Pesantren dan Kaderisasi Ulama Nasionalis (Bagian 1)
majalahnabawi.com – Belakangan ini, muncul anggapan bahwa pendidikan Islam identik dengan tindak kekerasan dan terorisme. Pesantren sebagai basis pendidikan Islam pun menjadi tercoreng nama baiknya seiring dengan keterlibatan beberapa alumni pesantren dalam jaringan terorisme global. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, dapatkah tuduhan tersebut dibenarkan hanya dengan melihat tindakan beberapa alumninya? Lalu bagaimana sebenarnya pesantren di Indonesia mengajarkan Islam secara umum, dan relasi agama dengan negara secara khusus? Simak baik-baik tulisan berikut!
Agama dan Negara: Sepasang Saudara Kembar
Agama dan negara, keduanya adalah bagian terpenting dalam hidup kita sebagai muslim Indonesia. Negara tanpa agama bisa binasa, sebagaimana agamatanpanegara menjaditak berdaya. Dalam konteks global, keduanya harus dapat bersinergi dan berjalan secara harmonis. Imam al-Ghazali (w.505 H) bahkan mengumpamakan keduanya dengan sepasang saudara kembar, seperti dua sisi koin yang tak akan ada jika salah satunya tiada.
الدِّينُ والسُلْطَانُ تَوْأَمَانِ الدِّينُ أُمِّ وَالسُّلْطَانُ حَارِسُ ، فَمَا لَا أُسَ لَهُ فَمَهْدُوْمٌ وَمَا لا حَارِسَ لَهُ فَضَائِعٌ
“Agama dan pemimpin adalah dua hal yang kembar (sama peranannya). Agama sebagai pondasi, sedangkan pemimpin sebagai penjaga. Sesuatu yang tidak memiliki pondasi, pasti roboh. Sesuatu yang tidak memiliki penjaga, pasti hilang.”
Kata “sulthan/ pemimpin” dalam pernyataan Imam al-Ghazali di atas merupakan representasi dari suatu negara atau kaum. Para ulama bersepakat bahwa mendirikan sebuah negara adalah sangat vital dalam Islam. Bahkan posisi dawlah atau kenegaraan sudah mencapai tonggak mashlahah dlarûriyyah (kebutuhan primer), bukan lagi sekadar hâjiyyah (sekunder) atau bahkan hanya tahsîniyyat (tersier). Penetapan status “darurat/primer” tidak berdasarkan faktor politis karena adanya kepentingan pragmatis dari beberapa pihak. Status tersebut semata- mata karena pertimbangan mashlahah ‘âmmah yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Tanpa Negara, kehidupan umat manusia tidak akan sejahtera. Atau lebih spesifik lagi, tanpa Negara, Islam hanya akan tinggal nama.
Pentingnya Bernegara
Pentingnya bernegara sebagaimana komentar Imam Al-Gazali terletak pada posisi sebagai penjaga agama (hâris). Kemaslahatan terbesar umat Islam adalah masalah iman dan Islam. Karena itu, demi tegaknya Islam, para ulama memandang wajib hukumnya mendirikan sebuah negara yang dapat melestarikan agama (hâris). Imam al-Mâwardî (w. 450 H) menambahkan bahwa dasar kewajiban mengangkat seorang pemimpin adalah ijma’ ulama, bahwa kepemimpinan merupakan pengganti kenabian. Dalam sebuah Hadis bahkan ditegaskan bahwa seorang pemimpin adalah “mandataris” Allah di muka bumi.
عَنْ أَبِي بَكْرَةً قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَقُولُ السُّلْطَانُ ظِلُّ اللَّهِ فِي الْأَرْضِ فَمَنْ أَكْرَمَهُ أَكْرَمَهُ اللَّهُ وَمَنْ أَهَانَهُ أَهَانَهُ اللَّهُ.
Nabi saw bersabda, “Seorang pemimpin adalah bayangan [surga] Allah di muka bumi. Siapa yang memuliakan pemimpinnya, niscaya akan dimuliakan oleh Allah. Siapa yang menghinakan pemimpinnya, maka akan dihinakan pula. oleh Allah.” (HR. al-Baihaqi)
Indonesia sebagai negara berpenduduk mayoritas muslim, dalam sejarah perjalanannya sering dihadapkan pada wacana besar seputar ketidakharmonisan hubungan antara agama dan negara. Munculnya gerakan- gerakan transnasional yang membawa nama agama Islam seringkali membuat pemerintah dan warga negara terusik. Tidak hanya itu, gerakan tersebut juga menimbulkan citra negatif bagi Islam di mata dunia, seolah-olah Islam tidak mengizinkan bentuk negara-bangsa.
Jika kita amati secara seksama, gerakan-gerakan transnasional yang membawa nama Islam ini banyak melibatkan pemuda, khususnya para pelajar dan mahasiswa. Para pemuda memang sangat penting peranannya bagi sebuah pergerakan. Di samping karena semangatnya yang masih sangat menggebu-gebu, para pemuda biasanya lebih mudah dipengaruhi dan dicuci otaknya, lalu dimasukkanlah paham radikalisme dan transnasionalisme.
Pemuda Indonesia dan Transnasionalisme
Belakangan ini, Indonesia sering dihebohkan oleh munculnya pemuda-pemuda yang menyuarakan transnasionalisme dan bahkan ada yang tergabung dalam jaringan terorisme global. Menariknya, pemuda-pemuda tersebut kebanyakan berlatar belakang pendidikan sekolah umum yang mengajarkan pendidikan kewarga-negaraan. Minimnya pendidikan agama menimbulkan wawasan keagamaan yang tidak komprehensif dan pemahaman yang parsial. Dengan kata lain, pemahaman tentang kenegaraan dan keagamaan yang tidak seimbang akan membuat sepasang saudara kembar tersebut menjadi kurang elok karena tidak mirip dan tidak identik satu sama lain. Akibatnya, siswa dengan pemahaman yang timpang seperti itu akan sangat mudah dirasuki oleh pemikiran-pemikiran yang tidak bersumber dari pemahaman yang komprehensif (kaaffah) tentang agama Islam. Pesantren sebagai lembaga yang genuine Indonesia memiliki potensi dan tanggung jawab sangat besar untuk mengatasi masalah besar bangsa ini.
Nasionalisme dalam Pendidikan Pesantren: dari Teks ke Aksi
Peringatan Hari Pahlawan 10 November 2014 yang lalu, kembali menjadi hari yang bersejarah bagi dunia pesantren. Pasalnya, salah seorang ulama besar produk pesantren asli dari Jombang Jawa Timur, KH. Abdul Wahab Hasbullah, telah ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional. Penganugerahan gelar ini merupakan pertanda bahwa pesantren mendukung semangat nasionalisme. Pesantren atau pendidikan agama sama sekali tidak mengajarkan transnasionalisme, apalagi terorisme.
Tidak sedikit ulama Indonesia yang telah ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional. Karena itu, sangat aneh jika ada seorang santri yang kemudian menyerukan gerakan transnasional. Santri seperti itu perlu dipertanyakan otentisitas keilmuan dan kesantriannya. Pesantren yang sangat menjunjung tinggi jaringan keilmuan (sanad) dan juga martabat seorang guru, tidak mungkin melahirkan generasi teroris jika melihat para kiai dan guru-guru pesantren yang telah banyak ditetapkan sebagai pahlawan nasional. Pasti ada pengaruh dari luar pesantren jika memang ada orang yang mengaku sebagai santri, namun kemudian menjadi teroris.
Bukti lain bahwa pesantren berperan penting dalam menumbuhkan jiwa nasionalisme adalah keluarnya fatwa resolusi jihad 1945. Lebih dari itu, beredarnya riwayat diktum (yang sering disebut-sebut sebagai Hadis Nabi) tentang pentingnya membela negara dan cinta tanah air (hubbul wathan minal-iman/Cinta tanah air adalah bagian dari iman) juga menjadi bukti bahwa pesantren memiliki peranan besar dalam menumbuhkan nasionalisme dalam diri muslim Indonesia melalui pendidikan. Fatwa dan riwayat yang meskipun sangat lemah atau bahkan palsu jika disandarkan kepada Nabi SAW-tersebut dijadikan sebagai media penanaman bibit-bibit nasionalisme dalam jiwa kaum santri. Dengan demikian, pesantrenlah yang mengajarkan bahwa agama dan negara adalah satu kesatuan.
Hadis-hadis Nasionalisme
Dalam kitab-kitab, terdapat banyak hadis populer terkait nasionalisme. Riwayat tentang kecintaan Nabi Saw terhadap Makkah dan Madinah disebut sebagai dalil pentingnya nasionalisme.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ ﷺ لَا أُخْرِجَ مِنْ مَكَّةَ : إِنِّي لَأُخْرَجُ مِنْكِ وَإِنِّي لَأَعْلَمُ أَنَّكِ أَحَبُّ بِلَادِ اللَّهِ إِلَيْهِ وَأَكْرَمُهُ عَلَى اللَّهِ وَلَوْلَا أَنَّ أَهْلَكَ أَخْرَجُونِي مِنْكِ مَا خَرَجْتُ مِنْكِ.
“Dari Ibnu Abbas yang menyatakan bahwa ketika diusir dari Makkah, Rasulullah SAW bersabda, ‘Aku telah diusir darimu (Negeri Makkah). Aku tahu bahwa engkaulah negeri Allah yang paling Dia cintai dan paling Dia muliakan. Seandainya pendudukmu tidak mengusirku darimu, pasti aku tidak akan pindah darimu.” (HR. al-Haris bin Abu Usamah, Abu Ya’la, dan Ibnu Hibban)
Karena itulah, sesampainya perjalanan hijrah di Madinah, Nabi SAW melantunkan sebuah doa yang juga populer dalam kitab-kitab andalan pesantren, Sahih al-Bukhari,
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ اللَّهُمَّ حَبِّبْ إِلَيْنَا الْمَدِينَةَ كَحُبِّنَا مَكَّةَ أَوْ أَشَدَّ
“Ya Allah, tumbuhkanlah cinta dalam diri kami terhadap Madinah sebagaimana cinta kami terhadap Makkah, atau lebih (dari itu).” (HR. al-Bukhari.)
Penentang Nasionalisme
Meski demikian, bukan berarti nasionalisme dapat diterima sepenuhnya oleh umat Islam Indonesia. Bagi para penentangnya, nasionalisme adalah paham yang bertentangan dengan ajaran Islam tentang pentingnya ukhuwah islamiah yang tidak terbatas oleh wilayah teritorial. Namun, dalam sejarah pendidikan pesantren, nasionalisme yang tumbuh dari batas-batas teriotorial Indonesia sama sekali tidak menafikan semangat ukhuwwah islamiyyah global. Nasionalisme dalam konteks ini juga tidak sama dengan fanatisme primordial yang membatasi wilayah ukhuwwah islamiyyah.
عَنْ عَبَّادِ بنِ كَثِيرٍ السَّامِي مِنْ أَهْلِ فَلَسْطِين عَنِ امْرَأَةٍ مِنْهُم يُقَالُ لَهَا فَسِيْلَة قَالَتْ سمعتُ أبي يقول : سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَمِنْ الْعَصَبِيَّةِ أَنْ يُحِبُّ الرَّجُلُ قَوْمَهُ؟ قَالَ لَا وَلَكِنْ مِنَ الْعَصَبِيَّةِ أَنْ يُعِينَ الرَّجُلُ قَوْمَهُ عَلَى الظُّلْمِ
Dari Abbad bin Katsir al-Syami, dari Fasilah yang mendengar ayahnya berkata, Aku bertanya bertanya kepada Nabi SAW, “Ya Rasulullah, Lapakah termasuk fanatisme jika seseorang mencintai kaumnya?” Nabi SAW pun menjawab, “Tidak. Melainkan, yang termasuk fanatisme adalah ketika seseorang mendukung/membantu kaumnya untuk berbuat kezaliman.” (HR. Ibn Majah dan Ahmad).