Perbedaan dan Persamaan antara Riwayat dan Syahadat dalam “Ar-risalah”

Majalahnabawi. com – periwayatan dan persaksian (syahadat) dalam islam merupakan kajian yang memiliki keserupaan, keduanya dipakai dalam pengujian autentisitas kebenaran suatu data, dalam disiplin ilmu hadits, tak sedikit pembahasan yang kerap menampilkan keduanya dalam studi komparasi. Salah satunya di dalam kitab Ar-risalah Karya  Al-imam Al-muthalibi Muhammad bin Idris As-Syafi’i.  maka, Sebelum pemaparan lebih lanjut dalam kitab tersebut, penting sekiranya untuk mengetahui definisi keduanya.

  1. Ar-Riwayat

Riwayat dalam kepenulisan ini  ialah yang berkaitan dengan rantai Periwayatan dan tersambung atau terputusnya  sanad dari lapisan generasi ke generasi dengan metode – sebagaimana yang diistilahkan oleh Jumhurul Muhadditsin – Tahammaul wal adaa, atau suatu kegiatan penerimaan dan penyampaian hadits, serta penyandaran hadits tersebut kepada rangkaian para periwayatnya dengan bentuk bentuk tertentu, sehingga kajian  Ar-riwayat yang dimaksud lebih erat kaitannya dengan ilmu dirayatul hadits, oleh Imam ‘Izzuddin bin jama’ah ilmu dirayatul hadits didefinisikan:

علم بقوانين يعرف بها أحوال السند و المتن

Ilmu yang membahas pedoman-pedoman yang dengannya dapat diketahui keadaan sanad dan matan.  Maksud kata Ahwal As-sanad  ialah segala sesuatu yang berkaitan dengan sanad hadits,seperti  Rijallu hadits yakni orang yang meriwayatkan hadits hingga kepada Rasulullah Saw., ittishal (ketersambungan), inqitha’ (terputus), tadlis (penyembunyia kecacatan), lemah hafalannya, tertuduh fasik, dusta dan sebagainya.

  1. As-syahadat (persaksian)

Di dalam Mu’jam At-ta’rifat karya Imam Ali bin Muhammad Al-jurjani, beliau memaparkan:

الشهادة في الشريعة هي إخبار عن عيان بلفظ الشهادة في مجلس القاضي بحقّ للغير على آخر

Memberi tahu sesuatu untuk menegakkan hak seseorang terhadap orang lain dengan dengan ungkapan tertentu. Sedangkan dalam istilah kebahasaan, Syahadat artinya melihat sesuatu dengan mata sendiri, atau memberi tahu sesuatu yang dilihat atau diketahui dengan ucapan tertentu.

Dari dua definisi di atas, baik riwayat maupun syahadat keduanya difungsikan untuk mempertahankan originalitas atau keaslian suatu kebenaran, meskipun terma riwayat lebih kerap dijadikan objek pengujian autentisitas suatu kebenaran, Karena riwayat berfungsi sebagai penjaga keotentikan kalam Nabi   atau hadits yang menjadi salah satu sumber hukum islam, dibandingkan syahadat yang hanya digunakan untuk menegakkan hak individual atau kelompok dan  beberapa hanya sah bila terlaksana di hadapan qadhi atau hakim.

  1. Riwayat dan Syahadat perspektif Kitab “Ar-Risalah”

Imam Syafi’I merupakan satu diantara jumhurul fuqaha yang lebih menitikberatkan pengetatan terhadap ketentuan syahadat dibandingkan dengan riwayat, ada juga beberapa ketentuan dalam riwayat yang beliau titikberatkan meski tidak lebih banyak. Beliau telah mencantumkan beberapa perbandingan antara keduanya di dalam kitabnya, baik dari segi perbedaan maupun persamaan:

  1. perbedaan riwayat dan syahadat:
  1. Pasal 1010: beliau menerima suatu riwayat dari satu orang perawi saja baik dari kalangan lelaki maupun perempuan, tapi tidak pada persaksian dibanyak tempat semisal dalam kasus zina tidak diterima kecuali 4 orang. Karena di dalam persaksian, beberapa kasus berbeda jumlah saksinya
  1. Pasal 1011: beliau menerima suatu riwayat hadits dengan redaksi mu’an’an jika tidak terdapat seorang mudallis, dan menolaknya pada persaksian kecuali jika si saksi memberikan keterangan shigat tahammul yang jelas pada persaksiannya, seperti; aku mendengar, aku melihat, fulan telah memberitahukan kepadaku. Karena rdaksi mu’an’an mengandung adanya indikasi atau ambiguitas antara valid tidaknya suatu kebenaran, sedangkan dalam persaksian dituntut adanya kejelasan. Berbeda dengan periwayatan hadits, adanya analisis lebih lanjut terhadap redaksi tersebut masih memungkinkan diterimanya suatu riwayat, karena mu’an’an dalam ulumul hadits juga masuk ke dalam salah satu variasi riwayat.
  1. Pasal 1012: beliau suka mengambil dan mengutip beberapa riwayat hadits untuk digunakan sebagai istidlal terhadap Alquran, sunnah, ijma’ atau qiyas, sedangkan persaksian tidak dapat digunakan demikian, bahkan tidak ada sama sekali
  1. Pasal 1013 & 1016: beliau tidak menerima suatu riwayat hadits jika banyaknya perubahan dan penghapusan lafal-lafal maknanya, tapi tidak demikian dalam persaksian, karena perubahan pada lafaz dapat memungkinkan terjadinya perubahan pada makna dan ini dapat mengganggu otoritas suatu hadits yang berfungsi sebagai sumber hukum islam .  bagi beliau juga perubahan pada makna dalam tahdits lebih tidak kentara dari pada perubahan makna dalam metode persaksian, oleh karena itu dalam hal ini beliau lebih berhati-hati dalam riwayat atau tahdits, ketimbang dalam persaksian
  1. Pasal 1023: bagi beliau bahwa manusia itu lebih minim pemeliharaan dan sikap konservatifnya terhadap periwayatan hadits (dapat dilihat dari banyaknya riwayat bil ma’na, banyaknya riwayat mu’an’an dsb) ketimbang para perawi yang tidak mengetahui keabsahan hadits yang diriwayatkannya, sedangkan para saksi di dalam persaksian bersaksi atas hak orang-orang yang mengetahui ke’adalahannya. oleh karena itu bagi beliau, manusia lebih ketat antisipasi dan pemeliharannya di dalam persaksian ketimbang dalam periwayatan
  1. Pasal 1083 & 1084: beliau tidak menerima persaksian kerabat atau keluarga, jika peraksian tersebut berlangsung karena dorongan subjektif  untuk mendatangkan keuntungan atau mencegah kemudharatan tanpa mempertimbangkan suatu pihak benar atau salah. Sedangkan di dalam periwayatan, beliau menerima riwayat dari keluarga seperti; ayah, anak atau kerabat lainnya selama pertemuannya  mampu dipertanggung jawabkan dan tidak ada penolakan oleh para ulama sepanjang masa.
  1. Persamaan Riwayat dan Syahadat:
  1. Pasal 1041 & 1042: beliau tidak menerima periwayatan dan persaksian dari seorang perawi yang ‘adil jika terdapat suatu tuduhan pada perawi tersebut , meskipun dia terkadang dianggap ‘adil dihadapan keluarga atau kerabatnya.
  1. Pasal 1044: beliau tidak menerima periwayatan dari muhadditsin yang banyak kelirunya dan tidak memiliki sumber kitab yang absah, begitupun saksi  yang banyak kelirunya dalam persaksian.
  1. Pasal 1086 dan 1087: bagi beliau muhaddits hendaknya tidak terpengaruh oleh kehendak dirinya sendiri dan orang lain dalam mengharamkan dan menghalalkan sesuatu. Begitu pula tidak boleh melihat akibat baik buruknya untuk siapapun (harus objektif). Dia dan siapapun orang muslim yang meriwayatkan hadits sama kedudukannya dalam perkara halal haram, dia seperti masyarakat pada umumnya, kedudukannya tidak berbeda sama sekali. Terkadang perlu dicurigai dan ditolak riwayatnya, tetapi terkadang sebaliknya. Begitupun di dalam perbedaan keadaan saksi dari orang awam dan orang berilmu. keadaan manusia pun berbeda-beda dalam persaksian. Kadang kala pada kondisi tertentu kesaksiannya valid dan shahih untuk dihadirkan, dan  terkadang tidak. 

Similar Posts