Puasa, Warung dan Toa

Ada anak bertanya pada bapaknya,
Buat apa berlapar-lapar puasa?
Ada anak bertanya pada bapaknya,
Tadarus, taraweh apalah gunanya?

Lapar mengajarkanku rendah hati selalu
(Bimbo)

Entah karena doktrin atau tradisi yang sudah terlalu mengakar, ketika Ramadan tiba umat Islam mulai meramaikan masjid, mushalla dan langgar-langgar desa. Berbagai jenis kegiatan berbau ibadah mulai digalakkan. Salat berjamaah, tarawih, tadarus, i’tikaf dan ibadah-ibadah lainnya. Ah entah mengapa Ramadan selalu menjadi momen di mana tempat-tempat ibadah selalu menarik untuk dikunjung-diami.

Salah satu fenomena yang paling kita kenal dan menjadi ciri khas adalah fenomena maksimalisasi pemanfaatan toa masjid. Bukan hanya untuk adzan atau menyuarakan kumandang al-Quran yang ditadaruskan saja. Membangunkan orang untuk sahur juga salah satu fungsi utama toa masjid/mushalla di bulan Ramadan. Jam 03.00 dini hari, teriakan sahur akan didengar di seluruh pelosok desa.

Suara melengking, khas, bahkan memiliki sisipan-sisipan berbeda di tiap daerah, seakan-akan menjadi suara yang tidak boleh hilang.
Nah tiba-tiba ada pihak yang mengomentari dan mengkritisi kebiasaan umat Islam semacam itu. Polusi suara… begitulah kira-kira ungkapan kiasan untuk menyindir prilaku umat Islam yang menganggu.

Dalam konteks kehidupan kota yang sangat padat, kebiasaan ini menganggu. Mengapa? Karena sebagian orang Muslim baru menyelesaikan pekerjaannya di waktu-waktu tersebut. Belum sempat memejamkan mata barang 10-15 menit, mereka sudah terbangun karena suara toa masjid yang melengking meneriakkan “sahuuur… sahur!”

Komentar ini tentu menimbulkan pro-kontra. Bagi pihak pertama yang menganggap hal itu adalah khas Ramadan yang tidak boleh hilang, komentar dan statemen semacam itu dianggap sebagai bentuk kebencian pihak-pihak tertentu kepada Islam. Mereka menduga bahwa itu adalah cara mereka meradam massifitas ibadah umat Islam di bulan Ramadan. Terlalu su’udzan tentu…

Bagi pihak kedua. Para pekerja, buruh, pegawai kantoran yang kerja lembur dan baru tiba di rumah ketika dini hari, kebiasaan ini tentu saja mengganggu dan mencegah mereka untuk beristirahat. Muncullah istilah polusi suara. Dan kalau mau ditelisik dari sudut pandang yang lebih jauh, keduanya sama-sama benar dan sama-sama salah. Permasalahannya tentu tidak sampai pada titik dugaan pihak pertama tadi. Sederhana dan bisa diselesaikan secara kekeluargaan.

Kasus kedua yang ramai dan menjadi isu sentra Ramadan ini adalah tentang membuka warung di siang hari bulan Ramadan. Nah bagaimana? Boleh menurut sebagian pihak dan haram menurut pihak yang lain. Haram karena hal tersebut akan menganggu kaum muslimin yang sedang berpuasa. Dan sepertinya, pandangan ini yang lebih dianut. Terbukti ketika Ramadan tiba jarang kita temukan sebuah warung yang [berani] buka di siang hari. Meskipun ada, tapi diam-diam. Haruskah seperti itu?

Toleransi dan Sikap Saling Menghargai
Inti berpuasa sebenarnya adalah penundukan terhadap segenap keinginan dan ambisi diri sendiri. Ketika pulang dari Perang Badar, salah satu perang terbesar yang pernah dialami oleh Rasulullah dan para Sahabat, Nabi Muhammad saw. ditanya tentang kejadian tersebut lalu menjawab bahwa Perang Badar tidak ada artinya bila dibandingkan perang melawan nafsu diri.

Artinya, bulan Ramadan seharusnya menjadi ajang untuk melatih kepekaan kita sebagai manusia dalam sistem kehidupan sosial dengan manusia lainnya. Untuk itulah pada bulan ini manusia dilatih untuk menahan amarah, meredam keinginan untuk mencaci maki dan mengatakan sesuatu yang pantas sebagai luapan emosi. Dan seharusnya, dengan berpuasa manusia juga dilatih untuk meningkatkan sifat menghormati dan menghargai terhadap sesama.

Dua isu yang kami suguhkan di awal merupakan satu contoh ketegangan yang sebenarnya bisa diatasi jika sudut pandang yang dipakai adalah toleransi. Ya, toleransi sebagai ekstrak dari ibadah fisik yang bernama puasa. Toleransi mengandaikan seseorang untuk menghargai dan memperhitungkan kondisi yang dialami manusia lainnya. Bila misalnya ternyata toa menganggu sebagian orang dan mencegah mereka untuk beristirahat, sudah selayaknya takmir masjid paham dan meminimalisir penggunaan toa agar tetangga masjid bisa istirahat.

Warung di bulan Ramadan sebenarnya tidak masalah jika harus buka atau tetap menjajakan jualannya. Bukankah keimanan seseorang untuk melaksanakan ibadah puasa bukan tergantung pada sejauh mana warung tetap buka atau tidak? Bukankah seseorang yang memiliki tekad dan keimanan tidak akan pernah terganggu untuk tidak berpuasa hanya karena ada warung yang buka? Bukankah pahala kita menjalankan ibadah puasa akan semakin besar bila cobaan [warung buka] yang kita alami juga semakin besar?

Dan pada hakikatnya, di sinilah letak ujian keimanan seseorang. Seorang muslim yang taat dan beriman tidak mungkin mempermasalahkan hal sepele membuka atau menutup warung di siang hari bulan Ramadan.

Pada kasus ini umat Islam juga dituntut untuk menampilkan sikap saling menghormati dan menghargai. Kita tentu harus melihat terlebih dahulu latar belakang dan pertimbangan-pertimbangan lainnya untuk dijadikan modal mengambil keputusan. Misalnya… para pemiliki warung rata-rata adalah mereka yang berekonomi menengah ke bawah. Sedangkan warung adalah satu-satunya sumber penghidupan dan ekonomi mereka sehari-hari. Bersikap keras mengharamkan atau mengharuskan penutupan warung sama saja dengan menggantung mereka pelan-pelan untuk mati dalam keadaan lapar.

Masih banyak kasus lain yang sebenarnya bukan cerminan dari apa yang diharapkan dari berpuasa. Seperti kata Bimbo, puasa mengajarkan manusia untuk rendah hati, memendam segenap ambisi dan ego diri, meredam nafsu amarah yang pada kenyataannya menjadi sebab ketidakmampuan manusia untuk berpikir jernih. Dan semoga Ramadan kali ini mampu mengajarkan kita tentang hal itu. Hingga pada akhirnya nanti, “baju baru” yang kita kenakan di Hari Raya benar-benar pakaian yang menunjukkan satu identitas baru, yakni identitas muslim yang lebih toleran, saling menghormati dan menghargai.***

Similar Posts