Pesantren dalam Perspektif Sejarah
Majalahnabawi.com – “Dari pondok pesantren lahir ide-ide yang hidup, segar dan mendapat sambutan antusias dari masyarakat. Ide-ide itu bukanlah sebatas teoritis yang mati di tengah cetusannya. Ide kebangkitan kaum ulama, ide pentingnya pengorganisasian perjuangan, ide pendekatan golongan-golongan Islam-Nasional, ide perlawanan terhadap segala bentuk penjelajahan, ide mencetuskan kemerdekaan dan mempertahankannya, ide mengisi kemerdekaan, ide mempertemukan antara cita-cita dan kenyataan, dan tentu saja ide pembangunan di segala bidang, membangun karakter bangsa, membangun taraf hidup dan membangun prestasi nasional untuk kepentingan seluruh warga negara Republik Indonesia.”
—Ahmad Baso, Pesantren Studies 2a, Pustaka Afid, hal. 121.
“Pesantren” di Masa Rasulullah
Setelah Rasul berhasil hijrah ke Madinah, beliau membangun masjid untuk menjadi pusat kegiatan keagamaan Islam. Seperti salat jemaah, pengajian, serta tempat untuk sekedar berkumpul, berbincang-bincang dan bercanda-ria dengan umat muslim lainnya. Pun Rasulullah, beliau sering ikut ngobrol dan bergurau dengan mereka. Dalam diri beliau tidak ada rasa sungkan untuk berinteraksi dengan mereka. Justru karena beliau seorang Nabi sekaligus pemimpin, beliau harus sering bergaul dengan mereka, mengikuti kegiatan yang mereka adakan, dan terkadang mengoreksi bila ada yang bertentangan dengan Islam.
Dalam kesehariannya, Rasul disibukkan dengan menyebarkan Risalah Tuhan kepada penduduk Madinah. Mengajarkan kepada mereka tentang Islam dan menjawab persoalan-persoalan yang mereka ajukan. Bila tidak bisa menjawab maka beliau menunggu wahyu turun untuk menjawab persoalan tersebut.
Selain penduduk Madinah, banyak orang yang datang berbondong-bondong ke kota tersebut untuk mempelajari Islam secara langsung (talaqqi) kepada Rasul. Ada yang datang dari Yaman, Syam, Bagdad dan lain sebagainya. Dikatakan bahwa jumlah mereka lebih dari seratus. Di antara mereka ada yang tidak mempunyai keluarga di Madinah sehingga mereka tinggal di bilik-bilik kecil yang Rasul buat di samping masjidnya. Penghuni bilik ini yang kemudian Rasul dan para sahabat menyebutnya Ahlus Suffah.
Bilik-bilik tersebut memang disiapkan Rasul untuk menampung para sahabat yang berasal dari kota lain yang tidak memiliki keluarga di Madinah dan tidak memiliki banyak uang untuk menyewa rumah sebagai tempat tinggalnya. Oleh karena itu, Rasul sebagai utusan Allah dan pemimpin di Madinah, merasa bertanggungjawab untuk menafkahi, menanggung kebutuhan mereka, serta mendidik mereka selama berada di Madinah.
Kehidupan Ahlus Suffah sangatlah sederhana, bahkan sangat miris. Makan dan minum apa adanya, yang penting halal bagi mereka. Mereka tidak pernah mengeluh hanya karena tidak ada makanan. Bila lapar dan ketika itu tidak ada makanan, biasanya mereka mengganjal perutnya dengan mengikatkan batu. Atau bahkan ada yang merapatkan perutnya ke tanah seperti yang dilakukan sahabat Abu Hurairah.
Pria asal Yaman ini merupakan salah satu penghuni bilik tersebut (Ahlus Suffah) yang sering merasakan lapar, namun, kehausannya akan ilmu mengalahkan rasa lapar yang melandanya. Nama aslinya adalah Abdurrahman bin Shakhr Al-Dausi. Meskipun hanya empat tahun menemani dan melayani Rasul, namun ia merupakan sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadis sampai ratusan ribu hadis. Diriwayatkan bahwa ia berpisah dengan Rasul hanya ketika buang hajat. Selebihnya ia selalu bersama Rasul.
Awal Mula Pesantren di Indonesia
Dari sekian keterangan yang ada, dapat dikatakan bahwa awal mula munculnya pesantren masih terdapat simpang-siur data. Artinya tidak ada data yang valid akan awal mula munculnya pesantren, di mana dan siapa perintis pertamanya masih belum pasti. Namun, kebanyakan dari sejarawan menyimpulkan bahwa pesantren dibangun antara abad ke-11 sampai abad ke-14, yaitu masa-masa awal mula masuknya Islam ke Nusantara dan masa transisi dari peradaban Hindu-Buddha Majapahit ke periode pembangunan peradaban Melayu Nusantara. Periode ini merupakan momen yang penting bagi sejarah Indonesia untuk menentukan pembangunan peradaban Indonesia di masa selanjutnya.
Bila ditinjau dari pendekatan kebudayaan dan tradisi, Indonesia merupakan Negara yang memiliki identitas yang konsisten dan kuat terhadap adat-istiadat. Negara ini hanya mengadopsi ajaran atau aspek-aspek positif dari luar yang dianggap baik dan bermanfaat bagi penduduknya. Oleh karenanya, proses terbangunnya peradaban Islam di Indonesia merupakan peristiwa sejarah yang mengagumkan, sehingga layak diabadikan melalui tulisan-tulisan sejarah di Indonesia. Bahkan, semestinya kaum muslim, terutama kaum santri, mengetahui sejarah Islamisasi di Indonesia, lebih- lebih sejarah pesantren itu sendiri.
Namun, meski kebanyakan kaum muslim di Indonesia atau santri tidak mengetahui secara detail asal-muasal pesantren secara umum, minimal mereka mengetahui sejarah awal mula berdiri pesantrennya sendiri. Karena setiap pesantren memiliki kronologi masing-masing, tergantung kondisi sosialnya, baik dari tradisi maupun ekonomi masyarakat sekitarnya.
Biasanya pesantren didirikan berdasarkan anjuran dari guru sang kiai (selanjutnya disebut murid) yang akan mendirikan pesantren. Anjuran itu terkadang melalui mimpi, artinya guru tersebut mendatangi muridnya lewat mimpi, bisa juga lewat dawuhnya langsung kepada muridnya agar ia membuat pesantren untuk menyebarkan ajaran agama Islam di suatu tempat tertentu.
Selain itu, tempat yang dijadikan objek akan didirikan sebuah pesantren merupakan tanah kosong, tanah yang tidak ada pemiliknya. Bahkan, di sebagian pesantren ada yang lahan awalnya merupakan hutan dan kuburan. Seperti beberapa pesantren besar di Tanah Jawa yang sekarang santrinya mencapai sepuluh ribu lebih. Kemudian disulap oleh sang kiai -yang mendirikan pesantren tersebut- menjadi bangunan-bangunan kecil yang terbuat dari bambu dan atau kayu yang kemudian disebut pondok, guna menjadi tempat istirahat santri yang belajar di pesantren tersebut.
Filosofi kata ‘Pondok’ dan ‘Pesantren’
Kebanyakan sarjanawan mendefinisikan kata ‘pondok’ dengan arti asrama santri atau tempat tinggal yang terbuat dari bambu atau kayu, seperti kayu yang berasal dari pohon jati, pohon pinus, pohon kelapa, dan berbagai macam pohon lainnya. Menurut mereka, kata ‘pondok’ merupakan transliterasi dari Bahasa Arab, funduq, yang artinya hotel, asrama, dan tempat penginapan sementara.
Lebih dari itu, melihat realisasi dari pondok itu sendiri; merupakan tempat tinggal dan penginapan santri yang belajar di pesantren, maka tidak heran bila pondok diartikan asrama seperti yang dijelaskan sebelumnya. Meskipun bersifat sementara, para santri menggunakan pondok tersebut seperti layaknya rumah sendiri: merawat serta menjaganya sebaik mungkin.
Sedangkan pesantren berasal dari kata ‘santri’, yang mendapat imbuhan pe dan akhiran an yang bermakna tempat tinggal/penginapan para santri. Santri, menurut Zamakhsyari Dhofier dalam bukunya, Tradisi Pesantren, berasal dari kata ‘sant’ yang bermakna manusia baik, dan ‘tri’ yang bermakna suka menolong. Sehingga, santri berarti manusia baik yang suka menolong secara kolektif. Adapun Abdurrahman Mas’ud dalam Sejarah dan Budaya Pesantren memaknai santri sebagai orang yang mencari pengetahuan keislaman. Sehingga, pesantren mengacu pada tempat di mana para santri tinggal dan mendapat pelajaran tentang ajaran Islam.
Tradisi Umum Pesantren
Berbicara tradisi pesantren merupakan pembahasan yang cukup menarik dan hanya diketahui oleh orang- orang tertentu, yakni hanya orang yang bergelar ‘santri’. Karena tradisi merupakan identitas dan ciri khas yang diketahui oleh orang yang melakukannya secara langsung, yang setiap harinya bergumul dan menjalankan tradisi tersebut. Oleh karena itu, penilaian santri tentang tradisi pesantren bisa dikatakan lebih objektif dan otoritatif daripada non-santri, sekalipun mengusung gelar profesor.
Pesantren selalu diidentikkan dengan mengaji kitab-kitab klasik -yang akrab disebut kitab kuning/gundul- yang diajarkan oleh guru. Sistem pendidikan seperti ini disebut ngaji bandongan atau weton; sekelompok murid (antara 5 sampai 500 santri) mendengarkan gurunya membaca teks kitab yang tidak berharakat (kitab kuning) disertai arti dan penjelasannya, sedangkan santrinya menyimak dan menulis arti yang belum diketahuinya. Pengajian seperti ini diikuti oleh santri yang telah mengenal teks-teks arab. Biasanya, santri muqim; santri yang menetap di pondok, lebih cepat mengetahui dan memahami teks-teks arab daripada santri mustami‘ (kalong). Karena santri muqim lebih sering bergelut dengan teks-teks Arab, yakni dengan melakukan muthala’ah, mudzakarah, dan mengulang-ngulang (menakrir) pelajaran yang didapati dari gurunya. Sedangkan santri mustami‘, hanya ketika mengaji saja bergelut dengan teks-teks Arab. Selebihnya, mereka disibukkan dengan urusan pribadi masing-masing sehingga amat sulit untuk mengulang pelajaran yang didapat dari pesantren.
Berbeda dengan sistem sorogan, yaitu seorang murid mendatangi guru yang mengajarkannya cara membaca kitab kuning dengan baik dan tahqiq, sehingga dia bisa dan paham akan arti dan maksud dari teks-teks Arab yang dibacanya. Oleh karenanya, seorang guru cenderung menekankan kualitas dan tidak tertarik untuk mempunyai murid lebih dari 3 atau 4 orang.
Dalam sistem pendidikan ini, para murid diajarkan dua disiplin ilmu yang mendasar dalam membaca kitab kuning, yakni ilmu nahu dan ilmu saraf. Dua disiplin ilmu ini yang dikenal dengan ‘ilmu alat’ oleh kalangan pesantren. Karena dengan menguasai kedua disiplin ilmu ini lah seorang murid bisa membaca kitab kuning, terlepas dari paham atau tidaknya. Sebab, dalam memahami kitab kuning, masih membutuhkan ilmu -alat- lain, seperti perbendaharaan kosa kata Bahasa Arab sehingga memiliki kepekaan (dzauq) yang mengantarkan pemahaman akan teks-teks Arab yang dibaca.
Selain mengaji kitab kuing, santri dilatih dengan hidup sederhana. Berpola hidup dengan apa adanya, tidak berlebih-lebihan, apa lagi bermewah-mewahan. Maka santri dalam hal makan-memakan misalnya, sering ‘makan massal’ dengan teman-temannya dalam satu nampan besar. Biasanya terdiri dari 3-6 orang, bahkan ada yang lebih. Sedangkan menunya bermacam-macam variasi, tergantung kemampuan si santri dalam memasak. Perlu diingat bahwa variasi di sini bukan seperti menu-menu di restoran pada zaman sekarang, namun lebih miris dari itu. Biasanya, menu yang dimakan hanya nasi dengan telur goreng, sayur, dan air putih. Bahkan, ada yang hanya makan nasi dicampur dengan garam+cabai, tanpa lauk-pauk. Kebiasaan seperti ini bukan bermaksud untuk pelit atau menyiksa diri, namun, ini merupakan penggemblengan diri agar tidak terbiasa hidup mewah. Serta terkadang juga karena faktor ekonomi orang tua yang hanya pas-pasan, sehingga menuntut para santri untuk kreatif dalam hal masak-memasak agar lebih irit untuk memenuhi kebutuhan yang lain.
Sayangnya, pada zaman modern seperti sekarang, kebiasaan makan massal ini hampir punah di sebagian pesantren. Sebab, pesantren telah menyiapkan warung untuk tempat makan para santrinya. Sehingga para santri tidak usah memasak lagi dan mereka hanya fokus pada pelajaran-pelajaran pesantren.
Tradisi-tradisi ini telah mengakar dan menyebar ke seluruh pesantren-pesantren di Indonesia yang dilesatarikan oleh para kiai demi menjaga karakteristik pesantren. Meskipun ada beberapa penambahan yang dikarenakan mengikuti perkembangan zaman, seperti adanya lembaga-lembaga formal di pesantren yang kurikulumnya berdasarkan kurikulum pemerintah, namun tradisi seperti yang dijelaskan di atas masih tetap dilestarikan hingga sekarang. Karena pesantren memiliki aforisma yang tidak dimiliki oleh lembaga-lembaga pendidikan non- pesantren, yaitu:
الْمُحَافَظَةُ عَلَى الْقَدِيمِ الصَّالِحِ وَالْأَخْذُ بِالْجِدِيدِ الْأَصْلَحِ
“Melestarikan (tradisi) lama yang masih relevan dan mengadopsi (tradisi) baru yang lebih baik.”
Wallahu a’lam.