaan seperti “Hari Ibu”.
Landasan Kewajiban Menghormati Ibu
Dalam ajaran Islam, memang tidak ada perayaan khusus untuk menghormati seorang ibu. Namun, kita diperintahkan untuk senantiasa memuliakan, mematuhi, dan menghormati ibu tanpa terikat pada kondisi, ruang, dan waktu. Dengan kata lain, bagi seorang muslim, setiap hari adalah “Hari Ibu”.
Kewajiban untuk menghormati orang tua setiap saat ini didasarkan pada berbagai riwayat Nabi Muhammad Saw yang memerintahkan umatnya untuk memuliakan orang tua, terutama ibu. Salah satunya adalah hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Abu Hurairah tentang pentingnya berbakti kepada ibu.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُوْلِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي ؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ، قَالَ أَبُوْكَ
Artinya: Dari Abu Hurairah, “Seseorang datang kepada Rasulullah Saw dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?’ Nabi Saw menjawab, ‘Ibumu.’ Orang tersebut kembali bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi Saw menjawab, ‘Ibumu.’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu.’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi Saw menjawab, ‘Kemudian ayahmu.’” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadis ini menunjukkan bahwa kedudukan ibu tiga kali lebih utama daripada ayah. Hal ini karena ibu menjalani tiga proses yang tidak dapat dilakukan oleh seorang ayah, yaitu mengandung, melahirkan, dan menyusui (Nawawi, 1998).
Selain itu, ada hadis yang sudah tidak asing ditelinga kita yakni hadis tentang “Surga itu dibawah telapak kaki ibu”, hal ini memang terdapat dalam Riwayat an-Nasai melalui jalur sahabat Muawiyah bin Jahimah sebagai berikut.
أَنَّ جَاهِمَةَ جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَرَدْتُ أَنْ أَغْزُوَ وَقَدْ جِئْتُ أَسْتَشِيرُكَ. فَقَالَ : ” هَلْ لَكَ مِنْ أُمٍّ “. قَالَ : نَعَمْ. قَالَ : ” فَالْزَمْهَا، فَإِنَّ الْجَنَّةَ تَحْتَ رِجْلَيْهَا
Artinya: Tatkala, Jahimah datang kepada Nabi Saw, maka ia berkata: Wahai Rasulullah, saya ingin ikut berperang dan saya sekarang memohon nasihat kepadamu?’ Rasulullah Saw lalu bersabda, ‘Kamu masih punya ibu?’ Mu’awiyah menjawab, ‘Ya, masih.’ Rasulullah Saw bersabda, ‘Berbaktilah kepada ibumu (lebih dahulu) karena sungguh ada surga di bawah kedua kakinya’. (HR. an-Nasa’i, No. 3104).
Hadis ini memang oleh sebagian ulama disinyalir berkualitas “Dhaif”, bahkan ada yang mengatakan “Maudhu” (Palsu), namun hadis ini bukan menunjukkan hal yang bersifat “Akidah”, dan juga hadis ini mengandung “Fadhailul A’mal (Keutamaan Beramal/Motivasi)”. Dengan demikian hadis ini layak digunakan sebagai hujjah. Selain itu juga Hadis ini berkualitas Hasan Sahih.
Dalam kitab Hasiyah As-Sindī Ala an-Nasa’i karya Jalaluddin Asy-Suyuthi dijelaskan lafal “Fa inna al-Jannah”, maksudnya bahwa surga itu tidak akan didapatkan oleh kita, kecuali melalui ridha ibu. Dengan kata lain, surga hanya bisa dicapai melalui keridhaan seorang Ibu. Hal ini, senada dengan hadis yang terdapat dalam kitab Buluhul Maram bab Al-Birr Wa Sillati (Bab berbuat baik kepada orang tua dan Silaturahmi) karya Ibnu Hajar al-Asqalani dengan redaksi:
وَعَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ عُمَرَ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا-, عَنْ اَلنَّبِيِّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ: – رِضَا اَللَّهِ فِي رِضَا اَلْوَالِدَيْنِ, وَسَخَطُ اَللَّهِ فِي سَخَطِ اَلْوَالِدَيْنِ – أَخْرَجَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ وَالْحَاكِم
Artinya: Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ashr ra, Nabi Saw bersabda, “Keridhaan Allah tergantung pada ridha orang tua dan murka Allah tergantung pada murka orang tua.” (Diriwayatkan oleh Tirmidzi, hadits ini sahih menurut Ibnu Hibban dan Al-Hakim). (HR. Tirmidzi, no. 1899).
Berdasarkan beberapa riwayat yang telah disebutkan di atas, maka dapat diambil beberapa hikmah atau isi kandungannya: Pertama, hadis tersebut menunjukkan keutamaan berbakti kepada orang tua, terkhusu ibu, dengan cara membahagiakan dan membuat senang. Kedua, hadis ini menjadi dalil keharaman durhaka kepada seorang Ibu. Ketiga, diantara bentuk bakti kepada seorang ibu dengan menuruti semua perintahnya, selama tidak keburukan (kesesatan). Dari ketiga point ini, menjadi bukti bahwa seyogianya seorang anak harus selalu berbuat baik terhadap Ibu tanpa mengenal waktu.
Hukum Merayakan “Hari Ibu”
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, bagaimana hukum merayakan “Hari Ibu”? Untuk menjawabnya, kita perlu memahami kaidah dasar dalam Islam. Salah satu kaidah penting dalam Ushul Fiqh adalah:
الأصل في كل الأشياء الإباحة حتى يقوم دليل يدل على النقل عن هذا الأصل
Artinya: “Hukum asal segala sesuatu adalah mubah (boleh), hingga ada dalil yang menunjukkan perubahan hukum tersebut.” (Khallaf, 2014).
Berdasarkan kaidah ini, perayaan yang tidak terkait dengan unsur-unsur ibadah agama pada dasarnya diperbolehkan. Dengan demikian, perayaan “Hari Ibu” termasuk kegiatan yang hukumnya mubah selama tidak ada dalil yang mengharamkannya.
Namun, jika perayaan ini dikaitkan dengan istilah bid’ah (hal baru yang tidak ada pada zaman Nabi), maka perlu dilihat lebih lanjut jenis bid’ah tersebut. Menurut Imam Syafi’i, bid’ah terbagi menjadi dua:
- Bid’ah Mahmudah (Terpuji)
- Bid’ah Madzmumah (Tercela)
Artinya, perayaan “Hari Ibu” dapat dianggap sebagai bid’ah terpuji (bid’ah hasanah) selama kegiatan yang dilakukan bersifat positif, seperti memberikan penghormatan kepada ibu atau memberikan hadiah. Namun, jika perayaan tersebut diisi dengan hal-hal negatif atau bertentangan dengan syariat, maka hukumnya menjadi haram dan tergolong bid’ah tercela (bid’ah dhalalah).
Kesimpulan
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan beberapa poin penting:
- Islam memerintahkan umatnya untuk menghormati dan memuliakan ibu setiap saat, bukan hanya pada waktu tertentu.
- Hukum merayakan “Hari Ibu” pada dasarnya adalah mubah (boleh) selama tidak bertentangan dengan syariat.
- Merayakan “Hari Ibu” bisa menjadi bentuk bid’ah terpuji jika diisi dengan hal-hal positif, seperti meningkatkan penghormatan dan kasih sayang terhadap ibu.
Dengan demikian, sebagai umat Islam, kita dapat memanfaatkan momen “Hari Ibu” untuk semakin mempererat hubungan kasih sayang dengan ibu kita, tanpa melupakan kewajiban berbakti kepadanya setiap saat.
Referensi:
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih. (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 2014).
Abu Husain Muslim Ibn Hajaj, Shahih Muslim, Jilid 7. (Riyadh: Bait Al-Afkar, 1998).
Ahmad bin Syuaib Sinan al-Khurasani An-Nasa’i, Sunan An-Nasai, Jilid 6. (Riyadh, Bait Al-Afkar, 1998).
Ibn Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram Min Adillati Al-Ahkami (Lebanon: Dar Al-Kuttub al-Alamiyyah, 1999).
Jalaluddin Asy-Suyuthi, Hasiyah Imam As-Sindi: Syarhu An-Nasa’i. (Lebanon: Dar Al-Kuttub al-Alamiyyah, 1997).