Privasi yang Terabaikan Dalam Konten Sedekah
Majalahnabawi – Dunia digital saat ini telah berevolusi dengan cepat menjadi aspek penting dalam kehidupan. Hal ini mengakibatkan platform media sosial, sebagai salah satu bagian dari dunia digital menjadi ladang perjumpaan masyarakat dunia. Buktinya, saat ini banyak orang berlomba-lomba menunjukkan aktivitas sehari-harinya hanya untuk sekedar diketahui oleh orang lain ke media sosial yang ia miliki. Bahkan termasuk dalam urusan-urusan kebaikan yang dulunya dianggap tabu, sekarang banyak diumbar ke muka umum seperti misal “sedekah”.
Tulisan ini hadir sekedar mencari titik temu antara dua kubu (yang banyak saya temui di kolom-kolom komentar Instagram dan Youtube) yang berbeda pendapat terkait tren saat ini. Yaitu banyak daripada konten kreator yang bersedekah kemudian dibuat sebagai konten. Satu pihak menganggap itu pekerjaan yang mulia, sementara pihak yang lain tak setuju dan malah mencelanya dengan beberapa alasan di bawah ini.
Antara Privasi dan Apresiasi
Kubu kontra menyatakan jika tindakan itu dibenarkan, maka membuat orang-orang semakin semangat melakukan tindakan-tindakan baik berdasarkan maksud terselubung alias tidak sepenuh hati (riya). Sangat disayangkan kebaikan yang harusnya menjadi perantara pahala harus dimanfaatkan demi ego menaikkan grafik penghasilan Akan banyak pula warga kurang mampu yang perannya di eksploitasi oleh orang-orang tak bermoral hanya demi menaikkan jumlah penonton. Padahal, mereka (orang-orang yang ditolong) juga punya privasi yang patut dijaga dan belum tentu mau untuk diekspos ke media sosial.
Menanggapi hal itu, kubu pro malah mendukung aksi tersebut dengan melihat bahwa maslahat yang ditimbulkan lebih banyak dari pada mudarat yang hadir. Apalagi, sifat dari berbagai kemudaratan yang dilontarkan hanyalah spekulatif, tidak nyata. Sementara, efek kongkretnya sangat jelas yakni membuat orang-orang terbantu, serta akan banyak kebaikan-kebaikan lain yang muncul sebab terinspirasi oleh konten sedekah tersebut.
Mereka (kelompok pro) juga menepis anggapan yang mengatakan tindakan tersebut tidaklah murni dari hati dan hanya sekedar mencari sensasi (riya’), dengan dalil bahwa ikhlas dan riya’ merupakan perbuatan hati. Sehingga seseorang tidak dapat mengetahui apakah orang yang bersedekah sambil lalu di video termasuk dalam kategori orang-orang riya’. Artinya, jangan sesekali menuduh sesuatu yang itu adalah otoritas Tuhan, seperti urusan ikhlas dan riya’.
Sampai di sini, dengan melihat argumen-argumen di atas, saya agaknya lebih sepakat terkait kalangan yang mendukung kegiatan tersebut. Karena memang, model dari bersedekah ada dua macam, secara sembunyi-sembunyi dan terang-terangan yang ditegaskan dalam Alquran: “Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS Al-Baqarah: 274).”
Di tambah, Habib Husein bin Ja’far mengatakan dalam salah satu unggahannya kurang lebih mengatakan seperti ini: “Hadirnya konten-konten yang bernilai kebaikan seperti konten bersedekah patut diapresiasi, jangan malah di caci. Karena, konten seperti ini bisa digunakan sebagai bentuk perlawanan untuk memerangi konten-konten yang tidak bermanfaat”.
Adakah Hak Privasi Dalam Konteks Di sini?
Namun, meski begitu saya masih meragukan terkait kebolehan untuk mengunggah konten sedekah tersebut. Sebagaimana argumen pihak kontra di atas, terdapat unsur privasi pihak penerima sedekah yang harus dilindungi. Karena terkadang, terdapat wajah-wajah penuh lesu yang tersorot oleh kamera, serta ekspresi kesedihan, yang bisa jadi ini menjadi aib yang tak boleh disebarluaskan. Artinya, harus ada izin yang diberikan pihak penerima terkait apakah video tersebut boleh untuk diunggah ke media sosial atau tidak. Oleh karena itu, mari kita ulas tentang kategori hak privasi dalam Islam.
Hak privasi dalam Islam memang telah di atur dalam Alquran surah Al-Nur: 27-28:
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat.
Merujuk ayat ini, Islam mengakui hak privasi yang harus dilindungi. Perlindungan tersebut, tertuju pada rumah sebagai tempat seseorang menyimpan dan menyembunyikan hal-hal sensitif dari jangkauan pihak luar.
Di sinilah letak pentingnya meminta persetujuan penghuni rumah. Wahbah al-Zuhaily dalam kitabnya (Tafsir al-Wasit li al-Zuhailiy) menyatakan bahwa hikmah dari keharusan meminta izin atau persetujuan dalam konteks ini amatlah jelas, yakni demi melindungi marwah rumah tersebut serta kemerdekaan penghuni rumah.
Terkait permintaan izin, salah satu hadis menegaskan “Dari Sahl bin Sa’d bahwa seorang laki-laki mengintip dari celah rumah Nabi, sementara Nabi tengah menggaruk kepalanya dengan midra (sejenis tusuk konde), maka, beliau bersabda “Sekiranya aku tahu kamu telah mengintip, sungguh aku akan mencolok kedua matamu dengan midra ini. Bukankah diberlakukannya meminta izin itu demi (menjaga) pandangan.” (Shahih Bukhari, 164).
Perlunya Persetujuan Pihak Penerima
Kembali pada persoalan di atas terkait konten sedekah, terkadang para pemberi sedekah memberikannya di dalam rumah seseorang, atau memborong suatu jualan sembari memvideo tempat ia berjualan seperti gerobak atau toko. Tak jarang pula, ketika pihak penerima terkejut karena ada orang baik yang menolongnya, ia menunjukkan wajah terharu penuh kesedihan.
Dan itu semua, merujuk pada hikmah di atas, merupakan hak privasi yang harus dimintai persetujuan oleh si pemberi (konten kreator atau bukan) terkait kebolehannya mengunggah video tersebut ke khalayak umum. Alasannya, karena dalam kasus tersebut terdapat hal-hal sensitif yang mungkin menjadi rahasia si penerima sehingga tidak mau diketahui oleh orang lain. Dapat di tarik benang merah, antara konteks ayat di atas dengan peristiwa konten sedekah di sini bahwa keduanya memiliki hak privasi yang harus di jaga oleh semua orang.
Kesimpulannya, sedekah yang dilakukan sambil lalu di video untuk kemudian di upload ke media sosial (seperti yang saat ini berkembang) merupakan tindakan terpuji jika memenuhi unsur-unsurnya. Salah satunya, yakni sebelum atau setelah memvideo (baik sembunyi-sembunyi atau terang-terangan) meminta persetujuan dengan menjelaskan kepada pihak penerima bahwa ia sedang mengabadikan momen sedekah tersebut, yang kemudian akan di unggah ke media sosialnya. Dengan begitu, maka akan diketahui kerelaan pihak penerima yang menjadikan kegiatan tersebut bernilai kebaikan tanpa ada unsur yang mencederai.