Problematika Shalat saat Injury Time

majalahnabawi.com – Shalat merupakan ibadah yang amat penting bagi umat muslim. Perintah untuk menunaikan ibadah shalat berulangkali disebutkan dalam al-Quran dan hadis Nabi Muhammad Saw. Sehingga para ulama sepakat terhadap wajibnya menunaikan ibadah shalat ini.

Namun para ulama berbeda pendapat dalam jumlah shalat yang diwajibkan dalam sehari semalam. Mayoritas ulama sepakat mengatakan bahwa yang wajib hanya lima waktu, yaitu Subuh, Zuhur, Asar, Magrib, dan Isya. Akan tetapi Imam Abu Hanifah (w. 150) beserta para pengikutnya menambahkan shalat Witir ke dalam ibadah yang wajib ditunaikan.

Namun perlu diperhatikan, Imam Abu Hanifah (w. 150 H) membedakan terminologi wajib dan fardhu. Menurutnya, fardhu adalah sesuatu yang tetap ketentuannya dari dalil yang qath’i (al-Quran dan hadis mutawatir). Sedangkan wajib adalah kewajiban yang ketentuannya bersumber dari dalil zhanni (hadis ahad). Hal ini dijelaskan oleh ulama masyhur dunia keturunan Kudus, Jawa Tengah, yaitu Syekh Abdul Hamid bin Muhammad Ali Kudus (w. 1334 H) dalam kitabnya Lathaif al-Isyarat ‘ala Tashil al-Thuruqat li Nazhm al-Waraqat fii al-Ushul al-Fiqhiyyat. Maka dalam mazhab Hanafi, shalat lima waktu itu hukumnya adalah fardhu karena bersumber dari dalil yang qath’i yaitu al-Quran. Sedangkan shalat Witir hukumnya wajib karena bersumber dari hadis ahad yang sahih.

Shalat pada Waktunya

Terlepas dari perbedaan di atas, setidaknya kita bisa mengambil kesimpulan bahwa shalat yang disepakati oleh semua kalangan ulama mazhab ada lima waktu. Kelimanya ini memiliki batasan waktu masing-masing yang mesti kita perhatikan. Hal ini sebagaimana yang Allah Swt firmankan dalam Surat al-Nisa’: 103

فَإِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلَاةَ فَاذْكُرُوا اللَّهَ قِيَامًا وَّقُعُوْدًا وَّعَلَىٰ جُنُوبِكُمْ ۚ فَإِذَا اطْمَأْنَنْتُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ ۚ إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا

Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat (mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (QS. al-Nisa: 103)

Ayat ini menghimbau kita untuk senantiasa menunaikan ibadah shalat di dalam waktu yang sudah ditentukan dalam syariat. Ketika kita menunaikan shalat masih dalam waktunya maka shalat kita disebut dengan ada’. Sedangkan menunaikan shalat di luar waktunya, maka shalat kita dinamakan qadha’. Orang yang yang melaksanakn ibadah shalat secara qadha’ (di luar waktunya), maka dia dihukumi berdosa sebab telah melanggar ketentuan syariat tentang melaksanakan shalat di dalam waktunya.

Namun tidak bisa juga dihindarkan, masih saja kita temukan beberapa dari kita ataupun saudara kita muslim yang lain menunaikan ibadah shalat di saat injury time atau di penghujung waktu. Hal ini mungkin saja disebabkan oleh kesibukan dalam bekerja, atau mungkin saja karena ketiduran dan uzur lainnya. Maka shalat mereka di penghujung waktu itu masih dianggap sah selama masih dalam waktu.

Shalat di Penghujung Waktu

Tapi bagaimana hukumnya kalau mereka menunaikan shalat di saat-saat injury time, dan ternyata di tengah shalat berlangsung mereka mendengar azan berkumandang yang menandakan waktu shalat selanjutnya sudah tiba?

Berkaitan dengan hal ini, kita bisa merujuk kembali kepada hadis Nabi Saw. Banyak riwayat yang berbicara tentang masalah ini. Namun hampir semua riwayat tersebut bersumber dari sahabat Abu Hurairah (w. 57 H) yang beliau riwayatkan langsung dari Rasulullah Saw.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنْ صَلَاةِ الصُّبْحِ قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ الصُّبْحَ، وَمَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الْعَصْرِ قَبْلَ أَنْ تَغْرُبَ الشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ الْعَصْرَ

Dari abu Hurairah (w. 57 H), bahwa Rasulullah Saw bersabda: Barang siapa yang mendapatkan satu rakaat dari shalat Subuh sebelum matahari terbit, maka sugguh dia telah mendapatkan shalat Subuh. Dan barang siapa mendapatkan satu rakaat dari shalat Asar sebelum matahari terbenam, maka ia telah mendapatkan shalat Asar. (HR. al-Nasa’i, w. 303 H)

Mukharrij Hadis dan Maksud Hadis

Hadis ini juga diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari (w. 256 H), Imam Muslim (w. 261 H), Imam Tirmidzi (w. 279 H) dalam kitab-kitab hadis mereka. Dalam al-Minhaj Syarah Sahih Muslim, Imam Nawawi (w. 676 H) menjelaskan bahwa hadis ini menjadi dalil yang jelas yang menegaskan bahwa orang yang sudah melaksanakan satu rakaat shalat Subuh ataupun shalat asar, kemudian waktunya habis sebelum dia salam (seperti mendengar azan untuk shalat selanjutnya), maka shalatnya tidak batal. Tapi dia mesti melanjutkan shalatnya sampai selesai. Sebab para ulama sepakat bahwa hadis ini tidak bisa dipahami secara literal. Perlu adanya pentakwilan, karena satu rakaat yang didapatkan dalam waktu bukan berarti mencukupi rakaat-rakaat setelahnya.

Oleh karena itu, sabda Nabi Saw “maka dia telah mendapat shalat Asar dan Subuh” tersebut mesti dipahami bahwa di sana seoalah-olah ada yang ditakdirkan, yaitu hukum, kewajiban ataupun fadhilah shalat. Artinya siapa saja yang mendapat satu rakaat selama masih di dalam waktu shalat maka orang itu terhitung sudah menunaikan ibadah shalat secara ada’. Dan dia diwajibkan untuk melanjutkan shalatnya sampai selesai. Hal ini berdasarkan riwayat lain dari hadis ini:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «إِذَا أَدْرَكَ أَحَدُكُمْ أَوَّلَ سَجْدَةٍ مِنْ صَلَاةِ الْعَصْرِ قَبْلَ أَنْ تَغْرُبَ الشَّمْسُ فَلْيُتِمَّ صَلَاتَهُ، وَإِذَا أَدْرَكَ أَوَّلَ سَجْدَةٍ مِنْ صَلَاةِ الصُّبْحِ قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ فَلْيُتِمَّ صَلَاتَهُ

“Dari Abu Hurairah (w. 57 H), dari Nabi Saw bersabda: Apabila salah seorang kamu mendapatkan mendapatkan sujud pertama dari shalat Ashar sebelum matahari terbenam maka hendaklah dia menyempurnakan shalatnya. Dan apabila dia mendapatkan sujud pertama dari shalat Subuh sebelum matahari terbit, maka hendaklah dia sempurnakan shalatnya”. (HR. al-Nasa’i (w. 303 H)

Tolok Ukur Sah Tidaknya Shalat di Penghujung Waktu

Kemudian persoalan selanjutnya adalah perihal yang menjadi tolok ukur sahnya shalat tersebut. Apakah mendapatkan sujud pertama atau rukuk?

Sebab di riwayat pertama disebutkan yang menjadi tolok ukur itu adalah rukuk. Dengan mendapatkan rukuk ini seseorang sudah dihitung medapatkan satu rakaat. Sedangkan di riwayat kedua menjelaskan bahwa yang jadi tolok ukur adalah sujud pertama. Perbedaan riwayat ini akan berimplikasi terhadap hukum fikih yang dilahirkan oleh para ulama. Hal ini merupakan sebuah keniscayaan yang tidak bisa dihindari lagi.

Pendapat Ulama tentang Tolok Ukur Sahnya Shalat

Ibnu Baththal (w. 449 H) berpendapat bahwa “سجدة” dalam riwayat kedua bermakna rakaat. Menurutnya yang dimaksud oleh Nabi Saw dalam hadis tersebut bukan rukuk saja, tapi juga sampai kepada sujud. Sehingga menurut beliau mendapatkan satu rakaat tidak cukup sampai pada rukuk saja. Sebab sesekali Nabi Saw menggunakan istilah sujud dan menggunakan istilah rakaat pada kesempatan yang lain.

Para Imam fatwa sepakat bahwa orang yang tidak mendapatkan satu rakaat maka dipastikan dia sudah tidak mendapat sujud. Hal ini juga senada dengan pendapat al-Khattabi (w. 388 H) yang dinukil oleh Ibnu Hajar al-‘Asqalaniy (w. 852 H) dalam Fathul Bari. Menurutnya sujud yang dimaksud dalam hadis itu adalah satu rakaat disertai rukuk dan sujud sekaligus. Sebab sempurnanya satu rakaat menurutnya adalah ketika seseorang sudah mendapatkan sujud dalam shalatnya.

Dalam masalah ini, Imam Syafii (w. 204 H) memiliki dua qaul (pendapat). Hal ini ini dijelaskan oleh Ibnu Hajar al-‘Asqalani (w. 852 H). Pendapat pertama mengatakan bahwa yang jadi tolok ukur itu adalah rukuk berdasarkan riwayat yang pertama. Sedangkan pendapat kedua mengatakan yang jadi tolok ukur bukan rukuk dan bukan pula sujud. Tapi yang jadi tolok ukur adalah aktivitas yang terhitung bagian dari ibadah shalat, seperti takbiratul ihram. Ini pendapat yang ashah (yang lebih kuat dari keduanya) menurut pengikutnya. Sehingga berdasarkan pendapat ini orang yang mendapatkan takbiratul ihram selama masih dalam waktu, maka shalatnya tetap sah. Sebab dia telah mendapatkan bagian dari rukun shalat. Maka sedikit atau banyaknya bagian dari shalat yang didapatkan dihukumi sama, seperti halnya takbiratul ihram.

Kesimpulan

Dari uraian di atas, dapat kita simpulkan bahwa shalat di penghujung waktu pada dasarnya sah selama masih berada dalam waktunya. Maka orang yang mendapati sebagian rakaat shalatnya di dalam waktu yang ditentukan syariat, dan sebagian yang lain di luar waktu, maka berdasarkan hadis di atas shalatnya tetap sah dengan syarat tetap melanjutkan shalatnya sampai selesai. Kemudian kadar rakaat yang dimaksud dalam hadis Nabi Saw di atas, para ulama berbeda pendapat. Pendapat yang kuat dari kalangan mazhab Syafii mengatakan bahwa ukurannya adalah sebagian dari rangkaian ibadah shalat, termasuk di dalamnya takbiratul ihram.

Similar Posts