Perjalanan Muhammad Abduh dan Tafsir Al-Manar

Majalahnabawi.com – Pada awalnya, corak tafsir hanya terdiri dari beberapa corak. Sebagaimana yang disebutkan di dalam kitab al-Tafsir wa al-Mufassirun, ada beberapa corak tafsir, yaitu tafsir fiqhi, tafsir falsafi, tafsir ‘ilmi, dan tafsir sufi.[1] Namun seiring berjalannya waktu corak tersebut mengalami perkembangan, hal ini disebabkan oleh pemikiran-pemikiran mufasir yang dipengaruhi oleh keragaman minat yang diselami, minat, motivasi, lingkungan, bahkan kondisi sosial dan politik.[2] Salah satu corak tafsir yang dipengaruhi oleh kondisi sosial dan politik adalah Tafsir al-Manar yang disusun dari diktat perkuliahan Muhammad Abduh. Tafsir ini disusun di tengah kondisi sosial dan politik Mesir yang mencekam.

Perjalanan Muhammad Abduh

Muhammad Abduh, memiliki nama lengkap Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah, lahir pada tahun 1266 h/1849 M di desa Muhallat Nashr, Buhairah. Beliau lahir dari keluarga petani yang hidup di dalam suatu masyarakat yang diselimuti oleh perkembangan dan pengaruh bangsa Eropa, yaitu masyarakat yang menutup rapat pintu jihad dan menolak memahami syariat, karena menurut mereka, hasil karya nenek moyang terdahulu telah mencukupi segalanya.[1]

Abduh dikirim oleh Ayahnya ke masjid al-Ahmadi Thantha untuk mempelajari ilmu tajwid Al-Qur’an, namun menurutnya sistem pembelajaran di sana sangat membosankan. Abduh memutuskan untuk kembali ke desanya, namun Ayahnya tetap bersikeras untuk memintanya kembali ke masjid. Permintaan Ayahnya pun ditolak, dan Abduh lebih memilih untuk pergi ke desa Shibral Khit untuk belajar bersama pamannya yang bernama Srawisy Khidr. Setelah itu, pada bulan Februari 1866 M, Abduh melanjutkan studi ke Al-Azhar dan bertemu dengan Jamaludin al-Afghani. [2]

Diusir dari Mesir dan Mendirikan Majalah

Pada tahun 1879 M, al-Afghani dituduh melakukan Gerakan perlawanan terhadap Khedive Ismail, penguasa Mesir saat itu, sehingga ia diusir dari Mesir. Sedangkan Abduh dituduh ikut serta membantu Al-Afghani sehingga beliau pun dibuang keluar kota Kairo. Lalu pada tahun 1880 M, Abduh diizinkan kembali ke Ibu kota dan diangkat menjadi redaktur surat kabar pemerintah Mesir yang bernama al-Waqa’i al-Mishriyyah. Namun pada tahun 1882, Abduh kembali dituduh terlibat dalam revolusi Urabi sehingga beliau diasingkan oleh pemerintah Mesir selama 3 tahun. Di tahun berikutnya, Abduh menyusul al-Afghani di Paris, di sanalah mereka menerbitkan surat kabar yang bernama al-Urwah al-Wutsqa untuk menentang penjajah Eropa, khususnya Inggris.  Seiring berjalannya majalah al-Urwah al-Wutsqa, Abduh bertemu dengan Rasyid Ridha yang tertarik untuk mempelajari penafsiran Al-Qur’an. Abduh pun mengajarinya dengan berbekal pengetahuan dan diktat perkuliahan yang didapatkan di Al-Azhar. Selama pembelajaran tersebut Ridha selalu mencatat materi yang disampaikan Abduh, hingga mereka pun mendirikan sebuah majalah digital yang diberi nama al-Manar. Majalah ini memuat tulisan dan ceramah dari Abduh yang banyak mengkaji tentang Al-Qur’an. Saat itu Abduh telah menafsirkan beberapa surah hingga surah al-Nisa ayat 126. Kemudian dilanjutkan oleh Rida sampai surah Yusuf ayat 53. Kitab Tafsir itu kemudian dinamakan sesuai dengan nama Majalah yang mereka dirikan, yaitu al-Manar.[1]


[1] Mahbub Junaidi, “Studi Kritis Tafsir Al-Manar Karya Muhammad Abbduh Dan Rasyid Ridla,” Dar el-Ilmi : jurnal studi keagamaan, pendidikan dan humaniora 8, no. 1 (22 April 2021): 156–57, https://doi.org/10.52166/darelilmi.v8i1.2506.


[1] Zulfikri dan Mohammed A.F. Badawi, “The Relevance of Muhammad Abduh’s Thought in Indonesian Tafsir: Analysis of Tafsir Al-Azhar,” Millah 21, no. 1 (Agustus 2021): 117, https://doi.org/10.20885/millah.vol21.iss1.art5.

[2] Muhammad Quraisy Syihab, Rasionalitas Al-Qur’an, Studi Kritis atas Tafsir Al-Manar (Jakarta: Lentera Hati, 2007), 12.


[1] Muhammad Husein al-Dzahabi, Al-Tafsir wa al-Mufassirun, 3 vol. (Kairo: Maktabah Wahbah, 1431).

[2] Syaripah Aini, “Studi Corak Adābi Ijtimā’ī Dalam Tafsir Al-Azhar Karya Hamka,” Al-Kauniyah 1, no. 1 (4 Maret 2021): 77, https://doi.org/10.56874/alkauniyah.v1i1.372.

Similar Posts