Pesona Academic Honesty dalam Bingkai Pendidikan ala Pesantren
Majalahnabawi.com – Sebagian kita mengira bahwa santri merupakan sebutan bagi mereka yang hanya belajar agama tanpa mempelajari khazanah ilmu-ilmu umum. Padahal statement itu tidaklah benar, sangat beruntung bagi mereka yang menetapkan pilihannya sebagai santri. Mempelajari ilmu agama secara kontiunitas dengan hanya harapan, “Semoga Allah melimpahkan ilmu bermanfaat dan menjadikannya pencari ilmu hingga akhir hayat”.
Mengawali sebuah perjalanan panjang dengan goresan cerita yang memilukan, membuat orang tersadar betapa pentingnya sebuah perjuangan. Indonesia, negara yang telah lama merdeka. Negeri dengan jutaan kekayaan. Berdikari dalam sungutan nafas kemerdekaan, sebagian orang mengenal Indonesia adalah tanah surga, tongkat, dan kayu jadi berharga dan bernilai jual di negeri kita.
Namun di balik itu, peran santri dan kiai mewarnai sejarah kemerdekaan bangsa hingga mampu meneriakan kalimat “Merdeka, Merdeka, Merdeka”. Mereka rela mempertaruhkan nyawa dan harta dengan niat bekerja ikhlas berlandaskan rasa Hubb al-Wathan min al-Iman. Pendidikan pesantren membimbing seluruh santri dengan balutan kasih dari bersihnya hati pewaris para nabi, Kyai.
Apakah Sama Pendidikan Pesantren dengan Pendidikan Umum?
Menyamakan pendidikan pesantren dengan pendidikan formal adalah kesalahan karena kedua hal tersebut memiliki ketimpangan makna dan proses. Terkadang pendidikan formal menciptakan kurikulum yang mengacu para pelajar untuk mendapatkan tinggi. Sehingga mendapatkan nilai rendah adalah sebuah musibah. Impilikasi paradigma tersebut mengharuskan untuk memboyong nilai tinggi, redahnya sebuah nilai sebagai parameter keberhasilan riwayat akademik, sehingga akan mendorong seseorang untuk mendapatkan nilai sempurna meski harus menempuh praktik kecurangan seperti mencontek.
Padahal salah satu esensi pendidikan ialah menciptakan manusia yang berkualitas dan berintegrasi melalui penerapan nilai agama, kejujuran serta menumbuhkan sikap tanggung jawab sebagai pencetak pelurus bangsa. Seyogyanya agama lah yang membimbing setiap umat manusia untuk mengejawantahkan nilai-nilai substansial dalam kehidupan bermasyarakat.
Menjaga esensi nilai pendidikan merupakan hal yang wajib dilestarikan dalam lingkup kepesantrenan. Hal ini tergambar dari proses pembelajaran yang tidak sekedar mengikat standar suatu nilai dalam setiap mata pelajaran. Mengklasifikasikan kenaikan tingkat/marhalah bukan hanya diukur melalui besarnya nilai yang diraih namun lebih menekankan pada pemahaman dari kitab-kitab yang dikaji serta pengamalan ilmu dalam kehidupan sehari-hari.
Kata Mereka Tentang Santri
Menurut C.C. Berg Pesantren berasal dari kata shastri. Dalam bahasa india yang berarti orang-orang yang tahu buku-buku agama hindu dan seorang sarjana ahli kitab-kitab hindu. Yang mana kata shastri berasal dari kata shastra (buku-buku agama atau ilmu pengetahuan). Ada juga yang mengatakan santri itu berasal dari kata cantrik (bahasa Sansekerta, atau mungkin Jawa) yang berarti orang yang selalu mengikuti guru, yang kemudian dikembangkan oleh Perguruan Taman Siswa dalam sistem asrama yang disebut Payawitan.
Nurcholish Madjid juga mengungkapkan bahwa:
“Pesantren itu terdiri dari lima elemen yang pokok, yaitu: kiai, santri, masjid, pondok, dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik. Kelima elemen tersebut merupakan ciri khusus yang dimiliki pesantren dan membedakan pendidikan pondok pesantren dengan lembaga pendidikan dalam bentuk lain.”
Penerapan Academic Honesty
Konsep pembelajaran di Pesantren selalu menonjolkan pesona Academic Honesty, dimana kejujuran adalah nyawa di setiap lini keadaan, itu terlihat dari keberadaan peraturan sebagai pengendalian sosial yang bersifat refresif baik secara persuasif ataupun koersif.
Contoh, seorang santri yang tertangkap basah mencotek dalam ujian akan mendapat hukuman langsung tanpa memandang status keluarga. Semua setara tanpa bias antara si kaya dan si miskin. Hukuman bagi pelanggar bisa berupa ta’jir atau i’qob yang merupakan istilah punishment bagi pelaku pelanggaran.
Kehidupan santri selama di pesantren adalah upaya mencetak kader umat yang mampu terjun dan bermanfaat di masyarakat sehingga akan tercipta generasi emas untuk menjadikan Indonesia sebagai kesatuan harmonis dalam kemajemukan karena tugas santri untuk memperkokoh peradaban lewat syiar-syiar kedamaian. Santri merupakan julukan bagi para manusia pilihan. Tidak ada yang pantas mengatakan bahwa santri itu tertinggal arus globalisasi bahkan dijuluki kudet karena santri identik bagi mereka yang hanya belajar agama. Namun resestensi hal tersebut kian pudar dengan sendirinya karena dewasa ini bagi mereka yang memutuskan belajar berbagai ilmu, seperti ilmu agama dan umum sekaligus. Kita bisa menyebutnya “orang-orang beruntung.”
Semarak santri multi-talenta menjawab sudut multi-dimensional yang tercipta.
Santri Pasti Bisa!