Proporsional dalam Berprasangka Baik dan Buruk

Majalahnabawi.com – Mungkin kita sering mendengar perintah untuk memiliki pandangan baik terhadap semua orang tanpa pilah dan pilih. Kita harus dituntut untuk bisa menganggap positif terhadap semua makhluk tanpa terkecuali. Namun, siapa sangka ada Hadis yang menuntut seseorang untuk berprasangka negatif dalam beberapa kondisi tertentu.

Bagi kita yang memang awam akan merasa sedikit aneh mendengar hal-hal demikian. Bagaimana bisa ada ajaran yang menyuruh seseorang untuk berprasangka buruk? Bukankah hal tersebut dapat memicu sebuah perangai negatif bagi pembentukan karakter? Untuk lebih jelasnya, mari simak penjelasan berikut:

Hadis Pertama

Terdapat dua sabda Nabi di dalam kitab Syarah Latif ‘ala Hadits Arba’in Syaikh Hasyim Asy’ari. Memang kalau dilihat secara sekilas tanpa mengetahui penafsirannya akan tampak kontradiksi. Hadis pertama berisi anjuran untuk selalu berprasangka baik pada semua kondisi. Isi Hadis tersebut yaitu:

( رواه البخارى و مسلم) ” إيّاكُم والظنَّ فاِن الظنَّ اَكْذَبُ الحَدِيث ”

Artinya: “Jauhilah prasangka buruk, karena  prasangka buruk adalah ucapan yang paling dusta.“(HR. Bukhari dan Muslim).

Terdapat penjelasan dari para ulama muhaddits terkait isi Hadis di atas, salah satunya Imam al-Khuttaby bahwa yang dilarang adalah prasangka buruk yang nyata, sehingga dapat mengantarkan seseorang mengeklaim negatif akan sosok yang ia anggap buruk benar-benar memiliki sifat tersebut. Sementara prasangka yang sifatnya sementara seperti hanya terlintas dalam pikiran dan tidak diwujudkan dalam tindakan tidaklah dilarang, karena memang hal tersebut berada di luar kemampuan manusia.

Sebagian ulama bahkan menyatakan bahwa prasangka buruk dapat menghantarkan seseorang mati dalam keadaan su’ul khatimah, sebagaimana prasangka baik juga dapat menyebabkan seseorang wafat khusnul khatimah, yang termaktub dalam Al-Quran  surah al-Fath ayat 12 “وَظَنَنْتُمْ ظَنَّ السَّوْءِۚ وَكُنْتُمْ قَوْمًا ۢ بُوْرًا ۝١٢” , yang artinya “Kamu telah berprasangka buruk. Oleh sebab itu, kamu menjadi kaum yang binasa”.

Lebih tegas lagi, Imam al-Ghazali mengatakan bahwa sesungguhnya termasuk dari tipu daya setan itu adalah berprasangka buruk terhadap sesama orang Islam. Barang siapa yang beranggapan buruk  terhadap orang lain, maka setan akan memengaruhi orang tersebut agar membicarakan keburukan tersebut di hadapan khalayak ramai (gibah). Atau setan membuat orang tersebut melihat terhadap objek yang ia anggap buruk dengan pandangan hina sekali, dan menganggap dirinya lebih baik daripada orang tersebut. Sebegitu mengerikan dampak yang ditimbulkan, sehingga memang seorang muslim benar-benar harus menghindari akan prasangka buruk terhadap siapa pun.

Hadis Kedua

Berlanjut pada Hadis kedua yang isinya sangat berkebalikan dari Hadis pertama. Jika Hadis pertama melarang keras seseorang untuk berprasangka buruk, maka Hadis kedua malah menganjurkan hal tersebut. Isi Hadisnya yaitu:

(رواه الطبرانى)  “إحترسوا من الناس بسوء الظن”    

Artinya:“Waspadalah kalian semua dari perilaku manusia dengan berburuk sangka.” (HR. at-Tabrani)

Lalu, pada objek siapa atau konteks kapan dan di mana kita harus berprasangka buruk? Setelah melihat syarah Hadis tersebut, dijelaskan bahwa hal demikian diarahkan pada dua konteks, yaitu:

  1. Pada orang-orang yang memang diketahui buruk perangainya.
  2. Pada orang yang tidak dikenal karakter dalam urusan agamanya. Ketika kita mengetahui bahwa orang tersebut memang memiliki karakter tidak baik, dan saat itu ia sedang bersama kita atau membutuhkan pertolongan kita, maka tentu kita tahu sikap apa yang harus diambil.

Gampangnya, jika kita bertemu orang-orang yang memang kita kenal karakteristiknya, tentu akan lebih mudah bagi kita untuk mengambil sikap. Jika ia memang baik, maka kita harus senantiasa berprasangka baik, dan jika memang dia buruk, maka kita dianjurkan untuk mengambil sikap waspada dengan segala risiko yang akan terjadi.

Bagaimana andaikata ia tidak mengenali lawan bicaranya? Jikalau dilihat dari gerak-gerik orang tersebut mencurigakan, maka sebaiknya ia terus waspada dan berhati-hati. Namun, jangan sampai menimbulkan gelagat yang membuat orang tersebut tidak nyaman, karena memang tidak melulu orang-orang yang berpenampilan bengis adalah orang jahat.

Contoh konkretnya misalkan, saya tahu bahwa si A merupakan orang yang suka bermain judi model game slot. Dan pada suatu hari, si A menghubungi saya untuk meminjam uang. Maka, sesuai petunjuk Hadis di atas, saya harus beranggapan bahwa uang tersebut akan digunakannya untuk berjudi, sehingga saya tidak boleh meminjamkannya uang agar tidak termasuk kategori orang yang mendukung kemungkaran.

Sikap terhadap Kedua Hadis

Lalu bagaimana sikap yang harus kita ambil dalam menyikapi dua Hadis di atas? Tentu kita tidak boleh beranggapan bahwa dua Hadis di atas kontradiksi, karena memang tidak ada satu pun teks Al-Quran atau Hadis yang bertentangan. Jikalau memang dianggap ada, itu adalah kesalahan dari yang memahaminya.

Proporsional sangatlah diperlukan dalam memahami dua Hadis di atas. Sebab, jika kita hanya melihat dan mengamalkan Hadis pertama, tanpa menganalisis dan memperhatikan Hadis kedua, tentu itu akan menjadi sebuah masalah. Artinya, kita harus mengamalkan dua Hadis tersebut secara seimbang. Agar kita dapat memosisikan diri kapan harus berprasangka baik dan kapan harus berprasangka buruk terhadap orang sekitar kita. Di sinilah letak pentingnya untuk terus belajar dan belajar, sebab terkadang memang ilmu yang saat ini kita miliki, belum cukup untuk dapat menjalani kehidupan dengan baik dan relevan sesuai kehendak zat Sang Pemilik Ilmu.

Similar Posts